"Kau sangka kau wartawan hebat?" Ayah memulai dengan nada menyangsikan.
Aku sedikit tersinggung. Masih belum berubah perangainya. Sering menyakitkan kalau berucap. Tapi sudahlah. Sudah tabiat.
"Iya kau hebat."
Hah, apa pula ini? Kali ini dipujinya aku?
"Kau berhasil mengorek sepak terjang sindikat penyelundup tenaga kerja itu."
Iyalah. Memang aku sehebat itu, banggaku dalam hati.
"Tapi kau tak sadar, sudah lama kau jadi sasaran mereka untuk dilenyapkan."
Aku tersengat. Aku memang pernah kuatir. Tapi, tak pernah ada ancaman serius. Kalau surat kaleng, biasalah.
"Kau tak tahu. susah kami menjagamu."
Apa pun yang terjadi di masa lalu, Ayah tetap menganggap keselamatanku adalah tanggung jawabnya. Ketika tahu sepak terjangku membongkar sindikat perdagangan tenaga kerja di Bintan, Ayah berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Riau untuk melindungiku. Ayah bahkan menitipkan salah seorang ajudan terbaiknya untuk mengawasiku. Gi. Selain Gi, ada lagi beberapa polisi yang bergantian menjagaku.
Lima kali mereka berusaha melenyapkanku. Tetapi berkat kewaspadaan Gi dan polisi lain, semua berhasil digagalkan. Satu orang terpaksa ditembak mati karena melawan. Sengaja mayatnya beberapa waktu dibiarkan agar orang menganggapnya sebagai salah satu korban pembunuhan misterius.