Dari sisi doktrin, TNI juga solid mendukung Pancasila. Â Sementara itu, organisasi lain di masyarakat, belum mampu mempersiapkan kader yang mumpuni. Â Kondisi persatuan nasional saat itu juga tengah diuji dengan usulan berubahnya ideologi negara di sidang-sidang Konstituante. Â Â
Singkatnya, peran TNI yang besar itu adalah sebuah keharusan sejarah. Â Namun demikian, pak Sim tidak menginginkan peran TNI selamanya besar/menentukan. Â Ia tetap pada obsesi bahwa peranan militer di Indonesia seharusnya tidaklah menonjol. Â Pak Sim berpendapat bahwa peranan signifikan TNI harus bersifat sementara.Â
Di era Orde Baru TNI sering disebut sebagai dinamisator dan stabilisator demokrasi. Pak Sim sering menjelaskan, bahwa TNI tidak melaksanakan demokrasi, namun menjamin ruang berkembangnya kekuatan demokrasi dan mendorong pertumbuhan demokrasi itu (di sini penulis kembali teringat film "Crimson Tide", ketika Capt. Ramsey berteriak "We are here to preserve democracy, not practice it").Â
Lebih lanjut, Pak Sim menekankan, "Demokrasi itu sendiri tidak dapat lahir dari TNI, demokrasi itu lahir dari masyarakat, tapi TNI dapat menuntun "sapi" itu ke tepi air supaya "sapi" itu minum, tapi TNI tidak dapat minum untuk "sapi" itu. Â "Sapi" itu sendiri yang harus minum. Â Pada akhirnya, demokrasi Pancasila tidak tergantung TNI, tapi dari kekuatan demokrasi itu sendiri." Â Â Â Â Â
Dalam hal ini, Pak Sim sangat optimis, walau banyak pihak pesimis. Â Banyak pihak membantah : mana mungkin sebuah institusi non-demokratis seperti militer, dan dalam posisi berkuasa, dapat mendukung terciptanya demokrasi? Â Bagaikan seorang juruselamat yang datang membawa pedang (seperti judul salah satu buku Toynbee : "The failure of the savior with the sword").Â
Inilah yang penulis sebut (ini istilah penulis sendiri, dan silakan jika dibilang ngawur) sebagai "paradoks Simatupang" : Untuk menuju ke arah demokrasi Pancasila menuju masyarakat adil makmur, akan didorong oleh lembaga militer (yang tidak mempraktikkan demokrasi),
Pak Sim memegang teguh pendapatnya, bahwa TNI, sebagaimana dulu berhasil mematahkan mitos bahwa bangsa Indonesia tidak akan mampu bersatu dan membentuk militer yang modern, mampu menjalankan tugas sejarahnya lagi, dengan mengantar bangsa Indonesia ke gerbang demokrasi Pancasila, menuju masyarakat yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.Â
Salim Said, dalam bukunya, "Menyaksikan 30 tahun pemerintahan otoriter Soeharto", menceritakan salah satu diskusi dengan Pak Sim, di mana Pak Sim marah ketika Salim Said menyatakan ragu akan niat TNI untuk menjadi "stabilisator" dan "dinamisator" demokrasi. Â Pak Sim menegur Salim Said karena meremehkan kemampuan TNI, khususnya kader-kader TNI.Â
Wasiat Pak Sim : Message from the grave
Penulis yakin, Pak Sim masih memegang teguh obsesi ini hingga akhir hayatnya, walaupun, saat beliau berpulang di tanggal 1 Januari 1990, belum ada tanda-tanda pemerintahan Orde Baru melepaskan gaya otoritariannya. Â Â Â
Dalam kondisi sakit, Pak Sim menuliskan 'wasiat' nya, yang muncul di harian Suara Pembaruan tanggal 30 Desember 1989, berjudul "Memasuki Dasawarsa Terakhir sebelum abad ke-21". Â Oleh majalah Far Eastern Economic Review, tulisan tersebut disebut sebagai "message from the grave." Â Dalam tulisan itu, Pak Sim menunjukkan tiga sebab kegagalan Orde Lama:
- Orde Lama gagal karena tidak rendah hati mengadakan koreksi dan pembaruan dalam dirinya.
- Orde Lama gagal karena tidak rendah hati mengembangkan mekanisme pengawasan terhadap dirinya sendiri.
- Orde Lama gagal karena tidak rendah hati mengembangkan mekanisme suksesi terhadap dirinya sendiri.Â