Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Gi

15 September 2020   06:00 Diperbarui: 15 September 2020   06:32 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Orang-orang menyebutnya 'Gi". Ada kudengar 'Gi' itu berasal dari 'Legi', sebuah nama hari dalam kalender Jawa. Kurasa belum lama ia ada di kota kecil kami ini. Sekitar setahun. Orang-orang bilang ia gila. Rambut, jambang, misai, dan janggutnya panjang lagi kusut. Tubuhnya kotor dan bau. Setiap hari ia berkeliaran, tak tentu tujuan. 

Kadang-kadang dia di pasar, pelabuhan, atau melintas di barek-barek. Barek itu artinya kompleks perumahan, tempat pegawai perusahaan tambang tinggal. Kadang-kadang ia memanjat pokok jemang. Entah apa yang ia buat di atas sana. Mungkin sekadar makan buah jemang. Kadang-kadang beberapa hari ia tak nampak, mungkin berdiam di tepi hutan. Kata orang, ada sebuah rumah tua di sana, tempat ia biasa bermalam.

Ada kabar terhembus angin bahwa ia adalah seorang pejuang, mata-mata Republik yang tertangkap di Malaysia semasa konfrontasi. Di sana ia dipenjara, lalu disetrum listrik sehingga gila dan dikirim pulang ke Indonesia. Entah. Susah aku hendak percaya cerita ini. Aku punya alasan masuk akal untuk tak percaya. Tapi, orang-orang sesekali masih menceritakan kisah kepahlawanannya di kedai-kedai kopi. Mungkin karena dianggap berjasa sebagai pahlawan, orang-orang sering memberinya makan.

Seperti tadi kukatakan, aku tak percaya Gi gila karena kena setrum. Konfrontasi Indonesia-Malaysia terjadi awal tahun 60-an, sedangkan sekarang akhir 70-an. Ada jarak waktu sekitar enam belas atau tujuh belas tahun. Ia ada di sini baru sekitar setahun. Belasan tahun sebelumnya dia di mana? Ke daerah mana Malaysia dahulu memulangkannya? Bagaimana cara dia seperti tiba-tiba ada di sini?

Semakin dipikir, semakin aku tak percaya kisah setrum itu. Bahkan aku tak percaya dia gila. Begitulah menurut naluriku sebagai wartawan. Ada beberapa kali aku berpapasan dengannya dan beradu pandang. Sorot matanya tak seperti sorot mata orang gila. Tajam. Fokus. Pasti ia hanya pura-pura gila. Entah untuk maksud apa. Merinding aku tersebabkan oleh pikiranku sendiri. Berdesir darahku tersebab beradunya rasa ingin tahu dan rasa takutku. Tetapi akhirnya rasa ingin tahuku menang. Kutkadkan diri untuk menyelidiki Gi. 

Mulai hari itu kukumpulkan cerita apa pun dan dari siapa pun yang terkait Gi. Entah itu bualan atau cerita sebenarnya, tak kupedulikan dulu. Seperti sudah kukira, orang-orang hampir tak tahu apa-apa tentang Gi. Bahkan tak ada yang tahu siapa yang memulai kisah kepahlawanannya. Yang pasti, dia bukan orang sini. 

Tak ada keluarga atau kerabatnya di sini. Kota kami kecil. Penduduknya tak banyak, sehingga umumnya kami saling kenal satu sama lain. Soal keluarga dan kerabat ini pun sampai kulacak ke Tanjung Pinang dan Tanjung Uban. Kutunjukkan foto Gi, yang kupotret sembunyi-sembunyi, kepada orang-orang di kedua kota itu. Tak ada satu pun yang kenal. Walau tak banyak orang yang berhasil kutanya-tanya, kuat dugaanku Gi berasal dari luar Bintan.

Naluri jurnalistikku menuntunku untuk diam-diam memeriksa rumah tua di tepi hutan tempat Gi biasa bermalam. Pasti ada sesuatu yang tersembunyi di sana. Tapi untuk yang satu ini aku tak berani seorang diri. Aku perlu mencari satu dua orang kawan untuk menemani. Siapa yang kira-kira dapat kuyakinkan dan ada keberanian? Belum lagi niat itu kujalankan, tiba-tiba satu kejadian tak terduga aku alami.

Suatu siang di akhir pekan, tengah aku berjalan, dua orang lelaki yang tak kukenal mendekat.

"Bang Ahmad?" tanya salah seorang asing itu. Sepertinya bukan orang Melayu.

Aku sedikit heran, dia tahu namaku. Tapi, kujawab juga pertanyaannya dengan lugu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun