Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ludah!

14 Februari 2021   16:37 Diperbarui: 14 Februari 2021   17:08 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jamal tak menjawab, bangkit dari duduk dengan cepat, lalu menghampiri gadis itu. Sebelum satu orang pun menyadari apa yang sesungguhnya tengah terjadi, Jamal sudah berada di hadapan sang gadis. Ditatapnya wajah gadis itu, sang gadis membalas, dan seketika Jamal meludahi wajahnya!

Sang gadis tersentak. Ia memekik tertahan. Beberapa orang di luar kedai kopi yang melihat peristiwa itu segera menghampiri, lantas dengan cepat meninju, memukul dan menendang Jamal. Jamal pasrah, tak berusaha menghindar, apalagi melarikan diri. Ada perasaan yang asing selepas ia meludahi gadis itu. Ada rasa bersalah, tapi lega.

Dapat didengarnya gadis itu memekik histeris meminta orang-orang berhenti menghantam Jamal. Pada saat yang sama Heri dan beberapa kawan di dalam kedai kopi melompat dan berlari. Segera mereka menghentikan orang-orang yang menghajar Jamal. Hampir-hampir saja terjadi perkelahian massal. Untunglah Heri dapat mengatasi keadaan.

Dalam sekejap keadaan jadi sangat ramai. Susah payah Heri melepaskan Jamal yang babak belur dari kerumunan. Dengan bantuan seorang kawan, Heri melarikan Jamal ke rumah sakit.

Hampir seluruh tubuh Jamal lebam. Ada dua bagian tulang yang retak. Satu di kaki, satu di tangan. Tak parah. Tapi ia tetap perlu dirawat inap. Heri tak paham, mengapa Jamal meludahi wajah gadis itu. Tak kena di akal. Inikah sebab mengapa Jamal mengasingkan diri di kebun? Tapi tak sampai hati Heri menanyakan perkara itu sekarang. Nantilah beberapa hari lagi.

Jamal hampir-hampir tak ada bicara. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Sekejap lagi pastilah polisi datang. Gadis itu tentu sudah membuat laporan sekarang. Tak apa. Jamal siap. Ia siap masuk penjara. Tapi entah mengapa, ia merasa lega. Dan hasrat hendak meludahi perempuan tampaknya telah hilang tiada bekas. Buktinya, ia tak lagi hendak meludahi perawat hitam manis yang tadi merawatnya.

Malam, di hari yang sama, gadis itu datang. Seorang diri. Tak ada polisi. Jamal termangu. Ia seperti melihat Soraya. Memang ada kemiripan, walau tak sangat. Ia ingin berucap hendak meminta maaf, tapi bibirnya kaku. Heri, seperti tahu isi hati sahabatnya, mewakilinya untuk meminta maaf.

"Maafkan sahabat saya ini, Cik..."

"Mutiara, Bang. Nama saya Mutiara."

"Iye, Cik Mutiara. Saya Heri. Maafkan Jamal, ye? Dia belum bisa banyak cakap. Pipinya bengkak."

Jelas Heri mengada-ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun