Â
Menurut Oemar Seno Adji dan Indriyanto,[11] dari aspek historis, menguatnya istilah kebebasan hakim (independensi peradilan) menjadi wacana nasional, telah memberikan indikasi adanya campur tangan ekstra yudisial. Indikasi demikian merupakan karakteristik dari negara-negara yang mengakui konsepsi rule of law, baik di negara yang menganut sistem liberal, neoliberal, maupun sosialis. Konsepsi dan ide kebebasan peradilan yang tidak memihak sudah menjadi acuan negara-negara dengan multi pola sistem, karenanya suatu peradilan bebas dan tidak memihak adalah karakteristik negara demokratis yang mengakui dan menjunjung tinggi prinsip rule of law tersebut. Untuk mewujudkan kehendak freedom and partial judiciary harus dimulai dengan meneliti kondisi internal peradilan, termasuk para hakim.
Â
Franken,[12] ahli hukum Belanda, menyatakan bahwa independensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan ke dalam empat bentuk, yaitu :Â
Â
- Independensi Konstitusional (Constittionele Onafhankelijkheid); Independensi Konstitusional (Constittionele Onafhankelijkheid) adalah independensi yang dihubungkan dengan doktrin Trias Politica dengan sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti kedudukan klembagaannya harus bebas dari pengaruh politik.
- Independensi Fungsional (Zakelijke of Fuctionele Onafhankelijkheid); Independensi fungsional berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus memberikan suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh menjalankan kebebasannya unuk menafsirkan undang-undang apabila undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas. Karena bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi undang-undang pada kasus atau sengketa yang sedang berjalan. Independensi substansial dapat juga dipandang sebagai pembatasan, dimana seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa dasar hukum. Independensi substansial juga berarti bahwa dalam kondisi tertentu, hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman dapat mencabut suatu ketentuan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan keadilan atau konstitusi.
- Independensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele Onafhankelijkheid); Independensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele Onafhankelijkheid) adalah mengenai kebebasan hakim secara individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa. 4. Independensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke Onafhankelijkheid). Independensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke Onafhankelijkheid) adalah independensi hakim untuk tidak berpihak (imparsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh beritaberita itu dan kemudian mengambil begitu saja kata-kata dari media tanpa mempertimbangkan hakim juga harus mampu menyaring desakan desakan dalam masyarakat untuk dipertimbangkan dan diuji secara kritis dengan ketentuan hukum yang sudah ada. Hakim harus mengetahui sampai sejauh mana dapat menerapkan norma-norma sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Â
Menurut Oemar Seno Adji,[13] independensi kekuasaan kehakiman dapat dilihat dari dua sudut, yaitu : independensi zakelijke atau fungsional; dan independensi persoonlijk atau rechtspositionele. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian independensi kekuasaan kehakiman mempunyai 2 (dua) aspek, yaitu :Â
Â
- Dalam arti sempit independensi kekuasaan kehakiman berarti independensi institusional atau dalam arti lain disebut independensi struktural atau independensi eksternal atau independensi kolektif;
- Dalam arti luas, independensi kekuasaan kehakiman meliputi juga independensi individual atau independensi internal atau independensi fungsional atau independensi normatif.
Â
Menurut Bagir Manan,[14] bahwa majelis hakim dipandang menjadi tidak netral atau berpihak karena beberapa hal, antara lain :Â
Â
- Pengaruh kekuasaan dimana majelis hakim tidak berdaya menghadapi kehendak pemegang kekuasaan yang lebih tinggi, baik dari lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri, maupun dari luar (misalnya dari gubernur, bupati, menteri dan lain-lain);
- Pengaruh publik. Tekanan publik yang berlebihan dapat menimbulkan rasa takut atau cemas kepada majelis hakim yang bersangkutan sehingga memberikan keputusan yang sesuai dengan paksaan publik yang bersangkutan.
- Pengaruh pihak. Pengaruh pihak dapat bersumber dan hubungan primordial tertentu, maupun karena komersialisasi perkara. Perkara menjadi komoditas perniagaan, yang membayar lebih banyak akan dimenangkan.