“Ini aku, Arok! Aku yang dengan perkasa merampok kekuasaan dan permaisurimu. Mari kita bersemuka, sebelum ajalmu bersua kerisku. Karena kita laki-laki, maka salah satu harus mati!”
“Ya. Karena kita laki-laki, maka salah satu harus mati!” Ametung tak kalah lantang menyepakati ucapan Arok.
“Sepertinya ada yang akan kauutarakan sebelum jasadmu atau jasadku berkalang tanah, Akuwu. Bi-ca-ra-lah!”
“Bukan kematian benar yang kutakuti. Bahkan kematian terlalu sungkan menghampiriku. Sudah tak terhitung begundal macam kau kusudahi. Namun kehinaanlah yang membuatku meradang. Ketahuilah, wahai Arok, bahkan ketika nyawamu atau nyawaku meregang, kesumat dendam ini tak akan pernah tersudahkan.”
“Ohoi, ternyata Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel, raja diraja yang disegani kawulanya, hanyalah patriot bagi diri sendiri, tidak bagi negerinya. Tidak salah kurongrong pertiwimu sembari tanpa permisi kucuri permaisurimu. Tetapi, santaikanlah barang sejenak-dua jenak amarahmu, Akuwu. Ketahuilah…, Dedes tetap akan kusanding di tampuk singgasana itu, menjadi mahligaiku, menjadi peng-an-tin-ku!”
“Kau akan menuai balas di luar perhitunganmu, Arok!” hardik Ametung seraya mengarahkan mata keris ke jantung Arok.
“Akan kusongsong kapan pun saat itu tiba.” Tenang Arok menyahuti, meski kerisnya masih tersarung rapi di balik pinggul.
“Kau gentar, Arok?”
“Tidak satu titik hujan pun.” Meski, deras hujan makin menjadi-jadi.
“Bersiaplah, Arok!”
“Aku senantiasa siaga!”