Mohon tunggu...
Tirto Karsa
Tirto Karsa Mohon Tunggu... Buruh Pabrik -

"Hidup hanya senda gurau belaka"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Putik

15 Januari 2018   10:45 Diperbarui: 30 Januari 2018   22:12 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*** 

Ketika suara pukulan itu berhenti, aku segera berlari menghampiri Yani. Tubuhnya tampak lemas, namun matanya masih menyala. Sebuah pertanda keberaniannya masih belum hilang. " Kamu tidak apa-apa Yan?"

" Kamu tahu sendiri keadaanku. Aku baik-baik saja. Tolong belikan aku minum di kantin sekolah." Dia menyodorkan padaku selembar uang lima ribuan. 

Sekembalinya dari kantin, Yani sudah tidak berada di tempat. Aku mulai mencium sebuah firasat buruk. Aku masuk kelas dan sudah ku temukan Yani dikerumuni oleh teman-temannya. Aku sodorkan es marimas itu padanya. 

" Yan, ini esmu dan ini kembaliannya." Aku segera pergi meninggalkan mereka. Akulah orang yang paling tahu bagaimana Yani. Aku berteman dengannya sejak kecil dan aku benar-benar ketakutan pagi itu.

Rencana awalnya, aku ingin menyembunyikan diriku di kantin. Aku tidak ingin terlibat dalam permasalahan yang mereka buat. Tetapi sebelum aku sampai kantin, suara pecahan demi pecahan kaca terdengar bergantian diiringi suara teriakan cewek-cewek yang selanjutnya berubah menjadi tangis ketakutan. Dari tempatku, aku tersenyum saat menyaksikan sekitar 20 orang geng Yani berlarian melompat pagar dekat kantin.

*** 

Yani dewasa masih dekat denganku, kami kuliah di dua universitas yang berbeda tetapi masih dalam satu kota. Sehingga hampir tiap minggu kami mengadakan pertemuan. Terkadang di dekat kampusku, terkadang pula di dekat kampusnya. Yani dewasa masih seperti semasa kecilnya, orang yang abai dengan agamanya. 

Sering kali saat kami ngopi bersama, aku mendengarkan percakapan telpon dirinya dengan ibunya. Mereka selalu memperdebatkan mengenai agama dan peribadatan yang harus Yani jalani. Semua jenis ritual yang disampaikan ibunya selalu ditolaknya dengan argumen-argumen yang sangat masuk akal. 

Aku akui, aku sendiri mengikuti jejaknya. Mengabaikan agama dan fokus pada kuliahku. Mengejar pengetahuan dan menikmati kehidupan indah perkuliahan. Mengikuti demonstrasi, melakukan diskusi dan bahkan traveling ke tempat-tempat terpencil. Jika Yani kenal sepak bola karenaku, maka dia membalasnya dengan memperkenalkan hidup yang istimewa padaku. Itulah mengapa aku harus bercerita tentangnya.

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun