Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Arok...

13 Oktober 2016   12:16 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:14 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

***

Dengan sisa-sisa pakaian kebesaran yang compang-camping bercampur lumpur pekuburan, dan darah yang terus menetes dari dada kiri. Serta tangan kiri yang bersetia menyangga usus terburai, Ametung berdiri tegap, tepat di tempat dulu ia mengembuskan nafas untuk kali terakhirnya. Kali ini Ametung menundukkan pandang ke bumi. Demikian pula keris di tangan kanannya. Angin menghantarkan bau busuk tubuhnya. Hawa busuk tubuh Ametung inilah yang menciptakan wabah tak terkira. Arok menyongsong beberapa tombak di depan dan tersenyum.

“Sudahlah, Akuwu, berdamailah dengan nasib. Pulanglah kepada takdir kekalahan dan kematianmu.”

“Siapa pun semestinya setia pada nasibnya. Namun apakah aku harus menjadi pecundang hanya karena kesetiaan pada nasibku? Ada yang lebih berharga dan utama ketimbang sekadar berserah diri kepada nasib.”

“Aku meragukan ketegaanku membuatmu merintih untuk kali kedua, Akuwu.”

“Seorang ksatria tak akan pernah merintih bila kesakitan.”

“Akuwu, bahkan dengan segala ilmu, pengetahuan, serta kesaktianmu, kau tak akan pernah sanggup mengalahkan aku! Engkau boleh saja meneror seluruh penghuni negeri ini dengan wabah anehmu. Tetapi untuk kali kedua, aku akan menyudahimu. Camkan itu, Akuwu!”

“Pongahmu masih seperti dulu.” Ametung meluruskan pandang ke muka. Dia membahanakan angkara. “Camkan pula, wahai Arok, dalam banyak hal, dendam mengalahkan kematian. Dalam banyak hal lain, cintaku kepada permaisuriku yang telah kaucuri, membangkitkan kematianku! Akulah mimpi buruk kalian berdua. Akulah garis tipis antara cinta dan kebencian. Dan, kalian berdua tidak akan pernah dapat menghentikan kematianku yang menuntut balas karenanya. Jelanglah saatmu, Arok!”

“Apa yang kauinginkan dariku dari kebangkitanmu, Akuwu?!”

“Apa yang kuinginkan?” Ametung berpikir sejenak. “O, tentu saja aku mengingkan rumah manis di pinggir danau, istri ayu, anak yang lucu-lucu, hasil panen yang tak pernah menipu, dan… tentu saja kepalamu, biadab!” Mata sang akuwu memerah darah, menombak Arok.

“Apakah engkau sudah tahu cara bertarung, kakanda  Akuwu?!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun