Hasil penelitian tersebut mempertimbangkan; bagaimana work engagement telah diterapkan dan dikelola dalam organisasi, kerangka kerja integratif cocok untuk mengintegrasikan neuroleadership dan work engagement, poin integrasi neuroleadership dan work engagement, menggabungkan poin integrasi ke dalam kerangka kerja, meninjau penerimaan kerangka kerja dalam bisnis oleh profesional SDM.Â
Hasil data mengungkapkan tiga tema: 1) organisasi mengukur keterlibatan menggunakan berbagai survei berkaitan dengan kepuasan kerja,Â
2) organisasi menerapkan intervensi untuk mengatasi masalah, tetapi tidak harus holistik, dan 3) organisasi menerapkan perubahan didikte lingkungan kompleks tanpa secara proaktif mempertimbangkan atau mengelola dampak keterlibatannya.
Tujuan penelitian ketiga ini sesuai dengan kerangka holistik secara teoritis menggabungkan neuroleadership dan work engagement secara konseptual mengungkapkan keselarasan kerja dengan 4 kuadran AQAL Teori Integral (2000) dari Ken Wilber.Â
Temuan dihasilkan dari meta-triangulasi dan bracketing memetakan titik integrasi neuroleadership dan work engagement. Dalam interior: kuadran individu, perhatian dan kecerdasan emosional muncul sebagai dimensi positif terkait keterlibatan kerja.Â
Dalam eksterior: kuadran individu, biologi seorang pemimpin, muncul sebagai kontributor positif untuk keterlibatan kerja. Sedangkan kuadran kolektif: interior mengungkapkan status, kepastian (certainty), otonomi (autonomy), keterkaitan (relatedness), dan keadilan (fairness) atau disingkat menjadi SCARF dan pikir pertumbuhan organisasi, tampaknya menjadi kontributor terbesar untuk keterlibatan kerja.
Sesuai dengan judul penulisan essay ini, masih banyak hasil ketiga penelitian di atas yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian bila akan diaplikasikan di negeri kita tercinta. Penulis mencoba mengkaitkan dengan potensi kepemimpinan perempuan Indonesia.Â
Beberapa limitasi hasil penelitian telah diuraikan di atas, terkait budaya kerja yang berbeda, jumlah responden, metode-metode pembelajaran, pembinaan (coaching), gaya kepemimpinan, lintas generasi, dan faktor-faktor lain di atas yang belum disebut di sini. Walaupun asumsinya dari pengamatan sementara; perempuan Indonesia harus lebih bisa menerima, bekerjasama dan memimpin dengan keberagaman anggota tim bekerja.
Sangat beralasan, karena salah satu prinsip falsafah bangsa ini; 'Bhinneka Tunggal Ika' berbeda-beda suku, bahasa, adat, agama, kepercayaan, kebiasaan dan lain-lain namun tetap satu jua. Akan tetapi perubahan lingkungan yang semakin cepat dan terdisrupi, terutama disrupsi teknologi informasi, di mana setiap warga negara Indonesia memiliki akses informasi yang sama.Â
Selama mereka memiliki gadget dan dapat menerima sinyal baik yang berbayar maupun sinyal wifi yang gratis. Sementara mereka memiliki latar belakang pendidikan dan kemampuan literasi baca yang berbeda.Â
Serta bangsa ini telah memasuki alam demokrasi di mana setiap orang ingin berbicara atau menyampaikan pendapatnya. Disrupsi teknologi ini menimbulkan diversity atau keberagaman yang semakin kompleks.