Mohon tunggu...
Tirto Karsa
Tirto Karsa Mohon Tunggu... Buruh Pabrik -

"Hidup hanya senda gurau belaka"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Putik

15 Januari 2018   10:45 Diperbarui: 30 Januari 2018   22:12 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mentari masih tertidur di peraduannya. Terang yang tampak hanya kilatan dari bias kedatangannya. Namun orang-orang telah sibuk dengan rutinitasnya. Penjual abrak1 telah mengumpulkan barang dagangannya di depan rumah. Penjual sayur dan buah masih memindahin pisang, pepaya, kacang dan ganyong2 yang baru diterimanya dari petani.

Begitupun dengan keluarga Yani, yang masih menjalankan sembahyang dan doa. Ayahnya duduk di tempat paling depan, di sisi kanannya terdapat ibunya yang masih mengenakan mukena dan membawa tasbih kesayangannya yang terbuat dari kayu cendana. Yani, duduk tepat disamping pintu mendongakkan mukanya ke arah genting.

Yani tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya, walaupun suara zdikir ayahnya yang terdengar semakin kencang sehingga menyerupa seorang yang sedang menyoraki klub sepak bola  kesayangannya, "Hu, Hu, Hu". Suara ibunya membaca bacaan hariannya dengan suara setengah lantang, sehingga mungkin jika saja ada seseorang tidur di sampingnya akan terbangun. 

Yani hanya peduli pada apa yang ada dalam pikirannya. Tentag sebuah pendulum sederhana yang tidak akan pernah berhenti bergerak, tentang rumus gaya Newton yang tidak memasukka faktor gesekan dan tekanan udara kedalam persamaannya atau tentang Tuhan yang masih diperdebatkan oleh para penyembahnya.

**

Bel sekolah baru saja berbunyi saat aku masuk ke kelas bersama dengan Yani yang mengenakan seragam tanpa bet sekolah dan sebuah bolpoin yang ditaruh melintang diantara bibirnya sehingga tampak seluruh bibirnya menempel pada bolpoin tersebut. 

Dia berjalan begitu tenang sambil menyaksikan beberapa teman kami yang berlarian ketakutan. Aku sendiri yakin mereka talah mengetahui kedatangan kepala sekolah yang sangat ditakuti.

Yani tidak pernah takut. Begitulah jawab atas pertanyaanku mengenai ketenangan dirinya pagi itu. Dengan berlagak layaknya seorang preman di Televisi-televisi, dia terus berjalan menerobos gerombolan anak-anak lelaki yang menggoda teman sekelas mereka di teras sekolah. Suara mobil Feroza kepala sekolah dengan kenalpot yang terbuka tiba-tiba terdengar keras di samping kami.

 Aku dan murid-murid lain berlarian ketika menyadari keberadaannya, Namun Yani masih tetap berjalan seperti semula.

Kepala sekolah itu turun dari mobilnya dan kemudian menghampiri Yani. " Kau berani ya berangkat ke sekolah dengan pakaian seperti ini?" Bentaknya.

Yani menghentikan langkahnya dan kemudian menatap mata kepala sekolah tajam-tajam. Merasa ditantang oleh Yani, kepala sekolah yang tempramen itu segera naik darah. Ditariknya Baju seragam Yani hingga seluruh kancingnya lepas. Kurang puas dengan itu, kedua tangannya mepukuli pipi Yani hingga tampak memerah. Kakinya kemudian diangkatnya dan tendangkan pada dada Yani hingga terpental kebelakang. 

Yani masih tetap diam, walaupun pukulan dan tantangan kepala sekolah terasa memerahkan telingaku. Matanyapun masih belum berhenti menatap mata kepala sekolah. Tindakan itu membuat Kepala sekolah semakin membabi buta menghajarnya.

Aku dan teman-teman yang lain masih menunggu drama aksi itu selesai. Beberapa cewek yang menyukainya sudah bermandikan air mata dan beberapa cewek melangkolis lainnya mencoba menyibukkan dirinya dengan yang lain agar tidak mendengarkan suara pukulan demi pukulan kepala sekolah yang melayang ditubuh Yani layaknya suara genderam pencak yang tiap malam jumat meramaikan desa. 

Para lelaki pencinta dengan sigap menghampiri cewek-cewek yang menangis. Mereka berusaha menceritakan seberapa ketangguhan mereka dalam menghadapi kekerasan layaknya Yani atau bahkan lebih hebat.

***

Menjadi orang yang berguna merupakan doktrin yang selalu didengarnya kapanpun saat di rumah. Sebelum makan, sebelum sembahyang, sebelum tidur, sebelum berangkat sekolah, dan bahkan sebelum memandikannya, ibunya selalu membisikinya, 

" Kau harus jadi orang yang berguna." Sebaliknya, Ayahnya setiap hendak berangkat mengajar ke sekolah, selalu berpesan bahwa Yani harus mendahulukan orang yang teraniaya. Meskipun pada akhirnya, Yani berhasil memiliki penafsiran tersendiri tentang "orang yang beguna" dan "orang teraniaya". 

*** 

Bagiku, Yani menjadi temanku hanya saat dia bermain sepak bola bersama. Saat dia menjaga gawang dengan mengandalkan reflek cepatnya. Satu-satunya keahlian olah raga yang dia bisa kurasa.

Terlahir dari keluarga multi talent di bidang olah raga, Yani kecil seringkali mengeluhkan ketidak mampuannya menguasai satu olah ragapun. Sampai suatu hari, aku mengajaknya bermain sepak bola. Pertama Dia bermain sebagai pemain belakang, namun gerakan tubuhnya yang lambat membuatnya seringkali di kecoh oleh musuh. Sampai suatu hari, kiper yang biasa menjadi andalan kami sakit dan tidak bisa mengikuti pertandingan liga antar kampung. Waktu itu Yani menawarkan diri untuk menggantikannya.

Semua orang terpaku menyaksikan reflek Yani. Dari manapun bola datang, Yani dengan sigap menangkapnya. Pertandingan itu berakhir 1- 0 dengan kemenangan di pihak kami. Sejak saat itulah, Yani secara resmi menjadi kiper andalan desa kami.

Senyumnya di bawah mistar gawang saat peluit pertandingan dimulai selalu menggiringku pada nuansa masa kecil dulu. Saat aku bermain dengan Yani kecil yang pemalu. Seorang anak yang harus  lewat hutan saat berangkat dan pulang sekolah karena takut dilihat orang. 

*** 

Ketika suara pukulan itu berhenti, aku segera berlari menghampiri Yani. Tubuhnya tampak lemas, namun matanya masih menyala. Sebuah pertanda keberaniannya masih belum hilang. " Kamu tidak apa-apa Yan?"

" Kamu tahu sendiri keadaanku. Aku baik-baik saja. Tolong belikan aku minum di kantin sekolah." Dia menyodorkan padaku selembar uang lima ribuan. 

Sekembalinya dari kantin, Yani sudah tidak berada di tempat. Aku mulai mencium sebuah firasat buruk. Aku masuk kelas dan sudah ku temukan Yani dikerumuni oleh teman-temannya. Aku sodorkan es marimas itu padanya. 

" Yan, ini esmu dan ini kembaliannya." Aku segera pergi meninggalkan mereka. Akulah orang yang paling tahu bagaimana Yani. Aku berteman dengannya sejak kecil dan aku benar-benar ketakutan pagi itu.

Rencana awalnya, aku ingin menyembunyikan diriku di kantin. Aku tidak ingin terlibat dalam permasalahan yang mereka buat. Tetapi sebelum aku sampai kantin, suara pecahan demi pecahan kaca terdengar bergantian diiringi suara teriakan cewek-cewek yang selanjutnya berubah menjadi tangis ketakutan. Dari tempatku, aku tersenyum saat menyaksikan sekitar 20 orang geng Yani berlarian melompat pagar dekat kantin.

*** 

Yani dewasa masih dekat denganku, kami kuliah di dua universitas yang berbeda tetapi masih dalam satu kota. Sehingga hampir tiap minggu kami mengadakan pertemuan. Terkadang di dekat kampusku, terkadang pula di dekat kampusnya. Yani dewasa masih seperti semasa kecilnya, orang yang abai dengan agamanya. 

Sering kali saat kami ngopi bersama, aku mendengarkan percakapan telpon dirinya dengan ibunya. Mereka selalu memperdebatkan mengenai agama dan peribadatan yang harus Yani jalani. Semua jenis ritual yang disampaikan ibunya selalu ditolaknya dengan argumen-argumen yang sangat masuk akal. 

Aku akui, aku sendiri mengikuti jejaknya. Mengabaikan agama dan fokus pada kuliahku. Mengejar pengetahuan dan menikmati kehidupan indah perkuliahan. Mengikuti demonstrasi, melakukan diskusi dan bahkan traveling ke tempat-tempat terpencil. Jika Yani kenal sepak bola karenaku, maka dia membalasnya dengan memperkenalkan hidup yang istimewa padaku. Itulah mengapa aku harus bercerita tentangnya.

*** 

Sekolah terasa mencekam siang itu. Kepala sekolah membuat Apel dadakan. Mungkin dia merasa dilecehkan oleh gengnya Yani yang ternyata berhasil membuat seluruh jendela sekolah tidak lagi berkaca. Sebuah gerakan berani menurutku. Namun tetap saja merupakan sebuah tindakan diluar aturan.

Kepala sekolah berpidato dengan menggebu-gebu dengan poin utama bahwa dia akan memberikan hukuman yang setimpal pada Yani. Bahwa dia akan segera menemukan persembunyian Yani dan teman-temannya sehingga dapat menyeretnya kehadapan seluruh siswa pada apel pagi sebelum masuk kelas.

Semua siswa terdiam tanpa jawab. Mungkin mereka berpikiran sepertiku yang sudah mulai muak dengan tingkah para guru. Mungkin juga mereka tidak lagi peduli dengan apa yang baru saja terjadi. Aku benar-benar kaget saat teman yang berdiri di sampingku memberikan padaku selembar kertas yang bertuliskan, " Seluruh kelas tiga, nanti sore ngumpul di rumah Mail. - Yani -" 

Sebenarnya aku tidak ingin terlibat dalam masalah ini. Aku orang yang tidak suka mencampuri urusan seseorang. Aku juga tidak suka gerakan dengan menggunakan kekerasan, termasuk tindakan kepala sekolah memukuli Yani. 

Walaupun demikian, aku tetap datang dalam pertemuan yang diinisiasi oleh Yani itu. Aku merasa punya tanggung jawab dan rasa empati yang tinggi pada apa yang menimpa nya.

Rumah Mail telah penuh oleh semua anak kelas tiga. Mereka bergerombol dan saling berbisik. Nampaknya akulah orang terakhir yang menghadiri pertemuan sore itu. 

" Saya sangat bahagia, kalian semua datang lengkap. Aku sangat berterimasih atas kepedulian kalian semua pada apa yang menimpaku pagi tadi. Namun itu bukan menjadi penyebab utama aku mengumpulkan kalian di sini. Aku mengumpulkan kalian di sini hanya untuk mengajak kalian bersama-sama kami menghentikan kekerasan yang ada di sekolah kita tercinta."

Untuk pertama kalinya aku mendengarkan Yani berpidato. Yani yang pemalu itu kini telah berani tampil di depan banyak orang dan memberikan sebuah perintah, yang pasti bakal dijalankan oleh semua orang yang mendengar perintahnya. Yani selalu hebat dalam mempengaruhi orang. Bahkan disaat paling genting seperti di tengah-tengah dua buah kelompok yang hendak tawuran, Yani pun masih dapat tampil untuk mendamaikannya.

 

***   

" Bagaimana keadaanmu Yan?" Tangisku saat menyambutnya bangun dari koma.

" Tidak begitu buruk Li." 

" Aku yang menemukanmu kemarin. Kau masih sempat mengirimkan pesan singkat padaku sebelum hilang kesadaranmu."

" Kau beritahu keluargaku kalau aku di sini sekarang?"

" Mana mungkin aku lupa dengan pesanmu dulu, bahwa kota bukan desa. Apa yang biasa bagi kita, bagi mereka luar biasa."

" Syukurlah, aku tidak ingin mereka tahu kondisiku."

*** 

Hujan baru saja mengguyur desa. Kabut yang menyertainya masih tenang hinggap pada ruang -- ruang kosong desa yang masih belum berpenghuni, bukit, sawah, halaman dan sungai yang suara airnya terdengar sangat kencang. Tiba-tiba aku menerima pesan singkat dari Yani. " Li, cepat datang ke rumahku. Aku sedikit mengadakan pesta ini." 

Aku ambil payung yang berada di samping pintu rumah. Aku buka payungnya dan berjalan menembus gerimis. Tidak ada seorangpun yang aku temui dalam perjalanan itu. 

Sesampainya di rumah Yani, aku segera mengetok pintu. Ibunya membukakan pintu. " Ada apa Li?"

" Yani memintaku datang ke sini lek." Jawabku santai. 

Dia menuntunku masuk ke dalam rumah melewati rumah tengah dan rumah belakang. Kami berhenti tepat di depan sebuah kamar di ujung belakang rumah itu. " Yan, ini ada Ali." Kata ibunya sebelum meninggalkan sendiri di depan pintu kamar itu. Yani membuka pintu dan mempersilahkanku masuk.

Kamar Yani benar-benar berbeda dengan dengan kamar kebanyakan anak seusia kami. Ketika aku masuk ke dalamnya, bau asap rokok tercium kuat sekali hingga terasa sampai menekan ubun-ubunku. Buku-buku berjajar dibiarkan menempel tembok. Sebuah penggaris besi dan kertas buram dengan coret -- coretan berserakan di lantainya. Bagian atapnya, beberapa manik-manik yang terbut dari kelereng bergerak tersu tanpa henti. Mereka saling menabrak satu sama lainnya.

" Kamu hidup dengan semua ini Yan?"

" Semua ini bagian terpenting dalam hidupku li."

Aku menggelengkan kepala. Aku merasa terdapat sesuatu kejanggalan pada cara pikir Yani. Aku merasa dia bukan seperti anak remaja yang berusia belasan tahun dan masih duduk di bangku Sekolah menengah Atas. Aku mulai berpikir, sepertinya dia merencanakan sesuatu pada malam itu.

" Siapa saja yang kamu undang Yan?"

" Kau, Ari, Anwar dan Taufiq." Yani tertawa.

" Untuk apa?"

" Mempersiapkan Ujian Akhir Nasional kita."

" Iya, aku mendengar dari teman-teman kalau memang kamu yang memimpin persiapan ujian nasional. Hal itu pulalah yang membuat teman-teman mengikutimu untuk tidak masuk sekolah."

Malam itu, Yani mengajariku bagaiman mendistribusikan jawaban dari soal yang telah aku kerjakan sehingga semuanya menerima dan memahaminya. Untuk memastikan kemampuan pengerjaan kami, dia mendatangkan guru-guru dari sekolah lain untuk kami.

***   

Tengah malam, aku terbangun dari tidur. Aku mendengar suara Yani yang sedang melafalkan sesuatu seperti mantra yang tidak jelas makna dan bahasanya. 

Pelan-pelan aku dekatkan kepalaku dengan mulutnya. Namun masih belum aku ketahui apa yang dilafalkannya. Aku nyalakan lampu kamarnya dan segera ku panggilkan perawat melalui telpon. 

Perawat cantik itu datang bersama seorang dokter tua yang berhidung layaknya bangau. Mereka memintaku keluar ruangan sebentar untuk membiarkannya menyelesaikan pekerjaannya.

***

Pagi itu, Sekolah mendadak sepi. Semua siswa kelasku benar-benar tidak masuk sebagaimana yang diperintahkan oleh Yani. Aku pun yang semula berniat masuk pada akhirnya mengurungkannya. 

Seperti kesepakatan kemarin, Kami berkomitmen untuk tetap belajar dan mempersiapkan ujian walaupun tidak di sekolah.  Dari dua ruang kelas tiga, satu IPA dan satu IPS, kami bagi kedalam tiga kelompok. 

Kelompok pertama mempelajari tentang ilmu umum yang di Ujiankan dan terdapat di IPA dan IPS, seperti Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan Matematika. Kelompok kedua berisi tentang mata pelajaran IPS yang diujiankan dan kelompok ketiga mempelajari tentang mata pelajaran IPA yang diujiankan. 

Tidak semua siswa ikut tergabung dalam kelompok ini, hanya beberapa anak yang di rasa mampu menjadi "power" istilah lain untuk orang yang menjadi sumber jawaban di ruang ujiannya. 

Tiap satu ruang Ujian terdapat empat orang power dan karena total ruang ujian nanti sebanyak empat ruang, maka orang yang masuk ke dalam kelompok hanya sekitar enam belas orang di tambah ahli dalam mata pelajaran khusus seperti bahasa inggris dana bahasa indonesia yang total keseluruhan akhirnya menjadi dua puluh dua orang. Aku kebetulan diminta untuk mempimpin kelompok bahasa inggris.

Itulah pengalaman boikot pertama yang aku kenal. Yani selalu bilang bahwa, gandhi lah orang yang paling terkenal dalam gerakan itu. Boikot bukan pemberontakan, melainkan sebuah upaya untuk mengingatkan penguasa. Cara terbaik gerakan orang yang lemah adalah boikot. Dan kali itu, kami melakukan boikot atas kekerasan yang dilakukan di sekolah oleh oknum. 

*** 

Aku duduk di sampingnya, memegang tangannya. Namun tiba-tiba tengah malam itu suasananya berubah melankolis. Suara tangis dari kerabat yang ditinggal mati terdengar merdu dan menyejukkan. Suara napas Yani yang teratur terdengar bagaikan seorang sufi yang sedang meniupkan seruling dalam kemabukannya. Andaikan tidak di rumah sakit, tentu malam itu akan aku lewatkan dengan menari riang.

Aku menatap mata Yani yang masih belum terbuka. Aku teringat bagaimana mata itu dulu menghipnotisku dan membiarkan kami tumbuh dengan penuh semangat. Mata cerah yang kerap kali menggoda banyak perempuan, mata elang yang di dalamnya selalu terbesit nyala api perlawanan. Mata yang dapat mengetahui sesuatu yang terjadi dengan sempurna walaupun jauh.

*** 

Para guru membuat pengumuman di majalah dinding sekolah tentang awal kehancuran masa depan kami. Bahwa kami akan mendapat karma atas pelecehan harga diri mereka dan tindakan abai kami lainnya. Para guru itu telah membuat banyak pernyataan di hadapan adik-adik kelas kami, bahwa kami tidak akan pernah lulus dari sekolah dan mereka tidak akan mau bertanggung jawab atas kegagalan kami. Begitulah laporan yang kami terima dari sepupu Yani.

Perkataan guru itu justru membuat kami semakin semangat untuk berjuang lulus dengan upaya kami sendiri. Bukan atas berkah, mukjizat ataupun hal-hal unlogis lainnya. Maka hari itu juga, saat Ujian nasional kurang dua minggu lagi. Semua kegiatan belajar mengajar difokuskan di rumah Mail.

Yanilah yang merubah rumah mail menjadi semacam pesantren kilat. Tiap kelompok belajar di kamar yang berbeda dengan seorang mentor yang telah disiapkan Yani pada malam harinya. Siang hari saat proses belajar mengajar, Yani hanya berperan layaknya seorang mandor, mondar-mandir memantau pekerjaan kami. 

*** 

Yani membisikiku " kenapa kita harus mati ?"

" Mungkin karena Tuhan tidak ingin kita jauh darinya."

" Dia selalu bertindak sesukanya."

Kami berdua tertawa bersama. "Kamu ingat saat karma kita ditunda olehnya?"

" Ingat-ingat. Saat itu, para guru membuka lembar pengumuman dari Dinas dan alangkah lucunya wajah mereka saat mengetahui kita semua lulus."

Kami kembali tertawa. " Sejak saat itulah, aku selalu percaya pada usahaku. Aku selalu percaya bahwa apa yang kita usahakan akan kita raih."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun