Mohon tunggu...
Bambang Suwarno
Bambang Suwarno Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Mencintai Tuhan & sesama. Salah satunya lewat untaian kata-kata.

Pendeta Gereja Baptis Indonesia - Palangkaraya Alamat Rumah: Jl. Raden Saleh III /02, Palangkaraya No. HP = 081349180040

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pangeran Mimpi

10 Januari 2019   21:51 Diperbarui: 10 Januari 2019   22:07 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kegairahan dan semangat hidup sedang meletup-letup di dada Drimorio. Wajahnya cerah dan bersinar seharian ini. Lebih cerah ketimbang wajah muram matahari yang seharian ini terus diganggu oleh sekawanan awan nakal. Apa dia sudah dapat pekerjaan baru? Ternyata belum. Apa dia sudah berhasil menjual sebidang sawahnya (warisan dari orang tuanya), yang sudah ditawarkan selama setahun ini? Ternyata belum laku juga.

Tetapi, mengapa ia tampak seperti orang yang sedang menggenggam kesuksesan? Bahkan seperti orang yang tengah memeluk kebahagiaan.

"Abang mau pergi ke mana?"

"Ke kota yang paling selatan negeri ini."

"Berapa kilometer dari sini, Bang?"

"Persisnya aku nggak tahu, tapi pasti ratusan kilometer."

"Mengapa jauh sekali, Bang?"

"Karena, di sanalah, aku akan menggapai mimpiku, Sayang!"

"Mengapa nggak bermimpi di sini saja, Bang?"

"Aku sudah letih bermimpi di sini. Mimpiku sudah mengerontang di sini."

"Untuk berapa lama Abang di sana?"

"Untuk waktu yang belum bisa ditentukan...."

"Terus bagaimana dengan rencana pernikahan kita, Bang?"

"Justru kepergianku ini demi mewujudkan rencana mulia kita itu, Sayang!"

"Apa hubungannya?"

"Kau ingat? Syarat mutlak yang ditetapkan Ayahmu untuk bisa melamarmu itu apa?"

"Seiman, saling mencintai dan sudah punya pekerjaan jelas."

"Yang pertama dan kedua sudah terpenuhi. Tapi yang ketiga kan belum...."

Sejak di pe-ha-ka hampir dua tahun lalu, sampai sekarang Drimorio memang masih sebagai pemuda dewasa pengangguran. Di dusun ini tak ada lapangan kerja yang tersedia. Itu sebabnya, hampir semua pemuda dusun ini merantau ke berbagai kota, bahkan ke ibukota. Jika tak bisa bertani atau berternak, satu-satunya peluang kerja ya berwiraswasta.

"Kalau saja sawahku sudah laku, aku punya modal untuk segera buka usaha."

"Sabar sedikit kenapa, sih Bang? Sebentar lagi kan pasti laku juga......"

"Ini peluang emas, Ani. Ini momentum terbaikku! Dan sekali dilewatkan, kita akan  kehilangan semuanya."

"Kehilangan apa Bang?"

"Kehilangan peluang menjadi orang kaya, terkenal dan terhormat...."

"Aku sama sekali enggak nuntut itu semua, Bang..."

"Cintaku kepadamu dan cintaku kepada diriku sendiri yang menuntut itu. Karena cinta tanpa mimpi akan seperti gombal yang nglimpruk. Tuna harga diri, dan sama sekali tak bermartabat!"

"Terserah Abang sajalah......."

Sesungguhnya Sardhaniati (biasa dipanggil Ani) sama sekali tak setuju dengan rencana kepergian kekasihnya itu. Apalagi ke kota yang cukup jauh, dan untuk satu misi yang belum sepenuhnya dipahaminya. Namun, Ani tak mau berdebat. Selain tak pintar, kalau dipaksakan pasti akan mubazir. Siapa yang sanggup mencegah Drimorio? Kalau pemuda itu sudah kerasukan idealismenya; atau sedang dilambungkan oleh mimpinya, segala upaya menghentikannya akan sia-sia saja.

                        ***

Sesampai di kota paling selatan itu, Drimorio segera bertemu dan berkenalan dengan beberapa orang pendatang yang bertujuan sama dengannya.

"Apakah Anda juga akan mengikuti sayembara?" Tanya Drimorio pada seorang pria.

"Ya."

"Apa betul pemenangnya akan dijadikan menantu Prabu Agung?"

Lalu pria itu menjelaskan pada Drimorio: Prabu Agung adalah orang yang paling kaya di kawasan ini. Puluhan perusahaan besarnya tersebar di berbagai penjuru negeri. Bahkan ada beberapa yang di manca negara. Sehingga beliau disebut termasuk ke dalam -- lima puluh besar orang terkaya di negeri ini-.

Prabu Agung hanya punya dua orang anak saja. Putra sulungnya sudah berkeluarga dan tinggal di Abu Dhabi. Sedang putrinya, sekarang ini sedang menyelesaikan program doktornya di Amerika. Meski pergaulan keluarganya berlevel internasional, tapi dalam hal perjodohan, sang prabu masih menerapkan cara yang kuno. Orang tualah yang berperan penuh dalam menentukan jodoh bagi anaknya.

Karena Prabu Agung sudah uzur dan mulai sakit-sakitan, maka sebelum mangkat, beliau kini sedang berusaha untuk mencarikan seorang pangeran bagi putri tercintanya itu. Dan caranya, beliau mengadakan sebuah swayamvara atau sayembara.

"Benarkah yang disayembarakan itu tentang kedigdayaan mimpi seseorang?"

"Ya benar. Barangsiapa mempunyai mimpi yang paling adiluhung, dialah yang akan diangkat menjadi pangeran yang akan dinikahkan dengan sang putri. Sekaligus menjadi pewaris sebagian harta kekayaan Prabu Agung."

"Tetapi, bagaimana cara menilai ke-adiluhung-an sebuah mimpi?"

"Pak Prabu sudah punya sebuah sistem dan mekanisme penilaian yang sangat canggih.  Dan semua prosesnya dikerjakan oleh sebuah super tim yang terdiri berbagai pakar dari dalam negeri maupun manca negara."

"Konon, akan dipilih sepuluh orang  pemimpi terbaik berkaliber dunia," sahut seorang yang lain, " lalu sang putri memilih satu yang paling baik dari sepuluh pemimpi terbaik itu, untuk menjadi suaminya."

"Lalu yang sembilan lainnya   mendapat hadiah atau kehormatan apa?"

"Yang sembilan pemenang lainnya akan dijadikan anggota sebuah tim elit untuk mengelola semua perusahaan, asset maupun segala harta kekayaan Pak Prabu."

"Tentu gajinya gede banget, dong?"

"Ya, pastilah!"

"Tapi yang masih membingungkan saya, kenapa yang disayembarakan kok tentang mimpi seseorang, dan bukan tentang kekuatan otot atau otak?"

"Karena kehebatan dan kesuksesan Prabu Agung itu, dulu dimulai dari sebuah mimpinya yang agung. Maka, beliau ingin dinastinya, juga adalah orang yang punya mimpi yang grande."

"Oh, gitu to........"

Sehari ini saja, gelombang massa pemimpi yang datang dari berbagai penjuru angin sudah mulai memadati kota itu. Sehingga semua kamar di tempat penginapan yang paling murah sampai hotel-hotel berbintang semuanya sudah penuh. Namun, karena yang datang adalah para pemimpi, maka tak begitu terdengar keriuhannya.

Keriuhan itu hanya terjadi di kepala dan di dada para pemimpi yang kini sedang merangkai mimpinya masing-masing. Begitu juga dengan Drimorio. Meski kini asanya mengangkasa tinggi menjadi seorang yang kaya, ngetop dan terhormat; tapi bersamaan dengan itu ia juga gemetaran disergap sebuah dilemma pelik.

"Andai aku sampai berhasil menjadi suami sang putri yang kemolekannya konon melebihi rembulan saat purnama; bagaimana dengan Ani?" gumamnya terhadap dirinya sendiri.

"Kamu lebih cinta Ani atau putrinya Pak Prabu?" Tanya suara lain dari hatinya.

"Jelas aku lebih cinta Ani dong!"

"Kalau gitu ya jangan ikut sayembara!"

Ikut apa tidak? Ikut apa tidak? Ikut apa tidak? Kalau ikut dan menang, itu pasti akan mencabik hati dua gadis yang mestinya dicinta penuh.  Namun, kalau tidak ikut, berarti menjungkalkan diri sendiri dalam kebodohan yang paling dungu. Mencampakkan peluang emas, bukankah itu sebuah kedunguan yang paling absurd?

                    ***

Seperti kedatangan ribuan pemimpi mengeroyok kota di selatan negeri ini dengan kesenyapan yang beku. Kini kepulangan mereka juga berlangsung dalam kesenyapan yang setara. Bedanya ketika tiba, mereka semua penuh dengan mimpi yang bermekaran di sekujur jiwanya. Saat kepulangan mereka, tak ada sepuing pun mimpi yang tersisa. Tapi, mengapa mereka pulang secepat itu?

Penyebabnya, karena telah beredar sebuah pengumuman dari istana Pak Prabu kepada semua calon peserta sayembara. Demi alasan keamanan, ketertiban, efesiensi dan efektifitas; maka terpaksa jumlah calon peserta sangat dibatasi. Calon peserta, selain punya mimpi yang sakti, harus juga bergelar PHD Ekonomi dengan predikat summa cum laude. Ini sesuai dengan tugas yang akan diemban sebagai pengelola kerajaan bisnis Prabu Agung.

Akibatnya, calon peserta yang memenuhi syarat, tinggal sekitar 30 orang dari ribuan orang sebelumnya. Sedang yang lain harus pulang kampung. Drimorio pun harus memasung mimpinya dan pulang dalam kehampaan asa. Tapi ia tak mau pulang. Setidaknya dalam waktu dekat ini. Ia malu terhadap Ani dan ayahnya Ani. Ia malu terhadap dua orang kakaknya yang memang tak merestui kepergiannya. Ia malu terhadap ambisinya sendiri.

Namun, mau apa dan ke mana? Sampai larut malam. Sampai mengantuk, melentuk, ambruk dan tertidur, Drimo belum kunjung meraih jawabannya.

            ***

"Drimo, maukah engkau kutolong?" Seorang kakek renta berkucir menawarinya.

"Mau Mbah, memang cucumu ini sangat memerlukan pertolongan."

"Apa permintaanmu?"

"Saya sangat memerlukan Ijazah S3 dengan predikat summa cum laude yang sudah dilegalisasi oleh Direktur Program Pascasarjana dari sebuah universitas terkemuka. Apa Mbah bisa menolong?"

"Itu mah kecil...Le. Di duniaku tidak ada hal yang tak bisa dicapai."

"Matur suwun, Mbah! Kapan saya bisa mendapatkannya?"

"Sebelum engkau dibangunkan oleh jemari mentari esok pagi, itu sudah tersedia bagimu."

Esoknya dengan pakaian kebanggaan, dengan langkah-langkah tegap, dan dengan optimisme melangit, Drimorio menuju ke istana Prabu Agung untuk mendaftarkan diri sebagai peserta swayamvara yang paling prestisius itu.

Tetapi, baru dia melewati screening tahap pertama saja, tiba-tiba muncullah beberapa algojo yang dengan beringas membentak, menangkap, menempeleng, mengikat dan menggelandangnya. Lalu melemparkannya ke sebuah ruangan yang remang, pengap dan anyir.

"Hukuman apa yang pantas untuk seorang pemalsu ijazah?"

"Ditembak?"

"Atau disetrum?"

"Atau dipancung saja?"
"Apa pun bentuknya, pokoknya  harus dihukum  sampai mampus!" jawab algojo yang paling sangar sambil mengayunkan tombaknya persis terarah ke lambung Drimo.........

"Jangan....! Ampun.....!" Drimorio meronta berteriak sekeras-kerasnya sampai ia terjaga dan mendapati dirinya sendiri ternyata masih terbaring di kamar losmen.

Kota di ujung paling selatan negeri ini, ternyata bukan surga untuk pejuang-pejuang  mimpi. Karenanya, Drimorio memutuskan untuk benar-benar pulang. Di dusunnya sendiri, ia masih punya mimpi mulia yang akan bisa digapainya. Gagal di kota selatan tak apa-apa. Asal di dusunnya sendiri, ia bisa menjadi pangeran bagi Ani, kekasihnya.

                        ***

Baru sejam sampai di rumahnya, Drimo mendapat panggilan telepon dari Ani, yang mengabarkan bahwa nanti sore ayahnya mau mengajaknya bicara.

"Drimo, kita hidup di tengah dunia yang penuh persaingan," buka ayah Ani.

"Ya, Paman."

"Engkau boleh menikahi Ani, putriku. Asal engkau bisa memenangkan persaingan."

Lalu lelaki itu menjelaskan, bahwa selain Drimo, ada juga seorang pemuda (anak sahabatnya), yang ingin memperistri putrinya. Bahkan sudah siap melamarnya dalam waktu dekat ini, dengan mahar sebuah rumah baru, sebuah mobil baru dan sekotak perhiasan wanita. Kalau Drimo bisa melebihinya, minimal menyamainya, dia yang berhak atas Ani. Pertimbangannya, karena Drimo sudah menjalin pertemanan dengan Ani terlebih dahulu.

Drimo belum bisa menjawab. Hanya terperangah. Mengernyit dan termangu....dan tampak seperti sedang menghitung sesuatu.

"Sanggup tidak, engkau bersaing Drimo?"

"Sanggup Paman! Mohon saya diberi waktu barang enam bulan....."

Kini, ganti ayahnya Ani yang ternganga, mengernyit dan terperangah. Beberapa menit kemudian lelaki tua itu justru malah ambruk tersungkur dan semaput. Mengapa? Karena ia shock berat. Tadinya ia menyangka bahwa Drimorio akan mundur dari melamar Ani. Tadinya ia mengira pemuda itu tak akan bisa menyediakan mahar sebesar itu. Sesungguhnya itu adalah cara untuk menolak secara halus Drimorio.

Tetapi, dengan rasa percaya dirinya yang besar, ternyata Drimo menyanggupinya.

"Aku sangat berbahagia akan kesanggupan Abang. Karena itu berarti mimpi cinta kita berdua akan segera menjadi kenyataan. Tapi apa Abang punya uang untuk membayar mahar semahal itu?" kata Ani yang terlilit di antara bahagia dan cemas.

"Sebentar lagi aku akan jadi pangeran bagimu, Ani!"

"Tapi caranya gimana Bang?"

"Bukankah sebentar lagi sawahku akan laku, Ani? Sudah ada beberapa orang yang menawarnya. Jadi tinggal kupilih saja yang tawarannya paling tinggi...."

Sontak saja, tiba-tiba keduanya berpelukan sangat erat, di dekat ayahnya yang masih terkapar pingsan.    

                                   ==000==                                                                                             

Bambang Suwarno - Palangkaraya, 2019                                                                     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun