Â
Prinsip kebebasan hakim, oleh sebagian hakim dipahami sebagai suatu kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batas, sehingga makna kebebasan dipahami sebagai kesewenang-wenangan,[15] sehingga orang dikatakan bebas, kalau dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Disini bebas dipahami juga sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan, termasuk keterikatan dari perbudakan nafsu. Secara paralel, kebebasan hakim dapat dipahami sebagai kebebasan yang terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan dengan seseorang atau apa pun (termasuk nafsu) yang dapat membuat hakim tidak leluasa. Ukurannya adalah kebenaran, dan kebaikan yang dipancarkan oleh nurani.Â
Â
Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan, bahkan ada pendapat bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya benar-benar berarti sebagai hukum, karena memang tujuan hukum itu adalah tercapainya rasa keadilan pada masyarakat. Setiap hukum yang dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan, maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga dihadapan masyarakat,[16] hukum bersifat obyektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan itu bukan merupakan suatu hal yang gampang. Sesulit apa pun hal ini harus dilakukan demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak dasar hukum itu adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan.[17]Â
Â
Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa memperhatikan keadilan, dan adil itu termasuk pengertian hakiki suatu tata hukum dan peradilan, oleh karena itu dalam pembentukan tata hukum[18] dan peradilan haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu. Prinsip-prinsip tersebut adalah yang menyangkut kepentingan suatu bangsa dan negara, yaitu merupakan keyakinan yang hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang adil, karena tujuan negara dan hukum adalah mencapai kebahagiaan yang paling besar bagi setiap orang yang sebesar mungkin, justru berpikir secara hukum23 berkaitan erat dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud24 .Â
Â
Di dalam Pancasila kata adil terdapat pada sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, disamping itu juga termuat dalam sila kelima, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai kemanusiaan yang adil dan keadilan sosial mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan berkodrat harus berkodrat adil, yaitu adil dalam hubungannya dengan diri sendiri, adil terhadap manusia yang lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi adalah bahwa manusia harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan meliputi:
Â
- Keadilan distributif, yaitu suatu keadilan antara negara terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban;
- Â
- Keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu suatu hubungan keadilan wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundangundangan yang berlaku dalam negara; dan
- Â
- Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secara timbal balik.[19]
Â
Pancasila sebagai dasar negara merupakan unsur-unsur pokok dalam kaidah negara yang fundamental, merupakan norma hukum yang pokok, sehingga semua perundang-undangan yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis serta putusan hakim tidak boleh bertentangan dengan Pancasila yang berisi nilai-nilai Ketuhana Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.