Mohon tunggu...
Basir SH
Basir SH Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Pasca UNMA BANTEN

Saya adalah Mahasiswa Pasca Sarjana pada Perguruan Tinggi Universtitas Matlaul Anwar Banten

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Terhadap Putusan Suatu Perkara

11 Mei 2024   17:08 Diperbarui: 11 Mei 2024   17:19 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam dinamika kehidupan sehari-hari sering terjadi konflik di dalam masyarakat. Konflik yang terjadi seringkali tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang terkait. Untuk dapat menyelesaikan konflik tersebut seringkali diperlukan adanya campur tangan institusi khusus yang memberikan penyelesaian secara obyektif, penyelesaian tersebut tentunya didasarkan kepada pedomanpedoman yang berlaku secara obyektif. Fungsi ini lazimnya dilaksanakan oleh suatu lembaga yang disebut dengan lembaga peradilan, yang berwenang untuk melakukan pemeriksaaan, penilaian dan memberikan keputusan terhadap konflik. Kewenangan tersebut dikenal dengan kekuasaan kehakiman yang dalam praktiknya dilaksanakan oleh hakim.

Hakim dalam menyelesaikan konflik yang dihadapkan kepadanya harus dapat menyelesaikan secara obyektif berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari eksekutif. Dalam pengambilan keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan hukum keputusannya. Tetapi penentuan fakta- fakta yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan pilihan kaidah hukum yang mana yang akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan sendiri.

Dengan demikian, jelas bahwa hakim atau para hakim memiliki kekuasaan yang besar terhadap para pihak yang bersengketa berkenaan dengan masalah atau konflik yang dihadapkan kepada hakim atau para hakim tersebut. Namun dengan demikian berarti pula bahwa para hakim dalam menjalankan tugasnya sepenuhnya memikul tanggung jawab yang besar dan harus menyadari tanggung jawabnya tersebut, sebab keputusan hakim dapat membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan orang-orang lain yang terkena oleh jangkauan keputusan tersebut. Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat membekas dalam batin para yastisinbel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.[1]

 

Landasan yuridis dan filosofis kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yang mandiri dan bebas dari segala bentuk campur tangan dari luar, sebagaimana yang dikehendaki di dalam Pasal 24 UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyeleggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Oleh karena itu, hakim sebagai unsur inti dalam SDM yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia, dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi kekuasaan kehakiman wajib menjaga kemandirian peradilan melalui integritas kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sebagaimana diatur di dalam Pasal 39 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009.

 

Pancasila dan UUD 1945 secara tekstual disebutkan sebagai landasan dasar kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, maka kajian tentang kebebasan hakim sebagai obyek material harus dipandang dan dimaknai dari sudut pandang filsafat Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dan UUD 1945 sebagai landasan yuridis konstitusionalnya. Jadi ketika dikaitkan dengan persepsi hakim Indonesia dalam memaknai kebebasan hakim saat menjalankan tugas pokok yang dikatakan adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka kebebasan hakim adalah kebebasan dalam kontrol koridor Pancasila dan UUD 1945.

 

Pancasila sebagai nilai dasar atau nilai fundamental mengandung pengertian abstrak, umum, dan universal bagi bangsa Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. Apabila dikaji secara mendalam, maka pengertian yang abstrak, umum, dan universal tersebut, sangat ideal dan memungkinkan untuk dijabarkan ke bidang filsafat, hukum, sosial, ekonomi, dan sebagainya.[2] Dengan demikian nilainilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila dapat dijadikan sebagai alat untuk merefleksikan makna hakiki kebebasan hakim dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. 

 

Hakim harus mampu merefleksikan setiap teks pasal yang terkait dengan fakta kejadian yang ditemukan di persidangan ke dalam putusan hakim yang mengandung nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai konstitusi dasar dalam UUD 1945, sehingga setiap putusan hakim memancarkan pertimbangan nilai filosofis tinggi, konkretnya ditandai oleh karakter putusan yang berKetuhanan, berperikemanusiaan, menjaga persatuan, penuh kebajikan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Filsafat harus masuk membantu pikiran hakim menyusun pertimbangan putusannya, sehingga putusan hakim mengandung nilainilai keadilan filosofis. Putusan hakim yang baik harus mengandung 3 (tiga) pokok pertimbangan meliputi pertimbangan keadilan filosofis, pertimbangan keadilan sosiologis, dan pertimbangan keadilan yuridis.

 

Akhir-akhir ini banyak putusan, penetapan, dan tindakan hakim atau majelis hakim yang mendapatkan kritik dan reaksi negatif dari masyarakat, yang dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Mahkamah Agung sendiri berkesimpulan bahwa terjadinya kritik dan reaksi negatif tersebut disebabkan karena kurangnya atau lemahnya kontrol ketua pengadilan[3] atau lemahnya manajemen pengawasan pimpinan pengadilan[4] terhadap pelaksanaan tugas para hakim. Kelemahan kontrol tersebut adalah sebagai akibat adanya kerancuan memahami prinsip kebebasan hakim yang diidentikkan dengan kebebasan lembaga peradilan. 

 

Berkaitan dengan prinsip kebebasan hakim tersebut, sebagian hakim telah memahami kebebasan hakim yang melekat pada dirinya sebagai kebebasan absolut, sehingga dengan dalil prinsip kebebasan hakim tersebut, sebagian oknum hakim dapat melegalkan segala tindakannya dan pimpinan pengadilan tidak cukup memiliki referensi argumentasi untuk meluruskan pendirian anak buahnya yang memaknai kebebasan hakim secara keliru tersebut.

 

 

BAB II

 

PERMASALAHAN

 

Ada dua pokok permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini, yaitu : Makna dan fungsi prinsip kemandirian dan kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya walaupun terdapat desakan public sekalipun. Dan bagaimana implementasi prinsip kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang diperiksanya?

 

 

 

BAB III

 

PEMBAHASAN

 

A. Makna dan Fungsi Prinsip Kemandirian dan Kebebasan Hakim dalam memutus suatu perkara 

 

Dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, kata kebebasan digunakan terhadap lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman yang merdeka), maupun terhadap hakim (kebebasan hakim) sebagai aparatur inti kekuasaan kehakiman. Istilah kebebasan hakim sebagai suatu prinsip yang telah ditancapkan konstitusi, ternyata dalam tataran implementasi personal maupun sosial telah banyak menimbulkan berbagai macam penafsiran. Ketika kata kebebasan digabungkan dengan kata hakim, yang membentuk kata majemuk "kebebasan hakim", maka penafsirannya bermacam-macam. Ada yang menafsirkan bahwa kebebasan hakim merupakan kebebasan yang tidak bersifat mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan yang harus didasarkan (terikat kepada dasar Pancasila."[5] Oleh karena itu kebebasan hakim tidak bersifat mutlak, maka kebebasan hakim tidak boleh terlepas dari unsur tanggung jawab. Kebebasan hakim bukanlah kebebasan yang mutlak dan tanpa batas yang cenderung menjurus kepada kesewenang-wenangan.[6] 

 

Secara akademik, mengenai kebebasan hakim dapat ditelusuri mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung yang telah beberapa kali mengalami amandemen. Misalnya sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 32 ayat (5) Undang-Undang No.14 tentang Mahkamah Agung (yang tidak diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004), kata kebebasan hakim tidak diberikan penjelasan lebih rinci dan lebih teknis oleh undang-undang tersebut, oleh karena itu dalam memaknai dan memahami prinsip asas kebebasan hakim harus berada dalam kerangka kontekstual prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Karena secara organisatoris, hakim adalah bagian dari subsistem lembaga peradilan, yaitu sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, sehingga kebebasan hakim harus selalu berada dalam koridor kemerdekaan lembaga kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.[7] 

 

Secara filosofis harus dipahami bahwa putusan hakim atau majelis hakim yang pada awalnya merupakan putusan yang bersifat individual atau majelis, namun pada saat palu hakim diketukkan sebagai tanda putusan, maka pada saat itu putusan hakim harus dipandang sebagai putusan pengadilan yang bersifat kelembagaan, karena setelah putusan hakim atau putusan majelis hakim tersebut diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka putusan yang demikian telah menjelma menjadi putusan lembaga pengadilan dan telah menjadi milik publik.

 

Kekuasaan kehakiman didefinisikan sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kata bebas memiliki konotasi makna tidak boleh terikat oleh apa pun dan tidak ada tekanan dari siapa pun. Bebas juga berarti suatu tindakan tidak boleh digantungkan kepada apa pun atau siapa pun. Bebas juga memiliki arti leluasa untuk berbuat apa pun sesuai dengan keinginan dari kebebasan itu sendiri. Apabila kata bebas disifatkan kepada hakim, sehingga menjadi kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, maka dapat memberikan pengertian bahwa hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan kehakiman tidak boleh terikat dengan apa pun dan/atau tertekan oleh siapa pun, tetapi leluasa untuk berbuat apa pun. Memaknai arti kebebasan semacam itu dinamakan kebebasan individual atau kebebasan ekstensial.[8]

 

Menurut Oemar Seno Adji[9] :"Suatu pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi merupakan syarat yang indispensable bagi negara hukum. Bebas berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan fungsi judiciary. Ia tidak berarti bahwa ia berhak untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia "subordinated", terikat pada hukum."Ide dasar yang berkembang secara universal perlunya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak, "freedom and impartial judiciary" yang menghendaki terwujudnya peradilan yang bebas dari segala sikap dan tindakan maupun bentuk multiintervensi merupakan nilai gagasan yang bersifat "universal". "Freedom and impartial judiciary" merupakan karakteristik dan persyaratan utama bagi negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon maupun eropa kontinental yang menyadari keberpihakan pada penegakan pinsip rule of law. Ada tiga ciri khusus negara hukum Indonesia yang digariskan oleh ilmu hukum melalui prinsip-prinsip Rule of Law, yaitu :[10] 

 

  • Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang mengandung pengertian perlakuan yang sama di bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan;
  • Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya; dan
  • Peradilan yang bebas, tidak bersifat memihak, bebas dari segala pengaruh kekuasaan lain.

 

Menurut Oemar Seno Adji dan Indriyanto,[11] dari aspek historis, menguatnya istilah kebebasan hakim (independensi peradilan) menjadi wacana nasional, telah memberikan indikasi adanya campur tangan ekstra yudisial. Indikasi demikian merupakan karakteristik dari negara-negara yang mengakui konsepsi rule of law, baik di negara yang menganut sistem liberal, neoliberal, maupun sosialis. Konsepsi dan ide kebebasan peradilan yang tidak memihak sudah menjadi acuan negara-negara dengan multi pola sistem, karenanya suatu peradilan bebas dan tidak memihak adalah karakteristik negara demokratis yang mengakui dan menjunjung tinggi prinsip rule of law tersebut. Untuk mewujudkan kehendak freedom and partial judiciary harus dimulai dengan meneliti kondisi internal peradilan, termasuk para hakim.

 

Franken,[12] ahli hukum Belanda, menyatakan bahwa independensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan ke dalam empat bentuk, yaitu : 

 

  • Independensi Konstitusional (Constittionele Onafhankelijkheid); Independensi Konstitusional (Constittionele Onafhankelijkheid) adalah independensi yang dihubungkan dengan doktrin Trias Politica dengan sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti kedudukan klembagaannya harus bebas dari pengaruh politik.
  • Independensi Fungsional (Zakelijke of Fuctionele Onafhankelijkheid); Independensi fungsional berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus memberikan suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh menjalankan kebebasannya unuk menafsirkan undang-undang apabila undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas. Karena bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi undang-undang pada kasus atau sengketa yang sedang berjalan. Independensi substansial dapat juga dipandang sebagai pembatasan, dimana seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa dasar hukum. Independensi substansial juga berarti bahwa dalam kondisi tertentu, hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman dapat mencabut suatu ketentuan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan keadilan atau konstitusi.
  • Independensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele Onafhankelijkheid); Independensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele Onafhankelijkheid) adalah mengenai kebebasan hakim secara individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa. 4. Independensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke Onafhankelijkheid). Independensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke Onafhankelijkheid) adalah independensi hakim untuk tidak berpihak (imparsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh beritaberita itu dan kemudian mengambil begitu saja kata-kata dari media tanpa mempertimbangkan hakim juga harus mampu menyaring desakan desakan dalam masyarakat untuk dipertimbangkan dan diuji secara kritis dengan ketentuan hukum yang sudah ada. Hakim harus mengetahui sampai sejauh mana dapat menerapkan norma-norma sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat.

 

Menurut Oemar Seno Adji,[13] independensi kekuasaan kehakiman dapat dilihat dari dua sudut, yaitu : independensi zakelijke atau fungsional; dan independensi persoonlijk atau rechtspositionele. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian independensi kekuasaan kehakiman mempunyai 2 (dua) aspek, yaitu : 

 

  • Dalam arti sempit independensi kekuasaan kehakiman berarti independensi institusional atau dalam arti lain disebut independensi struktural atau independensi eksternal atau independensi kolektif;
  • Dalam arti luas, independensi kekuasaan kehakiman meliputi juga independensi individual atau independensi internal atau independensi fungsional atau independensi normatif.

 

Menurut Bagir Manan,[14] bahwa majelis hakim dipandang menjadi tidak netral atau berpihak karena beberapa hal, antara lain : 

 

  • Pengaruh kekuasaan dimana majelis hakim tidak berdaya menghadapi kehendak pemegang kekuasaan yang lebih tinggi, baik dari lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri, maupun dari luar (misalnya dari gubernur, bupati, menteri dan lain-lain);
  • Pengaruh publik. Tekanan publik yang berlebihan dapat menimbulkan rasa takut atau cemas kepada majelis hakim yang bersangkutan sehingga memberikan keputusan yang sesuai dengan paksaan publik yang bersangkutan.
  • Pengaruh pihak. Pengaruh pihak dapat bersumber dan hubungan primordial tertentu, maupun karena komersialisasi perkara. Perkara menjadi komoditas perniagaan, yang membayar lebih banyak akan dimenangkan.

 

Prinsip kebebasan hakim, oleh sebagian hakim dipahami sebagai suatu kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batas, sehingga makna kebebasan dipahami sebagai kesewenang-wenangan,[15] sehingga orang dikatakan bebas, kalau dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Disini bebas dipahami juga sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan, termasuk keterikatan dari perbudakan nafsu. Secara paralel, kebebasan hakim dapat dipahami sebagai kebebasan yang terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan dengan seseorang atau apa pun (termasuk nafsu) yang dapat membuat hakim tidak leluasa. Ukurannya adalah kebenaran, dan kebaikan yang dipancarkan oleh nurani. 

 

Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan, bahkan ada pendapat bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya benar-benar berarti sebagai hukum, karena memang tujuan hukum itu adalah tercapainya rasa keadilan pada masyarakat. Setiap hukum yang dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan, maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga dihadapan masyarakat,[16] hukum bersifat obyektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan itu bukan merupakan suatu hal yang gampang. Sesulit apa pun hal ini harus dilakukan demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak dasar hukum itu adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan.[17] 

 

Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa memperhatikan keadilan, dan adil itu termasuk pengertian hakiki suatu tata hukum dan peradilan, oleh karena itu dalam pembentukan tata hukum[18] dan peradilan haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu. Prinsip-prinsip tersebut adalah yang menyangkut kepentingan suatu bangsa dan negara, yaitu merupakan keyakinan yang hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang adil, karena tujuan negara dan hukum adalah mencapai kebahagiaan yang paling besar bagi setiap orang yang sebesar mungkin, justru berpikir secara hukum23 berkaitan erat dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud24 . 

 

Di dalam Pancasila kata adil terdapat pada sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, disamping itu juga termuat dalam sila kelima, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai kemanusiaan yang adil dan keadilan sosial mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan berkodrat harus berkodrat adil, yaitu adil dalam hubungannya dengan diri sendiri, adil terhadap manusia yang lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi adalah bahwa manusia harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan meliputi:

 

  • Keadilan distributif, yaitu suatu keadilan antara negara terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban;
  •  
  • Keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu suatu hubungan keadilan wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundangundangan yang berlaku dalam negara; dan
  •  
  • Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secara timbal balik.[19]

 

Pancasila sebagai dasar negara merupakan unsur-unsur pokok dalam kaidah negara yang fundamental, merupakan norma hukum yang pokok, sehingga semua perundang-undangan yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis serta putusan hakim tidak boleh bertentangan dengan Pancasila yang berisi nilai-nilai Ketuhana Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

 

B. Implementasi Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara yang Diperiksanya

 

Berbicara tentang prinsip kebebasan hakim atau kekuasaan kehakiman (independensi peradilan) tidak boleh tidak harus dikaitkan dengan konsep negara hukum (rechtsstaat). rechtsstaat adalah istilah yang digunakan oleh penganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system) untuk menyebut negara hukum, sedangkan the rule of law adalah kata lain dari rechtsstaat. Kata tersebut digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem hukum common law (anglo saxon).Sebab salah satu syarat mutlak negara hukum adalah adanya jaminan akan kemadirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim. F.J. Stahl,pakar hukum dari negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengemukakan, ada empat unsur negara hukum, yakni hak-hak dasar manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur), dan peradilan tata usaha dalam perselisihan.[20] 

 

Sedangkan A.V. Dicey,[21] ahli hukum dari negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, mengemukakan bahwa unsur-unsur negara hukum ada tiga macam, yaitu supremasi hukum, adanya kesamaan di depan hukum, dan terjaminnya hak-hak manusia, baik oleh undang-undang maupun oleh putusan pengadilan. 

 

Dalam rumusan F.J. Stahl dan A.V. Dicey tentang unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) atau the rule of law sebagaimana dikemukakan di atas, asas kebebasan hakim atau kekuasaan kehakiman tidak disebutkan secara tegas, kecuali secara tersirat. Penyebutan yang tegas tentang hal ini dapat ditemukan dalam konsep negara hukum menurut Frans Magnis Suseno. Dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno[22] bahwa ada lima ciri negara hukum. Kelima ciri tersebut, yakni : 

 

  • Fungsi-fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai dengan ketetapan-ketetapan sebuah undang-undang dasar;
  • Undang-Undang Dasar menjamin hak-hak asasi manusia yang paling penting karena tanpa jaminan tersebut, hukum dapat menjadi sarana penindasan;
  • Badan-badan negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya atas dasar hukum yang berlaku;
  • Terhadap tindakan badan negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan negara; dan
  • Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.

 

Untuk memutus suatu perkara, hakim memiliki kemerdekaan dari campur tangan atau intervensi dari pihak manapun, yang dikenal dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, atau dapat diartikan sebagai kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun.Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang dimiliki oleh lembaga peradilan demi terciptanya suatu putusan yang bersifat obyektif dan imparsial. Maksud dari sifat putusan yang obyektif adalah dalam proses pemberian putusan hakim harus berpendirian jujur, berpandangan yang benar atau berpandangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan mengacu pada ukuran atau kriteria obyektif yang berlaku umum, sedangkan maksud dari putusan yang bersifat imparsial adalah putusan yang dihasilkan seorang hakim tidak memihak kepada salah satu pihak menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa. Disamping itu keputusan yang diberikan tersebut secara langsung memberikan kepastian hukum dalam masyarakat. Jadi dapat disimpulkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, harus menjamin terlaksananya peradilan yang jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum dalam masyarakat berdasarkan hukum yang berlaku.

 

Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran, putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan pengadilan. Tujuan putusan pengadilan sejatinya :

 

  • Harus melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak (penggugat vs tergugat; terdakwa vs penuntut umum), dan tidak ada lembaga lain selain badan peradilan yang lebih tinggi, yang dapat menegaskan suatu putusan pengadilan;
  •  
  • Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena keadilan yang tertunda itu merupakan ketidakadilan;
  •  
  • Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar putusan pengadilan tersebut;
  •  
  • Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu ketertiban sosial dan ketentraman masyarakat;
  •  
  • Harus ada fairness, yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.[23] 

 

Dasar hukum tentang prinsip kebebasan hakim adalah Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan". Dalam interpretasi historis, dapat diketahui bahwa pasal tersebut oleh pembuatnya dimaksudkan bahwa lembaga peradilan bebas dari intervensi lembaga eksekutif atau lembaga dan perorangan. Prinsip yang terkandung didalamnya adalah bahwa kemerdekaan, kebebasan, atau kemandirian adalah bersifat kelembagaan, yaitu lembaga peradilan.

 

Mengenai prinsip kebebasan hakim sebagaimana dimaksudkan Pasal 32 ayat (5) Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (yang tidak dirubah oleh Undang-undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), tidak dijelaskan lebih lanjut secara rinci oleh undang-undang tersebut, oleh karena itu semangat makna Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 harus dikembangkan dalam memahami maksud kebebasan hakim dalam Pasal 32 ayat (5) Undang-undang No. 14 tahun 1945 tentang Mahkamah Agung (yang tidak dirubah oleh Undang-undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1945 tentang Mahkamah Agung), bahwa kebebasan hakim harus dalam kerangka prinsip kebebasan lembaga peradilan.Karena hakim adalah sub sistem dari lembaga peradilan, sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, sehingga kebebasan hakim haruslah selalu berada di dalam koridor kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa "Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemadirian peradilan".

 

Kekuasaan Kehakiman sendiri diartikan sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia, bukan keadilan subyektif menurut pengertian atau kehendak hakim semata. Namun, dalam pelaksanaannya kebebasan dan kemandirian yang diberikan kepada kekuasaan kehakiman (hakim) tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal tersebut disebabkan dalam menjalankan kemandiriannya hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi, serta peraturan perundang-undangan yang mengatur kemerdekaan tersebut. Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim itu bebas dalam atau untuk mengadili sesuai dengan hati nuraninya/keyakinannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun. Hakim bebas memeriksa, membuktikan dan memutuskan perkara berdasarkan hati nuraninya. Disamping itu juga bebas dari campur tangan pihak ekstra yudisial. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD1945. Tetapi di dalam praktik ketentuan itu tidak jarang dilanggar, antara lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, telepon sakti, suap dan sebagainya. Hoentink mengatakan bahwa, hakim tidak boleh mengadili melulu menurut perasaan keadilan diri pribadinya, melainkan ia terikat kepada nilai-nilai yang berlaku secara obyektif di dalam masyarakat. Scholten mengatakan bahwa, hakim terikat pada sistem hukum yang telah terbentuk dan berkembang di dalam masyarakat. Dengan tiap-tiap putusannya hakim menyatakan dan memperkuat kehidupan norma-norma hukum yang tidak tertulis.[24] 

 

Apabila hakim sudah merasa cukup dalam memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, maka tibalah saatnya ia akan memberikan putusan atas perkara yang diajukan. Dalam memutus perkara tersebut disyaratkan dalam undang-undang bahwa disamping berdasarkan alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh undangundang, juga harus berdasarkan pada keyakinan hakim. Untuk menentukan adanya keyakinan ini tidaklah mudah bagi hakim dalam menjalankan tugas profesinya. Keadaan demikian dikhawatirkan jika hakim salah dalam menentukan keyakinannya, maka akan terjadi kesesatan yang mengakibatkan putusan hakim menjadi tidak adil. Menurut Mulyatno, keyakinan hakim adalah suatu keyakinan yang ada pada diri hakim, kalau ia sudah tidak menyangsikan sama sekali akan adanya kemungkinan lain daripada yang digambarkan kepadanya melalui suatu pembuktian. Jadi hal yang diyakini kebenarannya itu sudah di luar keragu-raguan yang masuk akal (beyond reasonable doubt).[25] 

 

Berdasarkan uraian di atas, dikaitkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 1966 tentang Pedoman Fungsi Hirarkhis Badan-Badan Pengadilan/Hakim, maka ketentuan-ketentuan yang diatur Surat Edaran Mahkamah Agung Ri Nomor 5 Tahun 1966 tidak bertentangan dengan kemurnian pelaksanaan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan kebebasan hakim, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

 

  • Hakim bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya Hakim atau Majelis hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk mengadili suatu perkara harus tetap bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya itu, baik dalam penyelenggaraan peradilan, penilaian kebenaran atau keadilannya, dan tidak boleh diperintah atau diberi tekanan secara apapun dan oleh siapapun.
  • Menyelenggarakan peradilan dengan seksama sewajarnya Atas permintaan hakim/hakim-hakim yang bersangkutan atau atas inisiatif dari ketua atau dari pimpinan pengadilan atasannya secara umum atau dalam perkara tertentu terutama dalam perkara-perkara yang menarik perhatian publik, berat atau sulit dapat dimintakan atau diberi bimbingan yang bersifat nasihat-nasihat atau petunjuk-petunjuk umum dalam menjalankan tugas tersebut kepada/oleh ketua atau pimpinan pengadilan atasannya yang bersangkutan yang semuanya harus secara serius harus dinilai sebagai bahanbahan pertimbangan untuk menyelenggarakan peradilan dengan seksama sewajarnya.
  • Arahan atau bimbingan selama pemeriksaan berjalan Selama pemeriksaan berjalan sampai dengan pemutusannya maka arahan atau bimbingan dan petunjuk-petunjuk tersebut hanya dapat diberikan oleh ketua pengadilan atau pimpinan pengadilan atasannya atas permintaan hakim atau majelis hakim yang bersangkutan.
  • Arahan atau bimbingan lisan atau tertulis Arahan atau bimbingan ketua pengadilan atau pimpinan pengadilan atasannya di atas, dapat dimintakan atau diberikan secara tertulis (terutama jika tempatnya jauh) atau lisan.
  • Arahan atau bimbingan tentang penilaian kebenaran, pembuktian, dan keadilan Masalah-masalah penyelenggaraan peradilan, penilaian kebenaran, pembuktiaan, penerapan hukumnya atau penilaian keadilannya untuk mencapai keserasian dalam lingkungan suatu peradilan dapat didiskusikan antara para hakim sendiri di bawah pimpinan ketua pengadilan yang bersangkutan secara berkala atau insidentil tanpa mengurangi prinsip kebebasan hakim.
  • Peringatan atau teguran kepada hakim atau majelis hakim Peringatan atau teguran oleh ketua pengadilan atau pimpinan pengadilan atasannya, baik terhadap penyelenggaraan atau jalannya peradilan maupun perbuatan hakim dapat diberikan secara umum atau khusus dengan tulisan atau lisan mengenai suatu perkara, pada asasnya hanya dibenarkan setelah perkara selesai diputus.

 

 

 

BAB III

 

PENUTUP

 

KESIMPULAN

 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan. Prinsip kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, dapat dimaknai bahwa hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan kehakiman tidak boleh terikat dengan apa pun dan/ atau tertekan oleh siapa pun, tetapi leluasa untuk berbuat apa pun. Memaknai arti kebebasan semacam itu dinamakan kebebasan individual atau kebebasan ekstensial.

 

Implementasi prinsip kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya Hakim bebas dari campur tangan kekuasaan ekstra yudisial, baik kekuasaan eksekutif maupun legislatif dan kekuatan ekstra yudisial lainnya dalam masyarakat, seperti pers. Hakim dalam memeriksa dan mengadili bebas untuk menentukan sendiri cara-cara memeriksa dan mengadili, kebebasan hakim bermakna kebebasan dalam konteks kebebasan lembaga peradilan. Konsekwensi logisnya harus dimaknai bahwa baik secara umum maupun dalam perkara-perkara tertentu, pimpinan pengadilan dapat memberikan arahan atau bimbingan bagi para hakim yang bersifat nasihat atau petunjuk, hal ini tidak mengurangi makna kebebasan hakim.

 

 

 

SARAN

 

            Indonesia sebagai Negara hukum harus memposisikan hukum sebagai panglima tertinggi, dimana adanya hukum untuk mengatur demi terwujudnya suatu keadilan. Maka ditangan kekuasaan lembaga kehakimanlah keadilan dapat diraih apabila kekuasaan kehakiman tidak disalahgunakan oleh oknum hakim yang hanya mementingkan kepentingan-kepentingan individual atau kelompok tertentu maka keadilan dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Artidjo Alkostar, Dimensi Kebenaran Dalam Putusan Hakim, varia peradilan, 2008.

 

Bagir Manan,Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian),Jakarta: FH-UI Press, , 2004.

 

Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi; Sebuah Telaah Filosofis,Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,1995..

 

Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,Jakarta: Pustaka Filsafat, 1987.

 

H. Franken, Onafhankelijkheid en Verantwoordelijke, Gouda Quhnt, 1997.

 

I.G.N. Soegangga, Pengantar Hukum Adat ,Semarang : Badan Penerbit Undip, 1994.

 

Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pendidikan Tinggi ,Jakarta : Paradigama, 2007.

 

Kees Bertens Sejarah Filsafat Yunani,Yogyakarta : Kanisius ,1999.

 

Kees Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris, Jerman ,Jakarta,:Gramedia Pustaka Utama, 2002.

 

Ketersediaan aturan yang jelas-tegas dan predictable, merupakan keharusan (moral) yang terkait dengan kepastian hukum secara formal. Bernard A. Sidharta, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, Jentera (Jurnal Hukum), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), edisi 3 Tahun II, November, Jakarta, 2004.

 

Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Mandar Maju, 2007.

 

Miriam Budiarto, Aneka Pemikiran tentang kuasa dan Wibawa, Jakarta : Sinar Harapan , 1991.

 

Mulyatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,Jakarta :Bina Aksara, 1982.

 

Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Aji, Peradilan Bebas dan Contempt of Courts,Jakarta:Diadit Media 1980.

 

Oemar Seno Adji, Prasarana pada Seminar Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945,Jakarta : Seruling Masa, 1966.

 

Oemar Seno Adji,Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga,1987.

 

Pandangan hukum yang formalis, seperti ketaatan pada hukum putati yang telah ada (hukum positif) dapat diabaikan atas nama hak moral. Lihat Lon. L.Fuller,Morality of Law,Yale University Press, New Haven, 1964.

 

Soejadi, Pancasila sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia, Lukman Offset, 1999,Yogyakarta.

 

Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hakim,Sinar Grafika, 2002, Jakarta.

https://media.neliti.com/media/publications/110883-ID-prinsip-kebebasan-hakim-dalam-memutus-pe.pdf.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun