"Tak mengapa, Bang." Mutiara tersenyum. Heri tersenyum. Jamal membeku.
"Saya pun perlu minta maaf. Gara-gara saya Abang Jamal ini kena pukul banyak orang."
Heri menggeleng-gelengkan kepala. Jamal menggerak-gerakkan tangannya. Mutiara tak ada salah, sehingga tak perlu minta maaf. Jamal yang kurang ajar, sudah meludahi Mutiara di tempat ramai.
Hening beberapa menit. Lalu Mutiara berucap kepada Heri, "Bang, boleh tak saya cakap berdua saja dengan Bang Jamal?" Jamal berdesir. Heri agak terkejut, tapi dengan sigap menjawab, "Iye...sile...sile." Segera ia bangkit meninggalkan ruangan.
Hening sesaat. Mutiara mendekatkan duduknya ke Jamal. Hening lagi beberapa saat. Ia seperti ragu. Tapi akhirnya ia bicara.
"Maaf, Bang bila saya lancang. Tapi saya harus sampaikan. Peristiwa tadi saya rasa bukan kebetulan."
Jamal terperangah. Ia mengubah sedikit posisi duduknya, sebagai isyarat bahwa ia memberikan perhatian. Ia pun mengangguk kecil, tapi masih belum sanggup berucap satu kata pun jua. Entah mengapa lidahnya masih saja kelu.
Belum ada sebulan Mutiara di Kijang, tinggal bersama keluarga Pakciknya. Ia datang dari pulau lain yang tak ia sebutkan.
"Saya pindah ke sini, nak menenangkan diri."
Mutiara mengaku dirinya bukanlah seorang perempuan yang baik.
"Sering saya mempermainkan lelaki. Mudah saja saya berpindah dari lelaki satu ke lelaki lain."