Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Gi

15 September 2020   06:00 Diperbarui: 15 September 2020   06:32 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari tengah aku berjalan di pasar, tiba-tiba seseorang menubrukkuTubuhku terhempas ke tanah. Jantungku berdetak keras. Bersamaan dengan itu terdengar suara tembakan. Disusul kemudian suara seseorang yang mengerang sakit. Suara orang yang menubrukku. Gi!

Orang-orang memekik ketakutan. Terdengar langkah orang berlari dan dua tiga kali letusan di udara. Aku merasakan nyeri di kepala sebelah belakang dan sedikit sesak karena tertimpa tubuh Gi. Apa yang terjadi? Seseorang berusaha membunuhku, lalu Gi menyelamatkanku?

Beberapa orang mengangkatku, kemudian melarikanku ke rumah sakit. Aku tak tahu apa yang terjadi pada Gi, tapi belakangan kudengar ia mati. Selama di rumah sakit aku selalu berada dalam penjagaan ketat. "Abang dalam bahaya," kata salah seorang penjaga. Benar. Ada yang hendak membunuhku. Mengapa?

Tak ada luka serius, sehingga satu malam saja aku di rumah sakit. Selesai observasi, aku diperkenankan meninggalkan rumah sakit. Tapi, aku tak boleh pulang. Para penjaga membawaku dengan ambulans menuju ke suatu tempat, kurasa sebuah paviliun. Paviliun yang mewah. Di situlah aku tinggal dan dijaga ketat.

Pikiranku kacau. Takut, rasa tak aman, dan rasa bersalah karena Gi mati untuk melindungiku. Kepada setiap penjaga aku bertanya, apa yang telah terjadi. Tak ada satu pun yang bicara. Semua bungkam. Satu orang saja yang pernah mengatakan kepadaku, "tunggulah beberapa hari lagi."

Beberapa hari kemudian ada kesibukan yang meningkat di paviliun. Ada orang penting yang datang. Seorang Kapolda provinsi sebelah. Seseorang yang telah lama kujauhi, kuhindari, tak kubenci, tak juga kusukai, tapi kuakui kurindui:  Ayah.

Mengapa Ayah di sini? Kuingat lagi pertengkaran hebat kami selepas aku lulus SMA. Ayah berkeras agar aku jadi polisi atau tentara. Aku punya cita-cita lain, jadi wartawan. Lama kami berdebat. Mungkin caraku sebagai anak muda ketika menyanggahnya mengesalkan Ayah, sehingga terlepas amarahnya. Ia mengusirku. 

Kuingat ucapannya yang membuatku membara, tak akan aku sanggup hidup di luar sana tanpa bantuannya. Oi, pantang aku ditantang. Pergi aku dari rumah. Tangis pilu Emak tak sanggup menahanku. Tak pernah kuinjakkan kaki lagi di rumah Ayah dan Emak. Tapi selalu ada waktuku buat menelepon Emak.

Berbelas tahun kuhadapi hidup seorang diri. Selepas kuliah, tak sengaja aku terdampar di Bintan. Ada rasa was-was waktu itu kalau-kalau Ayah ditugaskan di sini. Kalau sampai itu terjadi, maka aku akan angkat kaki ke daerah lain. Sedapat mungkin kuhapus setiap jejak yang menghubungkan aku dengan Ayah. Itu sebab hampir-hampir tak ada yang tahu aku anak seorang pejabat kepolisian. 

Ayah memelukku. Kudiamkan. Kurasakan air matanya jatuh di sekitar bahuku. Kudiamkan. Diucapkannya kata-kata meminta maaf. Kudiamkan. Masih banyak sisa marahku rupanya, walau kutahu dulu itu ia terbawa emosi seketika. Bahkan, bila kupikir-pikir, ada baiknya Ayah dulu menantangku pergi. Aku ditempa oleh keras kehidupan. Aku ditempa untuk menjadi lelaki. Tapi mengapa sekarang Ayah ada di sini? Iakah di balik semua ini?

Selepas urusan rindu-merindu itu Ayah mulai menceritakan semua yang menjadi tanda tanya bagiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun