"Matur suwun, Mbah! Kapan saya bisa mendapatkannya?"
"Sebelum engkau dibangunkan oleh jemari mentari esok pagi, itu sudah tersedia bagimu."
Esoknya dengan pakaian kebanggaan, dengan langkah-langkah tegap, dan dengan optimisme melangit, Drimorio menuju ke istana Prabu Agung untuk mendaftarkan diri sebagai peserta swayamvara yang paling prestisius itu.
Tetapi, baru dia melewati screening tahap pertama saja, tiba-tiba muncullah beberapa algojo yang dengan beringas membentak, menangkap, menempeleng, mengikat dan menggelandangnya. Lalu melemparkannya ke sebuah ruangan yang remang, pengap dan anyir.
"Hukuman apa yang pantas untuk seorang pemalsu ijazah?"
"Ditembak?"
"Atau disetrum?"
"Atau dipancung saja?"
"Apa pun bentuknya, pokoknya  harus dihukum  sampai mampus!" jawab algojo yang paling sangar sambil mengayunkan tombaknya persis terarah ke lambung Drimo.........
"Jangan....! Ampun.....!" Drimorio meronta berteriak sekeras-kerasnya sampai ia terjaga dan mendapati dirinya sendiri ternyata masih terbaring di kamar losmen.
Kota di ujung paling selatan negeri ini, ternyata bukan surga untuk pejuang-pejuang  mimpi. Karenanya, Drimorio memutuskan untuk benar-benar pulang. Di dusunnya sendiri, ia masih punya mimpi mulia yang akan bisa digapainya. Gagal di kota selatan tak apa-apa. Asal di dusunnya sendiri, ia bisa menjadi pangeran bagi Ani, kekasihnya.
            ***