Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ludah!

14 Februari 2021   16:37 Diperbarui: 14 Februari 2021   17:08 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ludah!

Sudah sekitar enam bulan ini otak Jamal macam sudah senget. Suatu hari, tiba-tiba saja ia merasa ingin meludahi wajah perempuan. Terutama yang hitam manis. Mungkin karena Jamal kecewa dan sakit hati kepada perempuan hitam manis macam Soraya, Lili, Zubaidah, atau Nuraisah. Mereka semua tak menjawab pinangannya.

Terlalu. Kurang apa Jamal? Apa ia kurang kaya, kurang lawa, kurang ilmu? Sayangnya, semua itu betul. Jamal cuma pedagang kain yang tak kaya tak pula miskin, lawa sedikit, tak makan sekolah tinggi. Pun tak pandai mengaji. Lain dengan Ahmad, budak Kolong Enam. Walau hanya lulus ST, Ahmad pandai mengaji. Berkali-kali menang musabaqah. Dia sudah berbini sekarang. Lain pula dengan Sudin. Jamal lebih lawa, tapi Sudin anak orang kaya. Dia pun sudah berbini sekarang. Dua pula.

Hasrat yang janggal bin kurang ajar ini menyiksanya. Tiap kali berjumpa perempuan hitam manis, ia tak dapat menahan diri. Ia sungguh ingin mendekat dan meludahi muka perempuan itu. Maka dari itu, cepat-cepat Jamal menjauh. Jangan sampai ia meludahi, Bisa mati ia kena tumbuk orang sekampung.

Makin hari hasrat gila ini makin teruk. Sekarang tiap kali berjumpa perempuan, entah hitam manis entah tidak, Jamal ingin meludahi wajahnya. Sudah kena sampuk mambang mana dia? Pernah ia tanya kepada Wak Haji Fadli, guru ngajinya semasa kecil dulu. Menurutnya Jamal sudah kemasukan jin. Mesti dirukyah. Jamal tanya pula Dokter Herman, dokter perusahaan tambang bauksit. Ia bercerita panjang, tapi Jamal kurang paham. 

Dorongan untuk sering meludah ialah gangguan yang wajar. Pada perempuan yang tengah hamil, hasrat ingin terus meludah mungkin tersebab oleh perubahan hormon. Pada orang awam, dorongan untuk sering meludah dapat berasal dari berbagai sebab. Tapi ingin meludah tepat di wajah perempuan? Mungkin Jamal mengalami cedera psikologis, kata Dokter Herman. Benda macam apa pula itu?

Kelakuan Jamal yang terus menghindar setiap berjumpa perempuan sudah menjadi pergunjingan orang ramai. Dia dikatakan macam-macam. Ada yang bilang ia tak lagi menyukai perempuan. Beberapa perempuan, daripada hindari, lebih dulu menghindari setiap berpapasan dengan Jamal. Beberapa perempuan lain malahan sengaja menggodanya. 

Setiap kali Jamal menghindar, mereka mengejar. Yang paling teruk ialah ketika ada perempuan yang masuk ke toko kain miliknya bersama Heri, sahabatnya, Nama dia sebenarnya Zuhairi. Terpaksa Jamal bersembunyi atau lari ke kedai kopi. Kasihan Heri, terpaksa melayani pembeli seorang diri. Belum lagi sebagian pembeli tersinggung melihat ulah Jamal.

"Engkau ni, kenape?" tanya Heri.

"Entahlah, Ri."

"Tak elok lah tinggalkan pelanggan macam tu."

"Ye, aku tahu."

Ceritalah apa sebab? Engkau sakit hati dan benci perempuan ke?"

"Payahlah nak cakap."

Walau Heri baik sangat, tak akan Jamal ceritakan kepadanya tentang hasrat meludah itu. Membagi rahasia dengannya macam membungkus tulang dengan daun talas. Bisa satu Kijang tahu semua. Hendak diletakkan di mana muka Jamal?

Tak boleh terus begini. Toko kian sepi. Walau tak pernah menyinggung teruknya penjualan, Jamal tahu Heri kecewa. Mungkin juga dia kesal atau marah. Tapi, itulah Heri. Tak sekalipun ia nampak cemberut. Selalu cerah dan banyak tawa. Hidup ini baginya macam kapuk yang diterbangkan angin. Ringan, sampai tiba masa terempas ke tanah. Entah di tanah sebelah mana.

Jamal tak boleh lagi ada di toko. Bahkan ia rasa, ia tak boleh tinggal dekat-dekat sini. Kalau masih di sini, tak mungkin ia tak jumpa perempuan. Pilihan yang paling mungkin ialah tinggal di kebun warisan ayahnya di Wacopek. Sekali-sekali ia bisa minta tolong Heri membawakanku beras. Kalaupun tidak, nantilah dipikirkan.

"Engkau ni apelah? Nak mengasingkan diri pula?" tanya Heri heran saat Jamal menyampaikan maksudnya.

"Jangan banyak tanyalah. Bantu saja aku!"

Nada suara Jamal yang agak meninggi, seperti biasa, tak membuat sahabat terbaiknya itu bermuka masam.

"Iyelah...iyelah."

***

Sudah setahun lebih Jamal tinggal di kebun. Semula kebun ini tak terawat. Dulu, kadang-kadang saja ia datang buat mengambil jengkol, petai, atau kelapa. Semuanya dibesarkan oleh alam. Sesekali dibersihkannya bagian-bagian kebun yang dirasa penting. Selebihnya, ia biarkan. Jamal tak suka mengurus tanaman. Tetapi setahun ini ia urus kebun ini sebaik yang ia sanggup. Satu per satu bagian kebun ia bersihkan dari tumbuhan liar. Ditanamnya ubi, kacang, jagung, macam-macam sayuran dan lain-lain. Hasilnya memuaskan. Sering ia terkagum-kagum sendiri. Subur nian tanah yang selama ini ia abaikan.

Sebulan sekali, kurang lebih, Heri datang menengok. Kadang-kadang Jamal mengajaknya berburu pelanduk di hutan yang berbatasan dengan kebun, atau memancing di sungai tak jauh dari kebun. Senang betul hati mereka.

"Heran aku, Mal," ucap Heri suatu hari.

"Nape, Her?"

"Kesenangan macam ni, kenapa tak dari dulu-dulu?"

"Iye, aku pun heran. Mata kita buta selama ini. Tertutup kain dagangan macamnya," seloroh Jamal. Heri tergelak.

"Toko macam mane?"

"Alhamdulillaah, mulai ramai."

Semenjak Jamal tinggalkan, Heri mengurus toko kain mereka seorang diri. Ah, bukan. Bukan toko kain mereka. Jamal sudah menyerahkannya kepada Heri. Tapi, Heri tak setuju. Toko kain itu tetap milik mereka berdua. Jamal berkeras, Heri mengalah. Tapi Jamal tahu, Heri mengalah hanya karena tak hendak saling berbantah.

Perlahan toko yang sepi atas ulah Jamal semakin ramai. Di masa-masa awal Jamal pergi, selalu saja ada yang menanyakannya.

"Bang Jamal mane, Bang Heri?" Pertanyaan ini entah sudah berapa kali. Selalu dijawab Heri dengan jawaban yang sama.

"Ade, kat kebun die."

"Masih takut jumpa perempuan ke?"

"Entah. Nanti kalau jumpa saya tanyakan."

Tentu Heri tak akan tanyakan perkara itu kepada Jamal. Ia hanya ingin bersikap baik kepada semua orang, terlebih kepada pelanggan. Heri tidak tahu apa yang telah terjadi pada Jamal. Dia tahu bahwa sahabatnya itu pernah beberapa kali diabaikan perempuan. Pinangannya ditolak. Mungkin itu sebab ia menjauhi perempuan.

Tapi sebentar. Rasa-rasanya Soraya seorang yang sungguh Jamal kasihi. Perempuan lain, hanya pelampiasan. Pelampiasan. Itulah yang Heri sesalkan. Jamal memang agak sedikit temberang. 

Beberapa tahun lalu, ketika pinangannya ditolak ayah Soraya, Jamal hampir-hampir tak percaya.  Ia remuk sekaligus marah. Semakin merah marahnya ketika beberapa bulan kemudian Soraya menikah dengan seseorang dari tanah seberang, lalu meninggalkan Kijang. 

Jamal berbual akan segera mendapatkan pengganti Soraya. Bahkan yang lebih cantik. Selepas itu dalam dua tahun ia meminang beberapa perempuan. Semuanya cantik. Semua mengabaikannya. Jamal seperti tak sadar, bahwa ia tak ada cukup bekal untuk begitu saja meminang perempuan. Atau sepertinya alam memang tak hendak merestui perbuatan membalas dendam macam itu. Heri pun, dalam hati, tak suka perbuatan Jamal.

***

Suatu hari ketika Heri datang menengok, Jamal tiba-tiba berkata, "Her, kawani aku ke kota." Heri terheran-heran.

"Tak ada angin tak ada hujan..."

"Aku rindu minum di kedai kopi."

Sesungguhnya Jamal ingin menguji, hasratnya untuk meludahi wajah perempuan sudah hilang ataukah belum. Sudah setahun lebih berlalu. Selama menyendiri di kebun ia banyak merenung. Kenangannya pada Soraya menghangat. 

Benarlah kata orang tua, bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Ia kini sudah rela, Soraya bukanlah jodohnya. Ia kenangkan perbuatannya yang keterlaluan, meminang anak dara orang hanya karena hendak membalaskan sakit hati. Untung tak satu pun menerima. Hasrat meludah wajah perempuan itu, mungkin teguran dari Tuhan atas perbuatan bodohnya itu. 

Tapi mungkin ini cara Tuhan agar ia memperhatikan kebun peninggalan ayahnya. Emaknya meninggal semasa ia berusia sepuluh tahun. Selepas itu sekitar sepuluh tahun ia tinggal berdua saja dengan ayahnya. Mereka sangat dekat. Sebelum meninggal, ayahnya berpesan agar ia merawat kebun. Pesan yang tak ia jalankan, sebab kebun selalu membangkitkan laranya ditinggalkan ayah.

"Kate nak ke kedai kopi."

Jamal tersentak.

"Iye..iye..."

Perasaan Jamal berdebar-debar. Bagaimana bila nanti ia berjumpa dengan perempuan? Tapi sepertinya hasrat janggal itu sudah pergi. Mak Ramlah, perempuan pertama yang tak sengaja mereka jumpai, tak membuat Jamal ingin meludah. Di dekat kedai kopi, mereka berjumpa dengan Aminah, anak dara dari Kebun Nanas. Tak juga Jamal hendak meludah. Jamal tersenyum dalam hati.

Di dalam kedai kopi Jamal disambut oleh beberapa kawan lama. Kedatangannya yang tak disangka-sangka membuat gaduh suasana. Mereka berbual sana-sini, tertawa gelak, melepas rindu. 

Tiba-tiba tak sengaja Jamal melihat seorang anak dara sedang membeli prata di bagian depan kedai kopi. Seorang gadis yang cantik hitam manis, entah siapa. Jamal tak kenal. Tapi wajahnya sekilas macam wajah Soraya. Seketika Jamal merasa tak nyaman. Menggelegak dalam dadanya hasrat untuk meludahi wajah anak dara itu.

Heri menangkap perubahan pada Jamal yang sangat tiba-tiba.

"Engkau kenape, Mal?"

Jamal tak menjawab, bangkit dari duduk dengan cepat, lalu menghampiri gadis itu. Sebelum satu orang pun menyadari apa yang sesungguhnya tengah terjadi, Jamal sudah berada di hadapan sang gadis. Ditatapnya wajah gadis itu, sang gadis membalas, dan seketika Jamal meludahi wajahnya!

Sang gadis tersentak. Ia memekik tertahan. Beberapa orang di luar kedai kopi yang melihat peristiwa itu segera menghampiri, lantas dengan cepat meninju, memukul dan menendang Jamal. Jamal pasrah, tak berusaha menghindar, apalagi melarikan diri. Ada perasaan yang asing selepas ia meludahi gadis itu. Ada rasa bersalah, tapi lega.

Dapat didengarnya gadis itu memekik histeris meminta orang-orang berhenti menghantam Jamal. Pada saat yang sama Heri dan beberapa kawan di dalam kedai kopi melompat dan berlari. Segera mereka menghentikan orang-orang yang menghajar Jamal. Hampir-hampir saja terjadi perkelahian massal. Untunglah Heri dapat mengatasi keadaan.

Dalam sekejap keadaan jadi sangat ramai. Susah payah Heri melepaskan Jamal yang babak belur dari kerumunan. Dengan bantuan seorang kawan, Heri melarikan Jamal ke rumah sakit.

Hampir seluruh tubuh Jamal lebam. Ada dua bagian tulang yang retak. Satu di kaki, satu di tangan. Tak parah. Tapi ia tetap perlu dirawat inap. Heri tak paham, mengapa Jamal meludahi wajah gadis itu. Tak kena di akal. Inikah sebab mengapa Jamal mengasingkan diri di kebun? Tapi tak sampai hati Heri menanyakan perkara itu sekarang. Nantilah beberapa hari lagi.

Jamal hampir-hampir tak ada bicara. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Sekejap lagi pastilah polisi datang. Gadis itu tentu sudah membuat laporan sekarang. Tak apa. Jamal siap. Ia siap masuk penjara. Tapi entah mengapa, ia merasa lega. Dan hasrat hendak meludahi perempuan tampaknya telah hilang tiada bekas. Buktinya, ia tak lagi hendak meludahi perawat hitam manis yang tadi merawatnya.

Malam, di hari yang sama, gadis itu datang. Seorang diri. Tak ada polisi. Jamal termangu. Ia seperti melihat Soraya. Memang ada kemiripan, walau tak sangat. Ia ingin berucap hendak meminta maaf, tapi bibirnya kaku. Heri, seperti tahu isi hati sahabatnya, mewakilinya untuk meminta maaf.

"Maafkan sahabat saya ini, Cik..."

"Mutiara, Bang. Nama saya Mutiara."

"Iye, Cik Mutiara. Saya Heri. Maafkan Jamal, ye? Dia belum bisa banyak cakap. Pipinya bengkak."

Jelas Heri mengada-ada.

"Tak mengapa, Bang." Mutiara tersenyum. Heri tersenyum. Jamal membeku.

"Saya pun perlu minta maaf. Gara-gara saya Abang Jamal ini kena pukul banyak orang."

Heri menggeleng-gelengkan kepala. Jamal menggerak-gerakkan tangannya. Mutiara tak ada salah, sehingga tak perlu minta maaf. Jamal yang kurang ajar, sudah meludahi Mutiara di tempat ramai.

Hening beberapa menit. Lalu Mutiara berucap kepada Heri, "Bang, boleh tak saya cakap berdua saja dengan Bang Jamal?" Jamal berdesir. Heri agak terkejut, tapi dengan sigap menjawab, "Iye...sile...sile." Segera ia bangkit meninggalkan ruangan.

Hening sesaat. Mutiara mendekatkan duduknya ke Jamal. Hening lagi beberapa saat. Ia seperti ragu. Tapi akhirnya ia bicara.

"Maaf, Bang bila saya lancang. Tapi saya harus sampaikan. Peristiwa tadi saya rasa bukan kebetulan."

Jamal terperangah. Ia mengubah sedikit posisi duduknya, sebagai isyarat bahwa ia memberikan perhatian. Ia pun mengangguk kecil, tapi masih belum sanggup berucap satu kata pun jua. Entah mengapa lidahnya masih saja kelu.

Belum ada sebulan Mutiara di Kijang, tinggal bersama keluarga Pakciknya. Ia datang dari pulau lain yang tak ia sebutkan.

"Saya pindah ke sini, nak menenangkan diri."

Mutiara mengaku dirinya bukanlah seorang perempuan yang baik.

"Sering saya mempermainkan lelaki. Mudah saja saya berpindah dari lelaki satu ke lelaki lain."

Ia menjadi pergunjingan di kampung. Abahnya tak senang. Tabiatnya bukan macam perempuan Melayu. Mutiara tak ambil pusing. Ia hanya memperturutkan hati. Bila sudah tak senang dengan satu lelaki, dicarinya lagi lelaki lain. Ia mencari cinta sejati. Cinta yang tak membuat bosan.

Jamal ingin membantah. Manalah ada cinta yang tak terselip rasa bosan. Secinta-cintanya ia kepada Soraya dahulu, sesekali rasa bosan melanda. Tapi Jamal tetap diam. Ia hanya mengerjapkan mata, dan tersenyum. Mutiara pun tersenyum, lalu melanjutkan.

Suatu malam ia bermimpi. Di dalam mimpi itu ia berjumpa dengan seorang lelaki yang tak ia ingat rupanya. Lelaki itu meludahi wajahnya lalu berseru, "kau memang pantas diludahi." Mimpi yang aneh, dan sedikit menakutkan.

Jamal tersengat. Bagaimana mungkin ada kebetulan macam begini dalam hidupnya? Mutiara melanjutkan.

"Semula saya anggap itu hanya mimpi. Bunga tidur." Mutiara menarik dan melepaskan napas agak panjang.

"Tapi mimpi yang serupa muncul empat kali lagi."

Kacau hatinya. Ia takut ada hal buruk yang akan terjadi. Kata emaknya, mungkin ia sedang ditegur Tuhan. Mungkin juga. Untuk menenangkan hati, ia minta izin abahnya untuk sementara tinggal bersama Pakcik di Kijang.

"Saya tak sangka, saya malahan diludahi di Kijang ini."

"Mm...maafkan saya." Akhirnya dapat juga Jamal berucap kata.

 "Tak apa Bang. Saya berterima kasih. Saya memang pantas diludahi."

Mutiara tertawa kecil. Jamal tersenyum pahit.

"Lepas Abang ludahi, saya malah merasa lega. Saya macam lepas dari menjalani hukuman."

"Hidup ini macam teka-teki." Jamal berucap pelan dan serak, tapi masih dapat tertangkap oleh Mutiara.

"Iye Bang. Abang sendiri kenapa meludahi saya?"

Suasana sudah tak lagi kaku. Jamal sudah merasa selesa dan nyaman. Ia lalu menceritakan kisah percintaannya yang gagal dengan Soraya, sikap congkaknya meminang beberapa perempuan untuk membalaskan sakit ditinggal Soraya yang mungkin menjadi sebab ia dihukum Tuhan dengan hasrat yang memalukan, lalu mengucilkan diri selama setahun lebih di kebun, hingga tadi pagi melihat Mutiara dan tak kuasa melawan dorongan hati untuk meludahinya.

Hari kian malam. Tiba masa Mutiara pulang. Sama mereka berjanji untuk berjumpa lagi selepas ini. Mutiara bangkit, tersenyum manis sekali, dan melambaikan tangan. Jamal tersenyum dengan muka lebam, juga melambaikan tangan.

Dari ruangan tempat Jamal dirawat tak terlihat suasana malam di luar. Akan tetapi, Jamal yakin langit berhiaskan jutaan bintang saat ini. Setiba di pekarangan rumah sakit, Mutiara memandang ke langit malam.

"Indah nian, Bang Jamal. Jutaan bintang berkilauan."

Catatan

Senget: Miring, gila

ST: Sekolah teknik, setara sekolah menengah pertama

Budak: Anak

Kolong Enam, Wacopek, Kebun Nanas: nama tempat di sekitar kota Kijang

Kijang: Kota kecil di Bintan. Dulu merupakan pusat pertambangan bauksit terbesar di Indonesia.

Mambang: Makhluk halus

Teruk: Parah

Temberang: Sombong, berucap muluk-muluk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun