Mohon tunggu...
Novel Batuhieum
Novel Batuhieum Mohon Tunggu... -

DENGAN NOVEL INI AKU INGIN BALAS DENDAM |Penulis: A. Ranggasetya| |Genre: Romance| |Penerbit: Kalika, September 2012| |ISBN: 978-979-9420-28-2| |Tebal: iv + 268 halaman| |Blog Penulis: www.ranggasetya.wordpress.com|

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

"Skakkk!" (Suatu Malam di Batuhieum)

12 November 2013   20:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:15 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Perubahan pasti ada di setiap tempat di planet bumi ini, begitu pun di Batuhieum. Dulu pemuda-pemudinya degil, sekarang mereka berlomba tampil gaya ala Ariel (Noah Band) atau Avril (Lavigne). Kebiasaan orang tua pun ikut berubah. Dulu, setiap lepas isya, mereka ngobrol ngaler-ngidul di beranda rumah dengan kopi panas sebagai penawar dinginnya. Sekarang kopi lebih sering tersaji di depan televisi, dan jam segini pintu-pintu rumah sudah pada terkunci. Itulah perubahan. Lain-lainnya, seperti; jangkrik mengirik, kodok mengorok, burung hantu di kejauhan, gemericik air pancuran, gemerisik dedaunan, mungkin masih bisa bertahan sampai lima tahun ke depan. Mudah-mudahan.

Perubahan kebiasaan itu tak lain dan tak bukan adalah pengaruh tipi, media elektronik bawaan dunia modern: iblis jahat, ungkap seseorang yang menulis buku tentang Posmodernisme Islam. Gara-gara tipi warga Batuhieum melupakan bagian dari silahturahim, lantas dengan bangga mengadovsi budaya kota: individualis. Gara-gara tipi, suasana Batuhieum jadi sepi, tak ada lagi sorak-sorai bocah bernyanyi. Meskipun misalnya purnama hadir sebulan sepuluh kali, tetap, mereka memilih duduk menonton konser dangdut di TPI. Gara-gara tipi kolam-kolam kehilangan banyak ikan, kebun buah-buahan laksana dipanen setan, baju-baju jemuran berpindah tuan, gardu ronda tinggal kenangan.

Tapi, Baidil dan Kang Naryo memang beda, karena tidak gara-gara tipi keduanya alpa nongkrong di warung Mbak Leli.

Baidil pernah berkata pada Ipang: "Kewajibanku setiap malam adalah nongkrong di warung Mbak Leli."

Bukan tanpa alasan, Mbak Leli adalah wanita yang amat ia idam-idamkan, siang dan malam. Begitu pun Kang Naryo, mengidamkan Mbaj Leli, malam dan siang.

Lalu Ipang menimpali ucapan Baidil bahwa Naryo pun punya 'hak' yang sama nongkrong di warung Mbak Leli. "Apa boleh buat, kamu harus pinjam duit banyak-banyak ke bank untuk menyaingi dompet Naryo yang tebal. Siapa paling banyak jajan, dia akan mendapat hati Leli."

Baidil terhenyak. Terus terang, soal duit, Baidil keok melawan Naryo.

Memang gila (tapi si Ipang menyukai hal-hal gila untuk novelnya), berbagai permainan digelar untuk mempertaruhkan Mbak Leli. Main domino Kang Naryo KO, tapi ia pantang mundur, malah ajukan 'banding' lewat permainan remi. Giliran Baidil yang loyo! Apa lagi?

Ipang menyarankan Baidil membawa papan catur ke warung Mbak Leli. Baidil manut, lantas dengan lantang ia berseru pada Kang Naryo: "Aku ingin menjajal seberapa jenius otak lapukmu, Kang!"

"Dengan?"

"SKAKKK!"

Kang Naryo oke saja. Ia memang lelaki penyabar. Asal tahu saja, usianya sekarang sudah berkepala tiga, ia hanya mengusap dada dilecehkan Baidil yang ABG. Kalau bukan Kang Naryo, sudahlah, benjol-benjol tuh muka Baidil.

Mbak Leli pura-pura tidak menyadari kalau kedua pemuda itu akan mempertaruhkan dirinya. Si Mbak tahu, tapi toh ia butuh duit. Maka disambutlah kedatangan Baidil dan Naryo dengan keramahan. Ia senang karena Kang Naryo menggelontorkan duitnya untuk dua mangkuk bakso dan sebungkus Marlboro. Ia tetap tersenyum saat Baidil sodorkan sekeping lima ratus untuk roti kacang sebungkus.

Lima menit bertanding, pembeli datang dan pergi silih berganti. Sesekali terdengar keluh kesah Baidil. Pantaslah kalau Baidil mengeluh; tiga prajurit koit, sebelumnya kuda, lalu terakhir benteng. Hek, Baidil sesak napas. Sementara armada hitam milik Kang Naryo hanya satu pion terjengkang.

"Sudahlah, Dil, menyerah saja!" kata seorang pembeli sambil ngeloyor pergi. Ia pergi mau nonton tipi.

Pembeli lain menepuk ringan bahu Baidil: "Hanya dengan sebuah keajaiban, raja putihmu selamat."

Pembeli itu pun pergi pula. Katanya mau nonton drama Korea di Indosiar.

Baidil mendelik marah.

Kang Naryo terkekeh senang.

Mbak Leli berseru dari dalam warung: "Sabar ya, Dil, jangan menyerah dulu!"

Syukurlah, support dari Mbak Leli segera menyejukan panasnya hati Baidil. Memang, sepertinya Mbak Leli memihak Baidil, terbukti saat kuda putih dipelintir sang patih hitam, Mbak Leli mengeluh. Pun, ketika benteng putih terjebak dan menjadi santapan peluncur hitam, Mbak Leli merengut. Hati Baidil sesungguhnya riang gembira. Ia pikir Mbak Leli pasti lebih menyukainya. Maka, ketika si mbak melayani seorang ibu yang mau beli pilus Garuda, yang kata si ibu anaknya merengek-rengek setelah melihat iklan pilus di tipi, Baidil berbisik di kuping Kang Naryo: "Kita sudahi saja."

Kang Naryo terpana: "Menyerah?"

"Kalau kamu menang pun percuma, buktinya Mbak Leli memihak padaku."

Kang Naryo tersenyum. "Itu lumrah, Dil, penonton perempuan, apalagi dia yang tak tahu soal catur cenderung memihak pada pemain yang berpotensi kalah."

Baidil terhenyak. "Tapi kamu cemburu, kan?"

Kang Naryo tertawa terpingkal-pingkal.

Tahu-tahu Mbak Leli sudah berdiri di depan mereka. "Sehat benar tawamu, Kang? Ada apa?"

"Dia menyerah," jawab Kang Naryo sambil menunjuk hidung Baidil.

"Jangan dong, Dil. Kamu pasti menang. Mbak doakan, ya?"

Baidil tambah merengut. Sudah jelas mau keok kok dibilang akan menang?

"Tiga langkah lagi kamu mati, Dil!" ancam Kang Naryo.

Baidil menyeringai. "Jangan sombong dulu, Kang. NIH, LIHAT!" teriaknya sambil menggeser patihnya ke baris terdepan.

"Aha, dua langkah lagi, Dil!"

Baidil ragu. Digeser lagi patihnya ke posisi semula.

Kang Naryo terbahak lebih kuat. Sambil menempelkan jari telunjuknya dengan posisi miring di kening, ia mengejek: "Ternyata IQ-mu sepuluh tingkat di bawahku, Dil."

Grrrrrr! Gigi Baidil bergemelutuk, wajahnya gosong, pandangannya runyam. Ia melihat bidak-bidak catur bergerak tak aturan, berjoget, menungging-nungging, meledeknya habis-habisan.

Untungnya, Mbak Leli segera menyentuh bahunya dengan lembut: "Tenang , Dil, masih ada babak kedua."

***

Langkah kakinya ringan menapak di jalan, sesekali Ipang menendang kerikil sampai berloncatan ke got, bunyinya menggelutuk. Ia menarik Class Mild dari saku jeans, tinggal sebatang, diselipkan di bibir. Ia melangkah menuju warung Leli untuk minta api. Sampai di warung, ia tergoda menepuk bahu Baidil yang sedang serius memandang papan catur. "Wah, Dil, hebat! Mau menang, apa?" ledeknya.

Baidil bergeming. Masalahnya, sekarang pion-nya tinggal raja doang.

"Kemarin kamu bilang jago main catur," sambung Ipang, merasa ledekan tadi kurang mengena.

Baidil mendongak marah. "Sialan, aku tak pernah bilang begitu."

"Ya sudah, kalau tak mau dibilang jago, betina saja."

Dari dalam warung, Mbak Leli tertawa. Kang Naryo mesem saja.

"Sudah lama kalian main?" Ipang mengambil korek api di atas meja, menyulut rokok.

"Ini masih ronda satu," jawab Kang Naryo. "Di ronde kedua nanti dia mau balas dendam. Hahaha...."

Ipang terbahak, lantas pergi. Ronde identik dengan tinju, apakah Baidil akan mengakhiri pertandingan catur itu dengan tinju? Ia baru berhenti terbahak ketika ingin mengisap rokok. Asap menghambur ke udara, menambah pekat warna kabut.

***

Tak lama setelah Ipang pergi dari sana, Jejen, Ryan dan Helmi (ketiganya tak menemukan acara seru di televisi) datang memesan teh manis. Jejen dan Helmi mengambil untaian kerupuk sementara Ryan langsung jongkok di depan papan catur. Anak kelas 3 SMP itu menyesalkan langkah raja Baidil yang terpojok.

"SKAK!" teriak Naryo tiba-tiba.

Baidil melengos. Ia mati kutu.

"Sekarang main denganku, Kang Naryo!" Ryan berdiri, seperti hendak menyingkirkan posisi duduk Baidil di bangku.

Karuan saja Baidil nyerongot galak.

Ryan, Jejen dan Helmi saling pandang, melongo.
Kang Naryo tersenyum-senyum.

"Psssst! Si Baidil sudah di atas 180 derajat celsius," bisik Kang Naryo di kuping Ryan.

***

Malam ini, sepasang kekasih tak direstui akan pergi meninggalkan desa, melangkah dengan api asmara yang membara. Akankah cinta mereka berakhir bahagia?

Mbak Leli merenung. "Siapa yang menulis ini?" gumamnya dalam hati. Di tangannya tergantung secarik kertas bertuliskan kalimat di atas. Kertas itu tak sengaja ia temukan di lapak meja jualannya, ditindih bungkus rokok Class Mild kosong serta korek api yang pentulnya tinggal dua batang.

"Ada apa, Mbak? Kok termenung?" tegur Helmi.

"Kamu yang menulis ini, ya?" Mbak Leli balik bertanya sembari menyodorkan kertas.

Helmi menerimanya, lalu dibaca.

Ryan dan Jejen sejenak alihkan perhatian dari papan catur.

Kang Naryo menoleh sedikit.

Baidil? Wah, ia berusaha menampilkan wajah tak peduli.

"Yeee..., apaan itu?" Ryan berseru kecewa setelah tahu isi bacaannya. Ia kembali jongkok depan catur. Matanya sesekali mendelik ke arah Baidil. Ia sudah tak sabar ingin Baidil segera menyingkir.

"Kukira surat kiriman pacar," kata Helmi, meremas-remas kertas itu dan membuangnya ke got.

"Memangnya, pacar Mbak siapa, sih?" Ryan bertanya.

Semua mata tertuju ke arah Mbak Leli, semua ingin tahu jawabannya.

Dan Baidil? Dadanya berdebar hebat.

Mbak Leli menggeleng tanpa suara.

"Kamu pengen tahu, Yan?" Kang Naryo mengerling ke arah Ryan. "Akulah pacarnya," katanya seraya menepuki dadanya sendiri.

Ryan menjulurkan lidah. Ia tak percaya.

"Benar, Mbak?" tanya Helmi.

Mbak Leli menggeleng, tersenyum seperti biasa.

"Memang kenapa kamu tanya pacar mbak Leli segala?" tiba-tiba Baidil nyerobot galak.

"Terserah aku, apa urusanmu?" balas Ryan kecut.

"Sopan dong sedikit!"

"Eh, aku bertanya siapa pacarnya, kok dibilang tak sopan?"

"BANGSAT!" Baidil berdiri, tangannya terkepal, siap dihantamkan ke mulut Ryan. "KAU INGIN TAHU SEPERTI APA ITU KESOPANAN?" bentaknya.

"Sabar, Dil, sabar!" Kang Naryo seorang penyabar, kita pun tahu.

Tapi Baidil rupanya sudah habis kesabaran. Ia menepis tangan Kang Naryo dengan garang. Tak ketinggalan, dibanting pula papan catur sampai bidak-bidaknya mabur. Sudah begitu, baru ia membalbal kepala Ryan.

Jejen tak terima melihat sahabatnya disiksa, ia segera pasang tinju. Sial bagi Jejen, sebelum sempat meninju, Baidil lebih dulu menyodok sesuatu di selangkangan pahanya. Jejen meraung dan ambruk dengan mata terjelit. Nyaris pingsan.

Helmi dengan kalangkabut melerai. Alhasil, ia mendapat jatah satu bogem mentah.

Sampai akhirnya ... jekuk, jekuk, jekuk!

Baidil terjungkal, memegang perutnya, mencoba bangkit, melotot ke arah Kang Naryo penuh dendam, lalu pergi sempoyongan sambil terus memegang perutnya.

"Ini bukan berarti saya sudah habis kesabaran," ujar Kang Naryo sambil mengelus kepalan tangannya. Tak cuma dielus, bahkan ditiup-tiup segala.

Barusan Kang Naryo menggunakan tinjunya itu untuk mengakhiri aksi brutal Baidil. tiga kali jotos di perut, si Baidil langsung KO.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun