Lazar terbujur lemah. Hb darahnya terjun bebas ke angka empat, margin kritis lazimnya proten didarah lelaki.
Aku heboh ikut menyorong brankasnya dari ruang rawat masuk ICU. Lazar kolaps. Aku bergetar, Â kedua telapak tanganku dingin. Melepas pintu buram ICU tertutup.
Menyimak analisa darahnya, nyaliku ciut, garam alkali darah yang rendah dan kretinin tinggi, mengindikasikan kerusakan ginjal, meskipun dokter belum pula menerangkan. Aku cemas.
Suater muncul dari balik ruang ICU, mengisyaratkan transfusi darah disegerakan, untuk menggenjot hemoglobin.
"Bapak siapa?"
"Saya adiknya, suster"
"Golongan darah?"
"O"
"Okeh. Bapak mohon konsul kebagian lab untuk donor ya"
"Adik saya macam mana, sus?"
"Ini sedang tindakan transfusi. Bapak cepet kesana, ya? Nanti kembali lagi kemari  "
" Siap, suster"
Akupun berlari menjelang laboratorium mengikuti panduan arah tertulis bersama rasa hati bercampur baur.
"Tekanan normal. Hb cukup. Silakan pak" Perawat di lab memerintahkan untuk rebah. Menancapkan jarum penghisap darah yang terhubung labu ber selang plastik. Aku menelan ludah dan membiarkan merah darah mengalir perlahan.
Kembali keruang tunggu ICU, kulihat bapak dokter berdiskusi.
"Bapak dari keluarga?" dokter mendekat
"Saya adik, dok"
"Kondisinya belum stabil. Masih transfusi. Step berikut cuci darah, ya" dokter menjelaskan
"Ginjalnya macam mana , dok?"
"Gagal ginjal" dokter menelisik catatan medik yang disodorkan suster.
"Saya boleh tengok kedalam, dok?
"Boleh, boleh.." dokter berbicara serius ketelinga suster, lalu berlalu.
Melepas sepatu dan mengenakan jas lab putih, aku merambah masuk. Ekstra dingin ruang ICU mencubit permukaan kulitku. Bau khas obat menyeruak menyengat indra penciumanku.
Adik Lazar terbaring kelu, selang darah membenam dilengannya. Masker zat asam mengatup hidungnya. Hirup napasnya perlahan satu demi satu. Bola matanya terkatup.
Aku mengusap lengannya yang kasat menghitam, pertanda darah tercemar tuba. Akupun iba tidak akan meninggalkan adik semata wayang.
Belum tengah malam aku tergugah oleh sapa suster penjaga. Rupanya aku terlelap disisi ranjang adik Lazar.
"Sebentar bapak" suster melepas seluruh instrumen transfusi. Aku menyingkir.
"Ada kemajuan, suster?" aku bertanya, sementara Lazar masih tertinggal sunyi.
"Cuci darah, ya pak. Segera kita bawa ke ruang dialisis" terangnya
Aku mengangguk, bersigap mengikuti.
Brankas pun bergelinding menuju ruang cuci darah. Dua perawat dialisis menyambutnya, kelihatannya sudah rampung menset up peralatan yang diperlukan. Mereka memindahkan tubuh Lazar dari brankar lalu memasang nosel pemusat aliran darah di lengan. Lazar meringis kesakitan, namun terlalu lunglai untuk bersuara. Â
Mesin dialisis pun bergerak memutar darah, suara  pusarannya halus berirama.  Lazar kembali terpejam, begitupun mataku ikut terkulai.
Dini fajar membuka mataku. Pembersihan darah berakhir, adik Lazar kembali merapat ke ruang ICU.
Kutunggui wajahnya masih tertutup. Membikinku kedasar karut.
"Bagaimana, sus?" aku berharap
Suster diam, tak menjawab, hanya setengah menggeleng. Perawat lelaki mendekat, sambil memberikan kertas analisa lab rujukan baru.
"Kok enggak ngangkat, ya?" dia berbisik sayup namun terdengar. Lalu menelpon. Suster kembali merangkai instrument transfusi dan mengalirkan ke urat lengan. Lazar masih membeku saja, parasnya tergambar pias.
"Macam mana Lazar, suster" aku kembali mendesak.
"Harus ada tindakan. Dokter akan kesini. Semoga dokter bisa segera hadir. Ini hari Minggu, ya? Bapak silakan diluar dulu" suster menjawab sambil melirik almanak.
Aku menurut berdoa dan berharap diluar ruang ICU.
Tanpa terduga dokter tiba begitu lekas. Kulihat berbeda, bukan dokter tadi yang memintas Lazar. Dokter yang ini berperawakan tegap, wajahnya biasa dengan berewok tipis namun tampan. Rambutnya terlihat sedikit panjang. Â Sinar matanya bening menenangkan.
"Selamat pagi" suaranya berat. Â Dokter tersenyum dan melintasiku, masuk ke ruang ICU.
Aku kembali terduduk muram. Berupaya pasrah dan berdoa mukjizat untuk adik Lazar sayang.
Tak juga berapa lama, pintu ruang terbuka, tampak  suster dan perawat berjalan mendekatiku, mereka tersenyum.
"Silakan bapak. Adik Lazar terus menyapa bapak" mereka menyilakan ku masuk.
Aku ternganga, menghambur masuk. Terlihat Lazar duduk bersandar di pembaringan, tanpa selang dan katup diraganya. Aku memeluk kencang. Lazar menangis, namun parasnya terlihat segar memerah, tidak lembayung lagi.
"Pak dokter dimana, sus?" aku tersadar untuk berterima kasih.
"Baru aja keluar, pak"
Segera ku menyeruak pintu, berlari keluar ruang. Kutengok dokter menjauh berjalan cepat. Kuberlari memburu menjelangnya.
"Dokter!" tak sadar memanggilnya deras.
Dia menoleh. Tak bersenyum, matanya menatap tajam namun teduh.
"Terima kasih, dokter.."
Aku menyorongkan tangan dan dia menyambut tanganku.
Menyalamiku dengan lengannya yang kokoh. Aku merasakan tapak tangan yang lembut.
Ketika dia melepas genggamku dan berbalik, aku baru merasakan bahwa selain lembut, telapak tangannya juga tembus berlubang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H