“Apakah engkau sudah tahu cara dan rasanya menyongsong kematian, andika Arok?!”
Arok agak gentar -- tabu yang selama ini dia hindari. “Mengapa kau membisu, Arok? Engkau gentar menghadapi kematian? Itu di luar kebiasaanmu, Arok yang Agung.” Sindiran Ametung makin mengiris nyali Arok.
“Seorang ksatria tak akan pernah gentar bila maut mengadang. Karena setiap orang akan menemukan jalan kematiannya sendiri-sendiri. Dan jalan takdir kematianku di luar jangkauanmu, Akuwu. Akan kusongsong saatku sebagaimana telah kusongsongkan kematianmu, Akuwu.”
“Kau tak akan pernah dapat membunuhku hanya dengan satu atau dua kali kematian, Arok, sebagaimana kau sudahi para seterumu yang lain. Akulah arwah perkecualian yang akan terus membayang-bayangi dan menghantarkanmu ke mati, takdirmu yang sejati.”
“Aku Arok, sang pembangun! Hidupku berarti dan mati pun aku menjadi lebih berarti.”
“Cih...! Simak dengan tekun kutukanku kepadamu, Arok! Kerismu, kekuasaanmu, dan garis keturunanku yang pernah bersemayam di gua garba permaisuriku dan permaisurimu, akan terus berpusing-puisng laksana gangsing dan bersarang tepat, telak, di jantung takhtamu. Saksikan, Arok! Anusapati* dan para simpatisannya akan bahu-membahu dan terus bersiaga menunggu lengahmu. Dia layaknya pemburu yang kan terus mengintai dan menawarkan kematian pada mangsanya. Dan kau, Arok, kau akan merasakan apa yang kurasakan; merasakan indah dan sempurnanya penderitaan, ditelikung kekuasaan! Selamat datang, Arok! Selamat datang. Kan kusambut saatmu. Selamat datang… di taman kehidupan sebenarnya; ke-ma-ti-an.”
Mereka pun bertarung lagi, lagi, dan lagi. Sampai benar-benar ada yang mati.
Semarang, 7 Juni 2000
Bintaro, Jakarta, 24 Agustus 2000.
Catatan:
Telik sandi : Mata-mata