Baru sejam sampai di rumahnya, Drimo mendapat panggilan telepon dari Ani, yang mengabarkan bahwa nanti sore ayahnya mau mengajaknya bicara.
"Drimo, kita hidup di tengah dunia yang penuh persaingan," buka ayah Ani.
"Ya, Paman."
"Engkau boleh menikahi Ani, putriku. Asal engkau bisa memenangkan persaingan."
Lalu lelaki itu menjelaskan, bahwa selain Drimo, ada juga seorang pemuda (anak sahabatnya), yang ingin memperistri putrinya. Bahkan sudah siap melamarnya dalam waktu dekat ini, dengan mahar sebuah rumah baru, sebuah mobil baru dan sekotak perhiasan wanita. Kalau Drimo bisa melebihinya, minimal menyamainya, dia yang berhak atas Ani. Pertimbangannya, karena Drimo sudah menjalin pertemanan dengan Ani terlebih dahulu.
Drimo belum bisa menjawab. Hanya terperangah. Mengernyit dan termangu....dan tampak seperti sedang menghitung sesuatu.
"Sanggup tidak, engkau bersaing Drimo?"
"Sanggup Paman! Mohon saya diberi waktu barang enam bulan....."
Kini, ganti ayahnya Ani yang ternganga, mengernyit dan terperangah. Beberapa menit kemudian lelaki tua itu justru malah ambruk tersungkur dan semaput. Mengapa? Karena ia shock berat. Tadinya ia menyangka bahwa Drimorio akan mundur dari melamar Ani. Tadinya ia mengira pemuda itu tak akan bisa menyediakan mahar sebesar itu. Sesungguhnya itu adalah cara untuk menolak secara halus Drimorio.
Tetapi, dengan rasa percaya dirinya yang besar, ternyata Drimo menyanggupinya.
"Aku sangat berbahagia akan kesanggupan Abang. Karena itu berarti mimpi cinta kita berdua akan segera menjadi kenyataan. Tapi apa Abang punya uang untuk membayar mahar semahal itu?" kata Ani yang terlilit di antara bahagia dan cemas.