Arok terkesiap, tak mengira perbincangan dengan sang istri lebih dari sekadar berisi. Mungkin Arok lupa, Dedes adalah putri Mpu Parwa, seorang brahmana, yang lebih diuntungkan dengan bekal ilmu dan pengetahuan, daripada kaum sudra kebanyakan, seperti kasta yang disandangnya.
“Duhai, Dedes. Aku tahu perasaanmu. Namun ketahuilah, aku telah lama berikhtiar mempersuntingmu dengan harapan melapangkan suasana hati ini. Bukan malah kau rongrong dengan kegelisahan-kegelisahan itu. Hidupku sudah terlalu sesak. Jangan kautambahi dengan kesesakanmu!”
Di luar perhitungan Dedes, kegelisahannya membangkitkan amarah Arok pada diri sendiri. “Sudahlah, apa pun yang terjadi di muka biar sejarah yang mengambil alihnya. Aku tak cukup punya kekuatan untuk menampik kemauanku. Aku sendiri tak tahu. Kalaupun tahu, aku tak sadar. Kalaupun sadar, aku tak peduli. Kalaupun peduli, aku tak berdaya. Siapa, siapa yang sanggup melawan dirinya sendiri?!”
Arok muntab. “Tidak penting lagi apa yang telah kulakukan. Itu semua telah lalu, dan tak akan kembali. Sekaranglah saatnya, ke-ki-ni-an. Dan aku, Arok, telah berketetapan hati melakoni sisa darmaku bersamamu, Dedes. Banyak alasan mengapa aku berketetapan demikian. Namun biarlah hanya aku yang tahu. Jadi, Dedes, jangan desak aku membeberkannya, karena semua sudah jelas adanya.”
Dengan suara melantang Arok membaiatkan kesungguhan ke langit Tumapel.
“Maka dengan ini, aku baiatkan kepada khalayak ramai, alam raya beserta segala penghuninya, dan dewa-dewa penguasa semesta: di sinilah Arok dan Dedes bertakhta, dan di sinilah Arok dan Dedes binasa.”
***
Seisi pakuwuan geger. Penghuni negeri panik, lintang pukang. Awan hitam pekat bergandengan dengan badai menyelimuti seantero bumi Tumapel. Hawa penyakit pun menebarkan teluh, menciptakan bencana yang belum pernah ada.
Telik sandi melapor kepada Arok. “Ametung bangkit dari kubur dan tak henti-henti memanggil-manggil nama Paduka. Ametung menuntut balas atas semua yang telah ditimpakan kepadanya!”
Arok terkesiap. Dia tak pernah menduga petaka terus menguntit bahtera kerajaannya, sebagaimana pernah dikutukkan Mpu Gandring ketika binasa di ujung keris ciptaannya sendiri, dulu. Sekarang, sebatang mayat menuntut balas lantaran tuah keris itu.
Arok bergegas menyegera menyambut Ametung di tempat dulu dia menyudahi sang akuwu. Kali ini mereka berada di sisi berbeda. Arok tetap menggenggam harapan bisa menyudahi musuhnya, untuk kali kedua.