Sudah setahun lebih Jamal tinggal di kebun. Semula kebun ini tak terawat. Dulu, kadang-kadang saja ia datang buat mengambil jengkol, petai, atau kelapa. Semuanya dibesarkan oleh alam. Sesekali dibersihkannya bagian-bagian kebun yang dirasa penting. Selebihnya, ia biarkan. Jamal tak suka mengurus tanaman. Tetapi setahun ini ia urus kebun ini sebaik yang ia sanggup. Satu per satu bagian kebun ia bersihkan dari tumbuhan liar. Ditanamnya ubi, kacang, jagung, macam-macam sayuran dan lain-lain. Hasilnya memuaskan. Sering ia terkagum-kagum sendiri. Subur nian tanah yang selama ini ia abaikan.
Sebulan sekali, kurang lebih, Heri datang menengok. Kadang-kadang Jamal mengajaknya berburu pelanduk di hutan yang berbatasan dengan kebun, atau memancing di sungai tak jauh dari kebun. Senang betul hati mereka.
"Heran aku, Mal," ucap Heri suatu hari.
"Nape, Her?"
"Kesenangan macam ni, kenapa tak dari dulu-dulu?"
"Iye, aku pun heran. Mata kita buta selama ini. Tertutup kain dagangan macamnya," seloroh Jamal. Heri tergelak.
"Toko macam mane?"
"Alhamdulillaah, mulai ramai."
Semenjak Jamal tinggalkan, Heri mengurus toko kain mereka seorang diri. Ah, bukan. Bukan toko kain mereka. Jamal sudah menyerahkannya kepada Heri. Tapi, Heri tak setuju. Toko kain itu tetap milik mereka berdua. Jamal berkeras, Heri mengalah. Tapi Jamal tahu, Heri mengalah hanya karena tak hendak saling berbantah.
Perlahan toko yang sepi atas ulah Jamal semakin ramai. Di masa-masa awal Jamal pergi, selalu saja ada yang menanyakannya.
"Bang Jamal mane, Bang Heri?" Pertanyaan ini entah sudah berapa kali. Selalu dijawab Heri dengan jawaban yang sama.