"Ya, pastilah!"
"Tapi yang masih membingungkan saya, kenapa yang disayembarakan kok tentang mimpi seseorang, dan bukan tentang kekuatan otot atau otak?"
"Karena kehebatan dan kesuksesan Prabu Agung itu, dulu dimulai dari sebuah mimpinya yang agung. Maka, beliau ingin dinastinya, juga adalah orang yang punya mimpi yang grande."
"Oh, gitu to........"
Sehari ini saja, gelombang massa pemimpi yang datang dari berbagai penjuru angin sudah mulai memadati kota itu. Sehingga semua kamar di tempat penginapan yang paling murah sampai hotel-hotel berbintang semuanya sudah penuh. Namun, karena yang datang adalah para pemimpi, maka tak begitu terdengar keriuhannya.
Keriuhan itu hanya terjadi di kepala dan di dada para pemimpi yang kini sedang merangkai mimpinya masing-masing. Begitu juga dengan Drimorio. Meski kini asanya mengangkasa tinggi menjadi seorang yang kaya, ngetop dan terhormat; tapi bersamaan dengan itu ia juga gemetaran disergap sebuah dilemma pelik.
"Andai aku sampai berhasil menjadi suami sang putri yang kemolekannya konon melebihi rembulan saat purnama; bagaimana dengan Ani?" gumamnya terhadap dirinya sendiri.
"Kamu lebih cinta Ani atau putrinya Pak Prabu?" Tanya suara lain dari hatinya.
"Jelas aku lebih cinta Ani dong!"
"Kalau gitu ya jangan ikut sayembara!"
Ikut apa tidak? Ikut apa tidak? Ikut apa tidak? Kalau ikut dan menang, itu pasti akan mencabik hati dua gadis yang mestinya dicinta penuh. Â Namun, kalau tidak ikut, berarti menjungkalkan diri sendiri dalam kebodohan yang paling dungu. Mencampakkan peluang emas, bukankah itu sebuah kedunguan yang paling absurd?