1954 -- 1959 : Doktrin, Kader dan Teologi
Di tahun 1954, Pak Sim 'disingkirkan', dengan dihapuskannya jabatan KSAP. Â Pak Sim sempat ditawarkan menempati posisi sebagai duta besar. Setelah menyatakan tidak bersedia, ia dijadikan penasehat militer. Â Namun, nasehatnya tidak pernah diminta, dan dirasanya hanya tinggal menunggu waktu untuk mengakhiri pengabdian sebagai perwira aktif.Â
Dalam masa-masa tersebut, Pak Sim aktif menulis (di periode ini, ia menulis 5 sampai 6 buku, di antaranya, "Laporan dari Banaran", "Pelopor dalam perang, pelopor dalam damai", dan "Soal-soal politik militer di Indonesia"), dan mengajar (di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). Â
Keaktifan menulis dan mengajar ini didorong keyakinan akan dua hal yang dapat diwariskannya ke TNI, selama sisa masa aktifnya sebagai perwira : doktrin dan kader. Â Â Â
Dalam periode ini pula, Pak Sim berkenalan dengan teologi. Â Pembacaannya akan buku-buku teologi (khususnya Karl Barth dan Reinhold Niebuhr), membantu melihat masalah kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, yang sejak bertahun-tahun memotivasi Pak Sim mempelajari perang dan revolusi, dalam perspektif iman Kristen. Â Yang sangat memberikan kegairahan baru baginya adalah, bahwa dalam perspektif iman Kristen, masalah kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan, dapat dilihat dengan kacamata yang lebih realistis, dan dengan visi yang lebih berpengharapan. Â Â
Menjelang awal Demokrasi Terpimpin (mungkin sekitar pertengahan tahun 1959), atas prakarsa Suprayogi, Pak Sim dipertemukan dengan Bung Karno. Â
Pada pertemuan itu, Pak Sim menjelaskan bahwa dari dirinya, segala sesuatu sudah dilupakan dan dimaafkan. Â Setelahnya, Pak Sim diceritakan Suprayogi, bahwa Bung Karno berharap Pak Sim akan meminta jabatan untuk ikut serta dalam Demokrasi Terpimpin yang sudah dipersiapkan. Â Tapi pak Sim sudah katakan terlebih dahulu ke Bung Karno, "count me out." Â Tidak mengherankan, bahwa tanggal 21 Juli 1959, Pak Sim dipensiunkan dari dinas aktif tentara. Â Usianya saat itu 39 tahun.Â
Pak Sim tidak dipanggil untuk menerima surat keputusan pemberhentiannya. Â Surat keputusan diantar oleh Mayor Guritno ke rumah. Â Dalam memoirnya ("Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos -- Menelusuri makna pengalaman seorang prajurit generasi pembebas bagi masa depan masyarakat, bangsa dan negara"), Pak Sim menulis, "Memang sedih juga perasaan saya, bahwa saya diberhentikan dengan cara seperti itu, setelah saya mengabdikan segala-galanya kepada TNI, negara dan bangsa sejak tahun 1945." Â Â
Setelah tidak lagi menjabat sebagai perwira aktif, Pak Sim diajak mempersiapkan Konferensi Gereja dan Masyarakat yang dilaksanakan oleh Dewan Gereja-Gereja Sedunia. Â Indonesia saat itu tengah mengalami krisis politik akibat pemberontakan di daerah, di antaranya PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).Â
Pak Sim mempunyai pengalaman kecil mengenai intervensi asing di dalam PRRI. Â Suatu hari, Pak Sim ditelepon dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, dan menginformasikan ada tamu yang akan datang ke rumah. Â
Setelah tamu itu datang, rupanya ia mempunyai tugas menyampaikan pesan, "If Dr. Hatta and you join the movement (penulis : PRRI), I can assure you, that tomorrow there will be a degree of recognition from the United States government." Â Pak Sim sangat marah. Â Ia mengusir tamu tersebut. Â Ia berpendapat bahwa pihak asing salah menilai sikapnya. Â