Kutunggui wajahnya masih tertutup. Membikinku kedasar karut.
"Bagaimana, sus?" aku berharap
Suster diam, tak menjawab, hanya setengah menggeleng. Perawat lelaki mendekat, sambil memberikan kertas analisa lab rujukan baru.
"Kok enggak ngangkat, ya?" dia berbisik sayup namun terdengar. Lalu menelpon. Suster kembali merangkai instrument transfusi dan mengalirkan ke urat lengan. Lazar masih membeku saja, parasnya tergambar pias.
"Macam mana Lazar, suster" aku kembali mendesak.
"Harus ada tindakan. Dokter akan kesini. Semoga dokter bisa segera hadir. Ini hari Minggu, ya? Bapak silakan diluar dulu" suster menjawab sambil melirik almanak.
Aku menurut berdoa dan berharap diluar ruang ICU.
Tanpa terduga dokter tiba begitu lekas. Kulihat berbeda, bukan dokter tadi yang memintas Lazar. Dokter yang ini berperawakan tegap, wajahnya biasa dengan berewok tipis namun tampan. Rambutnya terlihat sedikit panjang. Â Sinar matanya bening menenangkan.
"Selamat pagi" suaranya berat. Â Dokter tersenyum dan melintasiku, masuk ke ruang ICU.
Aku kembali terduduk muram. Berupaya pasrah dan berdoa mukjizat untuk adik Lazar sayang.
Tak juga berapa lama, pintu ruang terbuka, tampak  suster dan perawat berjalan mendekatiku, mereka tersenyum.