Mohon tunggu...
Benjamin Simatupang
Benjamin Simatupang Mohon Tunggu... Lainnya - Ayah, suami dan anak

Just keep swimming!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Militer, Demokrasi, dan Pancasila (Memperingati 100 Tahun TB Simatupang, 28 Januari 1920 - 2020))

27 Januari 2020   16:35 Diperbarui: 17 Februari 2024   18:00 1253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peranan resmi Letjen Tahi Bonar Simatupang (Tahi Bonar berarti Tujuan yang benar, selanjutnya disebut : Pak Sim) dalam pemerintahan berlangsung selama 14 tahun (1945 -- 1959).  

Setelah berada di luar pemerintahan, Pak Sim mencurahkan waktu dan pemikirannya ke tingkat yang lebih luas lagi dengan memberikan kontribusi di berbagai bidang, antara lain : lingkup gereja (lokal, nasional dan internasional), dialog antar agama / peranan agama dalam pembangunan, hubungan militer dan demokrasi, pendidikan, dan politik (Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila).   

Apakah masih ada arti Pak Sim bagi kita di abad 21 ini?  

Tulisan ini dibuat dengan keyakinan bahwa cita-cita dan perjuangan Pak Sim masih mempunyai makna bagi kita sekarang ini dan dalam tahun-tahun yang akan datang.  Khususnya, perhatian Pak Sim dalam hubungan militer dan demokrasi di Indonesia.

Catatan biografis di bawah ini semoga mengantarkan pembaca mengenal lebih baik profil Pak Sim.

Batal menjadi dokter, terjun ke militer 

Pak Sim, menurut Rosihan Anwar, wartawan senior, adalah seorang "wonder boy", seorang yang luar biasa cerdas, dan pada usia muda telah mencapai tingkat kedewasaan intelektual.  Selain cerdas, ia juga bersikap kritis. 

Saat masih bersekolah di MULO (setingkat SMP) Tarutung, Sumatra Utara, pak Sim remaja tepergok membaca pidato pembelaan Bung Karno, "Indonesia Klaagt Aan" / Indonesia Menggugat, dan nyaris dikeluarkan dari sekolah.  Namun karena prestasi akademisnya yang mengangkat nama sekolah, pihak sekolah membatalkan niat tersebut. 

Di AMS (setingkat SMA), Batavia (Jakarta), Pak Sim pernah berdebat sengit dengan Meneer Haantjes, guru sejarah.  Sang guru sejarah mendalilkan bahwa penduduk "Hindia Belanda" tidak mungkin bersatu mencapai kemerdekaan, karena perbedaan yang begitu besar antara suku-suku yang ada, dan tidak mungkin membangun tentara yang modern untuk mengalahkan Belanda.

Oleh sebab keadaan fisiknya (badan terlalu pendek, mata kurang tajam, dll.) tidak memungkinkan menjadi tentara yang baik. Pak Sim remaja dengan emosional mendebat bahwa sang guru tidak memahami dinamika sejarah, dan sang guru dianggap menyebarkan mitos yang ketidakbenarannya akan dibuktikan oleh sejarah selanjutnya.

Kisah di atas menunjukkan Pak Sim juga seorang idealis tulen.  Mengidealisasikan kemerdekaan di kala kaum penjajah sedang berada di puncak kekuasaan, hanya mungkin diperbuat oleh seorang idealis tulen. 

Setelah menamatkan AMS, Pak Sim awalnya ingin memasuki sekolah tinggi kedokteran.  Niat itu terinspirasi buku Axel Munthe berjudul, "The story of Sam Michele".  Namun demikian, perkembangan dunia setelah serangan Jerman ke Belanda, dan semangat membuktikan kesalahan sang guru sejarah, mendorong Pak Sim remaja mendaftar di Akademi Militer.  

Di akademi militer, Pak Sim menjadi taruna yang berprestasi tinggi di bidang teori, dan diangkat menjadi krooncadet (taruna mahkota) perak. Kawilarang, dalam biografinya "Membela Merah Putih", menulis bahwa Pak Sim pasti memperoleh mahkota emas andaikata ia adalah orang Belanda.    

Membangun TNI di tengah badai perang kemerdekaan dan revolusi

Orang yang bagaimanapun pintarnya, kalau tidak mendapat kesempatan untuk mempergunakan kepintarannya itu dari suatu kedudukan yang cukup penting dan berpengaruh, maka potensi kecerdasannnya belum tentu bisa berkembang penuh, dan Sejarah akan melewati dia begitu saja.

Dalam diri pak Sim, berlakulah "man meets opportunity, and consequently history", dan kesempatan itu tiba di zaman revolusi fisik bersenjata Indonesia, ketika pada usia yang masih sangat muda, 28 tahun (tahun 1948), menjadi Wakil Jenderal Sudirman.  

Jabatannya saat itu adalah Wakil Kepala Staf Angkatan Perang.  Pak Sim dipandang sebagai teoretikus militer dan layak menduduki posisi itu dengan latar belakang mengenyam pendidikan akademi militer Belanda, serta pemahaman atas dunia kemiliteran dan revolusi melalui berbagai literatur yang dipelajarinya, khususnya karya Carl Von Clausewitz ("Vom Kriege" / "On War".  

Penonton film "Crimson Tide" barangkali ingat dialog antara Capt. Ramsey, komandan kapal selam nuklir, dengan Commander Hunter (diperankan Denzel Washington), yang mengutip Clausewitz : "War is a continuation of politics by other means") dan Karl Marx.   

Kisah Pak Sim dalam perang kemerdekaan, khususnya, periode Agresi II Belanda 19 Desember 1948 hingga pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, dituangkan dalam bukunya "Laporan Dari Banaran".  

Dalam negosiasi dengan pihak Belanda di Konferensi Meja Bundar (KMB), pak Sim berada di delegasi kemiliteran, dan dalam salah satu perundingan hingga larut malam di "de roode kamer" (kamar merah) , salah satu ruang dari kementerian Angkatan Laut Belanda, sukses membuat Belanda menyetujui likuidasi KNIL (Tentara Hindia Belanda) dan meleburkannya ke dalam TNI.  

Mengingat awalnya pihak Belanda menginginkan TNI lah yang dibubarkan, mengalahnya Belanda adalah sebuah kemenangan diplomasi besar bagi kedaulatan secara militer.  Dalam buku "Laporan dari Banaran", Pak Sim menyebutnya sebagai "malam kemenangan TNI atas KNIL". 

Julius Tahija, seorang eks-KNIL yang bergabung dalam Republik (dan menjadi pengusaha di era kemerdekaan, dengan salah satunya mendirikan Bank Niaga), yang menjadi bagian dari delegasi militer Republik, dalam biografinya, "Beyond Horizon" (judul Bahasa Indonesia : Melintas Cakrawala), menuliskan, "Aku banyak belajar dari cara Jenderal Simatupang menghadapi pasangan lawannya dari pihak Belanda.  

Kalau Belanda mengajukan usul yang tidak masuk akal, ia bisa menjadi sedikit kasar.  Tetapi ia selalu tersenyum, memilih kata-katanya dengan hati-hati dan berani mengatakan dengan jelas apa yang dipikirkannya." 

Setelah Jenderal Sudirman wafat (tahun 1950), Pak Sim menggantikan posisinya sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), puncak dalam dunia kemiliteran, pada usia sangat muda, 29 tahun. Saat menjabat sebagai KSAP, Pak Sim mempunyai 3 obsesi:

1. Mulusnya integrasi ex-KNIL ke dalam TNI

2. Peran militer lambat laun makin tidak menonjol. 

Dalam mempelajari sejarah, Pak Sim memahami, banyak negara lahir dalam peperangan, tetapi hanya negara yang berhasil menciptakan suasana dan iklim damai setelah peperangan selesai, yang berhasil menjadi negara besar.  

Pak Sim secara sederhana, membandingkan antara generasi pembebas di Amerika Latin dan di Amerika Serikat. Di Amerika Latin, lama sejak pembebasan oleh Simon Bolivar dan Jose de San Martin, negara-negara di Amerika Latin berada dalam kondisi miskin, dan dilanda kudeta silih berganti.  Sementara Amerika Serikat menjadi negara yang makmur dan kuat, setelah melepaskan diri dari kolonialisme Inggris.       

Mengenai hal ini, Pak Sim saat itu melihat akan mempunyai arti simbolis yang besar, bila Presiden Soekarno tidak lagi memakai pakaian seragam setelah meninggalkan daerah perang kemerdekaan dan revolusi di Yogyakarta.  

Dalam pertemuan dengan Bung Karno, pak Sim mengambil contoh pengalaman di Jerman.  Di Jerman, sebelum Perang Dunia I tidak pernah ada gambar dari Kaisar tanpa memakai pakaian seragam, yang disebut das Ehrenkleid / pakaian kehormatan. Seolah-olah yang tidak memakai pakaian seragam tidak mempunyai kehormatan penuh, dan akibatnya adalah suasana militerisme berkembang di Jerman.  

Bung Karno dapat memberikan contoh dengan mengenakan pakaian sipil pada upacara-upacara militer.  Dengan demikian, jelas bahwa Bung Karno memperoleh pernghormatan bukan karena memakai uniform, tapi karena dia adalah kepala negara.  Reaksi Bung Karno : tidak berkata apa-apa.   

3. Mencegah terulangnya di Indonesia, pengalaman di negara-negara yang pernah mengalami perang rakyat, yaitu adanya instabilititas berkepanjangan.  Bahkan di Cina, akibat instabilitas berkepanjangan, parta komunis mengalahkan partai Kuomintang, dan komunisme mengganti ideologi San Min Chu-i.        

Tetapi bersamaan dengan telah tercapainya posisi puncak di dunia kemiliteran, mulailah pula jalan menurun, melalui peristiwa 17 Oktober 1952, karena tidak ada persesuaian paham dengan Bung Karno. 

Peristiwa 17 Oktober 1952

Banyak pihak beranggapan 17 Oktober 1952 adalah sebuah usaha kup oleh pihak militer (bagi pembaca yang belum mengetahui mengenai Peristiwa 17 Oktober 1952, sila membaca tautan berikut https://nasional.kompas.com/read/2018/10/17/12410771/peristiwa-17-oktober-1952-ketika-tank-dan-meriam-mengarah-ke-istana?page=all 

722258249-5e2ee2e0d541df04c2037652.jpg
722258249-5e2ee2e0d541df04c2037652.jpg
Jenderal Nasution, di tahun 1958, dalam wawancara dengan Louis Fischer,  wartawan The New York Post (ia dua bulan berkeliling Indonesia, dan pengamatannya dituangkan dalam buku "The Story of Indonesia"), menyatakan, "I know the rebel colonels.  I know what rebellion is.  October 17, 1952, was half a coup.  It split the army into two camps.  The officer who took this action were divide, and before coup commenced, they were already quarrelling about jobs..." 

Tapi Pak Sim punya pendapat lain.  Ia berkeyakinan, 17 Oktober 1952 bukanlah kudeta/kup.  Satu dua hari setelah peristiwa 17 Oktober 1952, tanpa pemberitahuan sebelumnya, Pak Sim datang ke Markas Besar Angkatan Darat, dan masuk ke ruangan rapat yang tengah 'panas'.  

Saat Pak Sim duduk, Gatot Subroto berteriak, "Kapan?!"  Pak Sim menjawab, "Apanya yang kapan?!"  Gatot Subroto mengatakan, "Anda tahu apa yang kami maksud."  Pak Sim katakan, "Kalau itu yang dimaksud, sebetulnya tidak ada soal. 

 Kalau saya angkat telepon sekarang ini dan memerintahkan pengawal istana bahwa sejak saat ini tidak ada orang yang keluar atau masuk istana, maka kepresidenan itu tidak ada lagi.  

Nah, sekarang saudara-saudara harus bayangkan. Kekuasaan berada di tangan saudara-saudara, apa yang akan saudara-saudara jalankan selanjutnya dengan kekuasaan itu?"  Semua diam, melihat satu terhadap yang lain. 

Pak Sim selanjutkan katakan,"Siapa yang akan menjadi pemerintah?"  Ada yang menyahut, "Kita angkat pemerintah orang-orang sipil!" Pak Sim menukas, "Apakah itu kemungkinan?  Apakah mereka kebanyakan tidak akan menolak? Apabila saudara-saudara mau mengambil kekuasaan, saudara-saudara harus bersedia untuk memerintah sendiri!"  

Percakapan dilanjutkan, dan dari situ jelas bahwa mengambil alih kekuasaan tidak menjadi soal, tetapi apa yang akan dijalankan kemudian pada kekuasaan itu menjadi tanda tanya besar, dan belum tentu bahwa mengambil alih kekuasaan akan menciptakan jalan yang lebih baik.  

Selanjutnya, pak Sim menjelaskan, apa gunanya mengambil alih kekuasaan apabila akan tercipta keadaan yang lebih buruk.  Bahkan dengan demikian, akan terdapat preseden mengenai kudeta yang tidak ada habisnya, seperti yang terjadi di Amerika Latin.  Kawilarang, dalam biografinya, menyebutkan saat itu Pak Sim menyerukan, "Kritik boleh, tetapi coup, kudeta, tidak boleh!"

Pak Sim masih menguraikan, bahwa apabila diambil alih kekuasaan, maka siapapun yang akan memerintah di Jakarta, mempunyai kemampuan sangat terbatas untuk mengawasi komandan-komandan di daerah.  Dan keadaan itulah, yang di daratan Cina telah menimbulkan warlords-warlords, dan keadaan yang dikuasai warlords-warlords itulah yang pada suatu ketika membuka peluang bagi Partai Komunis Cina mengambil alih kekuasaan. 

1954 -- 1959 : Doktrin, Kader dan Teologi

Di tahun 1954, Pak Sim 'disingkirkan', dengan dihapuskannya jabatan KSAP.  Pak Sim sempat ditawarkan menempati posisi sebagai duta besar. Setelah menyatakan tidak bersedia, ia dijadikan penasehat militer.  Namun, nasehatnya tidak pernah diminta, dan dirasanya hanya tinggal menunggu waktu untuk mengakhiri pengabdian sebagai perwira aktif. 

Dalam masa-masa tersebut, Pak Sim aktif menulis (di periode ini, ia menulis 5 sampai 6 buku, di antaranya, "Laporan dari Banaran", "Pelopor dalam perang, pelopor dalam damai", dan "Soal-soal politik militer di Indonesia"), dan mengajar (di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat).  

Keaktifan menulis dan mengajar ini didorong keyakinan akan dua hal yang dapat diwariskannya ke TNI, selama sisa masa aktifnya sebagai perwira : doktrin dan kader.     

Dalam periode ini pula, Pak Sim berkenalan dengan teologi.  Pembacaannya akan buku-buku teologi (khususnya Karl Barth dan Reinhold Niebuhr), membantu melihat masalah kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, yang sejak bertahun-tahun memotivasi Pak Sim mempelajari perang dan revolusi, dalam perspektif iman Kristen.  Yang sangat memberikan kegairahan baru baginya adalah, bahwa dalam perspektif iman Kristen, masalah kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan, dapat dilihat dengan kacamata yang lebih realistis, dan dengan visi yang lebih berpengharapan.    

Menjelang awal Demokrasi Terpimpin (mungkin sekitar pertengahan tahun 1959), atas prakarsa Suprayogi, Pak Sim dipertemukan dengan Bung Karno.  

Pada pertemuan itu, Pak Sim menjelaskan bahwa dari dirinya, segala sesuatu sudah dilupakan dan dimaafkan.  Setelahnya, Pak Sim diceritakan Suprayogi, bahwa Bung Karno berharap Pak Sim akan meminta jabatan untuk ikut serta dalam Demokrasi Terpimpin yang sudah dipersiapkan.  Tapi pak Sim sudah katakan terlebih dahulu ke Bung Karno, "count me out."  Tidak mengherankan, bahwa tanggal 21 Juli 1959, Pak Sim dipensiunkan dari dinas aktif tentara.  Usianya saat itu 39 tahun. 

Pak Sim tidak dipanggil untuk menerima surat keputusan pemberhentiannya.  Surat keputusan diantar oleh Mayor Guritno ke rumah.  Dalam memoirnya ("Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos -- Menelusuri makna pengalaman seorang prajurit generasi pembebas bagi masa depan masyarakat, bangsa dan negara"), Pak Sim menulis, "Memang sedih juga perasaan saya, bahwa saya diberhentikan dengan cara seperti itu, setelah saya mengabdikan segala-galanya kepada TNI, negara dan bangsa sejak tahun 1945."   

Setelah tidak lagi menjabat sebagai perwira aktif, Pak Sim diajak mempersiapkan Konferensi Gereja dan Masyarakat yang dilaksanakan oleh Dewan Gereja-Gereja Sedunia.  Indonesia saat itu tengah mengalami krisis politik akibat pemberontakan di daerah, di antaranya PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). 

Pak Sim mempunyai pengalaman kecil mengenai intervensi asing di dalam PRRI.  Suatu hari, Pak Sim ditelepon dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, dan menginformasikan ada tamu yang akan datang ke rumah.  

Setelah tamu itu datang, rupanya ia mempunyai tugas menyampaikan pesan, "If Dr. Hatta and you join the movement (penulis : PRRI), I can assure you, that tomorrow there will be a degree of recognition from the United States government."  Pak Sim sangat marah.  Ia mengusir tamu tersebut.  Ia berpendapat bahwa pihak asing salah menilai sikapnya.  

Beberapa waktu sebelum PRRI meletus, Pak Sim secara khusus datang ke kota Padang untuk bertemu Kol. Simbolon.  Dijelaskan ke Simbolon, bahwa adalah merugikan bila memulai semacam perang saudara, yang apabila mereka menang dengan bantuan pihak luar, hanya akan mengakibatkan pecahnya Indonesia, dan bila kalah, maka memperkuat posisi pihak yang dikecam (maksudnya : pemerintah pusat pimpinan Bung Karno).  Selanjutnya mengenai PRRI adalah sejarah.

Militer & Demokrasi : Gagal mendamaikan = trouble

Saat diangkat sebagai KSAP, pertanyaan yang muncul di benak Pak Sim adalah, "Apakah di sini akan terulang sejarah Kuomintang?  Demokrasi ditelan peranan militer dan akhirnya komunis masuk." 

Di kemudian hari, di era Orde baru, pertanyaan Pak Sim melebar menjadi, apakah peranan militer yang disebut Dwifungsi ABRI, tidak membawa ke militerisme, otoriterisme, dan totaliterisme, tapi ikut menumbuhkan dan mengembangkan demokrasi Pancasila?

Sejak awal, pak Sim berkeinginan agar TNI dapat mereorganisasi dirinya menjadi lebih profesional, sehingga peran militer lambat laun makin tidak menonjol.  

Kenyataannya, sejak awal berdiri Republik, TNI telah pasang badan membela Republik, bahkan saat kelembagaan negara lainnya masih dalam proses pembentukan.  Dan peran TNI semakin lama ternyata semakin besar, dan perannya ditahbiskan dengan istilah 'dwifungsi ABRI' (ABRI = Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sebagai kekuatan sosial politik dan kekuatan pertahanan keamanan).

Saat diskusi di CSIS tanggal 10 Oktober 1986, tentang "Dwifungsi ABRI dan Demokrasi Pancasila", Pak Sim menyebutkan, "...saya kira kalau kita tidak damaikan peranan militer...dengan demokrasi, saya kira we are in trouble, we will be in trouble.  Dan terus terang, kebanyakan orang gagal dalam hal ini."

Di tahun 1950-an, teori yang dikembangkan oleh TNI adalah : kita dukung pemerintah, supaya dia menjadi pemerintah yang kuat, di bawah payung pemerintah itu kita reorganisir tentara, supaya dengan dukungan militer, politik dapat berkembang dengan baik. 

Ternyata di sisi lain (pihak sipil) teori itu tidak berjalan : politik tidak tambah stabil malah terpecah-pecah.  Sehingga, dibangun teori : peranan militer yang lebih luas daripada yang diharapkan semula.  Dan itulah yang ditulis Pak Sim dalam buku "Pelopor dalam perang, pelopor dalam damai".    

Pak Sim punya teori sendiri mengenai penyebab peran TNI yang besar.  Menurut Pak Sim, peran besar TNI adalah 'hadiah' dari 3 pihak : Belanda, Darul Islam (perang melawan DI adalah perang terlama TNI : 13 tahun), dan PKI.  

Rongrongan dari ketiga pihak itulah, setelah proklamasi kemerdekaan, yang membuat TNI mereorganisasi dirinya menjadi sebuah institusi yang kian hari kian modern, dan semakin mempersiapkan kadernya secara berkelanjutan.  

Dari sisi doktrin, TNI juga solid mendukung Pancasila.  Sementara itu, organisasi lain di masyarakat, belum mampu mempersiapkan kader yang mumpuni.  Kondisi persatuan nasional saat itu juga tengah diuji dengan usulan berubahnya ideologi negara di sidang-sidang Konstituante.    

Singkatnya, peran TNI yang besar itu adalah sebuah keharusan sejarah.  Namun demikian, pak Sim tidak menginginkan peran TNI selamanya besar/menentukan.  Ia tetap pada obsesi bahwa peranan militer di Indonesia seharusnya tidaklah menonjol.  Pak Sim berpendapat bahwa peranan signifikan TNI harus bersifat sementara. 

Di era Orde Baru TNI sering disebut sebagai dinamisator dan stabilisator demokrasi. Pak Sim sering menjelaskan, bahwa TNI tidak melaksanakan demokrasi, namun menjamin ruang berkembangnya kekuatan demokrasi dan mendorong pertumbuhan demokrasi itu (di sini penulis kembali teringat film "Crimson Tide", ketika Capt. Ramsey berteriak "We are here to preserve democracy, not practice it"). 

Lebih lanjut, Pak Sim menekankan, "Demokrasi itu sendiri tidak dapat lahir dari TNI, demokrasi itu lahir dari masyarakat, tapi TNI dapat menuntun "sapi" itu ke tepi air supaya "sapi" itu minum, tapi TNI tidak dapat minum untuk "sapi" itu.  "Sapi" itu sendiri yang harus minum.  Pada akhirnya, demokrasi Pancasila tidak tergantung TNI, tapi dari kekuatan demokrasi itu sendiri."         

Dalam hal ini, Pak Sim sangat optimis, walau banyak pihak pesimis.  Banyak pihak membantah : mana mungkin sebuah institusi non-demokratis seperti militer, dan dalam posisi berkuasa, dapat mendukung terciptanya demokrasi?  Bagaikan seorang juruselamat yang datang membawa pedang (seperti judul salah satu buku Toynbee : "The failure of the savior with the sword"). 

Inilah yang penulis sebut (ini istilah penulis sendiri, dan silakan jika dibilang ngawur) sebagai "paradoks Simatupang" : Untuk menuju ke arah demokrasi Pancasila menuju masyarakat adil makmur, akan didorong oleh lembaga militer (yang tidak mempraktikkan demokrasi),

Pak Sim memegang teguh pendapatnya, bahwa TNI, sebagaimana dulu berhasil mematahkan mitos bahwa bangsa Indonesia tidak akan mampu bersatu dan membentuk militer yang modern, mampu menjalankan tugas sejarahnya lagi, dengan mengantar bangsa Indonesia ke gerbang demokrasi Pancasila, menuju masyarakat yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 

Salim Said, dalam bukunya, "Menyaksikan 30 tahun pemerintahan otoriter Soeharto", menceritakan salah satu diskusi dengan Pak Sim, di mana Pak Sim marah ketika Salim Said menyatakan ragu akan niat TNI untuk menjadi "stabilisator" dan "dinamisator" demokrasi.  Pak Sim menegur Salim Said karena meremehkan kemampuan TNI, khususnya kader-kader TNI. 

Wasiat Pak Sim : Message from the grave

Penulis yakin, Pak Sim masih memegang teguh obsesi ini hingga akhir hayatnya, walaupun, saat beliau berpulang di tanggal 1 Januari 1990, belum ada tanda-tanda pemerintahan Orde Baru melepaskan gaya otoritariannya.     

Dalam kondisi sakit, Pak Sim menuliskan 'wasiat' nya, yang muncul di harian Suara Pembaruan tanggal 30 Desember 1989, berjudul "Memasuki Dasawarsa Terakhir sebelum abad ke-21".  Oleh majalah Far Eastern Economic Review, tulisan tersebut disebut sebagai "message from the grave."  Dalam tulisan itu, Pak Sim menunjukkan tiga sebab kegagalan Orde Lama:

  • Orde Lama gagal karena tidak rendah hati mengadakan koreksi dan pembaruan dalam dirinya.
  • Orde Lama gagal karena tidak rendah hati mengembangkan mekanisme pengawasan terhadap dirinya sendiri.
  • Orde Lama gagal karena tidak rendah hati mengembangkan mekanisme suksesi terhadap dirinya sendiri. 

Pak Sim mengingatkan, bahwa Orde Baru telah dibeli dengan harga yang sangat mahal (penulis : mungkin yang dimaksud antara lain jatuhnya korban di kalangan rakyat setelah G30S berakhir? Yang ditaksir berkisar antara 500 ribu hingga 3 juta jiwa?) dan meminta Orde Baru tidak mengulangi pengalaman Orde Lama tersebut, serta agar Orde Baru konsekuen menjalankan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. 

1508492388616-suharto-fall-5e2ee3f8d541df62f9642f42.jpeg
1508492388616-suharto-fall-5e2ee3f8d541df62f9642f42.jpeg
Sejarah menunjukkan, seruan Pak Sim bagaikan teriakan di padang gurun.  Orde Baru tidak mengindahkan seruan Pak Sim, dan mengulangi kembali kegagalan Orde Lama.  Di tahun 1998, Orde Baru bisa disebut berakhir, dan bangsa kita memasuki era yang disebut "Reformasi".

Era Reformasi : Membumikan Pancasila -- Membuat Model Pembangunan 

Sejak era Reformasi, peranan militer memang di reorganisasi menjadi kekuatan pertahanan keamanan.  Perannya sebagai fungsi sosial politik semakin berkurang, walau bukan berarti tidak ada.

Menjelang akhir tahun 2019, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, yang juga seorang purnawirawan Jenderal Angkatan Darat mengusulkan bahwa pemerintah bisa saja merekrut perwira-perwira militer untuk mengisi jabatan di kementerian dan pemerintahan.  Wacana tersebut menjadi kontroversial.  Publik sepertinya masih trauma dengan era otoriter Orde Baru, ketika birokrasi militer berkelindan dengan birokrasi politik. 

Ditinjau dari obsesi pak Sim, apakah semakin berkurangnya peran militer saat ini sesuai dengan kondisi yang diharapkannya?  Penulis berpendapat bahwa di sinilah arti penting pemikiran Pak Sim.  

Tujuannya bukan semata semakin tidak menonjolnya militer, namun apakah demokrasi yang tumbuh, telah mengamalkan Pancasila?  Apakah Pancasila dapat dioperasionalkan/dikonkritkan dalam kegiatan pembangunan kita? 

Apakah kekuasaan itu dapat dihubungkan dengann pengamalan Pancasila, supaya dia tidak makin menghilangkan kerukuman beragama, kesegaran dan kehidupan moral dan spiritual, tapi justru mendorongnya; jangan menghilangkan nilai manusia, tapi justru mendorongnya; jangan melemahkan kesatuan bangsa, tapi justru menyuburkannya, jangan menghilangkan demokrasi, tapi mendorongnya, dan jangan menghilangkan keadilan sosial, tapi justru meningkatkannya. 

Pembangunan Nasional sebagai pengamalan Pancasila (PNSPP) memang obsesi Pak Sim yang utama, dan menurut Penulis, hal inilah arti penting pemikiran Pak Sim bagi kita di abad ke-21 ini, supaya kita semua publik mengingatkan penyelenggara pemerintahan untuk mengamalkan Pancasila, dan publik juga berpartisipasi dalam proses pembangunan yang sedang berjalan.     

Fokus perhatian publik harusnya didorong kembali ke hal yang lebih fundamental, apakah pembangunan yang dijalankan pemerintah saat ini, merupakan pengamalan Pancasila? Publik berhak menuntut penyelenggara negara mengamalkan Pancasila.   

Presiden Jokowi memang telah membentuk BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).  Program dan kegiatan yang dilakukan berbentuk melakukan sosialisasi Pancasila kepada masyarakat.  Memang sepertinya saat ini ada arus yang ingin mengubah Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.  Kegiatan sosialisasi macam apa yang dilakukan untuk menjawab tantangan terhadap Pancasila?  Sepertinya, kegiatan sosialisasi diarahkan ke masyarakat.  Sementara, sepertinya, justru sosialisasi yang lebih penting adalah kepada pemerintah sendiri, sebagai penyelenggara pemerintahan.

Pendapat Romo Frans Magnis Suseno dalam buku "Kuasa dan Moral", rasanya masih relevan.  Romo Frans menyebutkan agar Pancasila semakin dihayati, sehingga makin menentukan pola kehidupan nasional bersama masyarakat Indonesia, masyarakat perlu mengalami nilai-nilai Pancasila.  Jadi Pancasila perlu dilakukan dengan konsekuen.   Masyarakat terutama harus dapat melihat sikap Pancasila pada para pemimpin mereka. 

Romo Frans Magnis melihat adanya tiga halangan terhadap penghayatan Pancasila yang seharusnya semakin dihapus:

  1. Masih juga dibiarkan berlangsung pelanggaran-pelanggaran terhadap Pancasila.Misalnya, antara lain : pembatasan hak umat beragama membangun rumah ibadat.  SelaiN itu, dalam pemberantasan pelbagai gangguan kehidupan masyarakat diambil tindakan langsung yang bertentangan dengan sila kedua atas nama efisiensi.  Masyarakat awalnya mungkin merasa lega, namun lama kelamaan merasa ngeri.  Kepercayaan ke dalam kemanusiaan mereka yang menganjurkan Pancasila jangan sampai goyah
  2. Pelbagai bentuk penyelewengan dan korupsi dalam aparatur pemerintah
  3. Kadang terjadi kesan di masyarakat bahwa himbauan pada Pancasila merupakan kedok untuk melindungi kepentingan pribadi atau golongan sendiri.

Patut diingat, bahwa demoralisasi di kalangan yang berkuasa, ditambah terdapat penolakan yang luas terhadap Pancasila, serta harapan yang luas pula akan keadaan baru yang lebih baik daripada kondisi saat ini, dapat mengancam eksistensi Pancasila.    

Dalam hal ini, Salahuddin Wahid dalam dua tulisannya di harian Kompas tahun 2016, berjudul "Negara Pancasilais", dan di tahun 2019, berjudul "Pancasila dan Cita-Cita Proklamasi", berpendapat, bahwa pengamalan sila Pancasila yang paling lemah, adalah sila ke-5 : Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Dan di situlah, Pemerintah perlu memfokuskan daya upaya lebih keras.    

Untuk itu, BPIP, sebagai bagian dari kegiatannya, perlu membuat sebuah model analisa yang dapat dipergunakan sebagai acuan dalam menilai sejauh mana berhasil atau tidaknya pengamalan Pancasila, yang melibatkan publik.  Barangkali tidak perlu malu untuk dapat mengacu kepada indeks demokrasi sebagaimana digunakan oleh lembaga lain, misalnya "The Economist Intelligence Unit" (sebagaimana disebutkan di Kompas tanggal 23 Januari 2020)?

Momentum 100 tahun pak Sim yang selalu menyerukan PNSPP, semoga menjadi waktu yang tepat bagi BPIP dalam menjalankan tugas-tugasnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun