Â
Dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, kata kebebasan digunakan terhadap lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman yang merdeka), maupun terhadap hakim (kebebasan hakim) sebagai aparatur inti kekuasaan kehakiman. Istilah kebebasan hakim sebagai suatu prinsip yang telah ditancapkan konstitusi, ternyata dalam tataran implementasi personal maupun sosial telah banyak menimbulkan berbagai macam penafsiran. Ketika kata kebebasan digabungkan dengan kata hakim, yang membentuk kata majemuk "kebebasan hakim", maka penafsirannya bermacam-macam. Ada yang menafsirkan bahwa kebebasan hakim merupakan kebebasan yang tidak bersifat mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan yang harus didasarkan (terikat kepada dasar Pancasila."[5] Oleh karena itu kebebasan hakim tidak bersifat mutlak, maka kebebasan hakim tidak boleh terlepas dari unsur tanggung jawab. Kebebasan hakim bukanlah kebebasan yang mutlak dan tanpa batas yang cenderung menjurus kepada kesewenang-wenangan.[6]Â
Â
Secara akademik, mengenai kebebasan hakim dapat ditelusuri mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung yang telah beberapa kali mengalami amandemen. Misalnya sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 32 ayat (5) Undang-Undang No.14 tentang Mahkamah Agung (yang tidak diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004), kata kebebasan hakim tidak diberikan penjelasan lebih rinci dan lebih teknis oleh undang-undang tersebut, oleh karena itu dalam memaknai dan memahami prinsip asas kebebasan hakim harus berada dalam kerangka kontekstual prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Karena secara organisatoris, hakim adalah bagian dari subsistem lembaga peradilan, yaitu sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, sehingga kebebasan hakim harus selalu berada dalam koridor kemerdekaan lembaga kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.[7]Â
Â
Secara filosofis harus dipahami bahwa putusan hakim atau majelis hakim yang pada awalnya merupakan putusan yang bersifat individual atau majelis, namun pada saat palu hakim diketukkan sebagai tanda putusan, maka pada saat itu putusan hakim harus dipandang sebagai putusan pengadilan yang bersifat kelembagaan, karena setelah putusan hakim atau putusan majelis hakim tersebut diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka putusan yang demikian telah menjelma menjadi putusan lembaga pengadilan dan telah menjadi milik publik.
Â
Kekuasaan kehakiman didefinisikan sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kata bebas memiliki konotasi makna tidak boleh terikat oleh apa pun dan tidak ada tekanan dari siapa pun. Bebas juga berarti suatu tindakan tidak boleh digantungkan kepada apa pun atau siapa pun. Bebas juga memiliki arti leluasa untuk berbuat apa pun sesuai dengan keinginan dari kebebasan itu sendiri. Apabila kata bebas disifatkan kepada hakim, sehingga menjadi kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, maka dapat memberikan pengertian bahwa hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan kehakiman tidak boleh terikat dengan apa pun dan/atau tertekan oleh siapa pun, tetapi leluasa untuk berbuat apa pun. Memaknai arti kebebasan semacam itu dinamakan kebebasan individual atau kebebasan ekstensial.[8]
Â
Menurut Oemar Seno Adji[9] :"Suatu pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi merupakan syarat yang indispensable bagi negara hukum. Bebas berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan fungsi judiciary. Ia tidak berarti bahwa ia berhak untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia "subordinated", terikat pada hukum."Ide dasar yang berkembang secara universal perlunya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak, "freedom and impartial judiciary" yang menghendaki terwujudnya peradilan yang bebas dari segala sikap dan tindakan maupun bentuk multiintervensi merupakan nilai gagasan yang bersifat "universal". "Freedom and impartial judiciary" merupakan karakteristik dan persyaratan utama bagi negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon maupun eropa kontinental yang menyadari keberpihakan pada penegakan pinsip rule of law. Ada tiga ciri khusus negara hukum Indonesia yang digariskan oleh ilmu hukum melalui prinsip-prinsip Rule of Law, yaitu :[10]Â
Â
- Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang mengandung pengertian perlakuan yang sama di bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan;
- Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya; dan
- Peradilan yang bebas, tidak bersifat memihak, bebas dari segala pengaruh kekuasaan lain.