Mohon tunggu...
Bahrullah Akbar
Bahrullah Akbar Mohon Tunggu... -

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan RI

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Fungsi Pengawasan Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah

3 September 2014   05:26 Diperbarui: 4 April 2017   18:12 11362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14096715401545084855

Dewan Senat, Guru Besar, Dosen STIE APRIN, para wisudawan wisudawati dan Bapak Ibu Hadirin Sekalian

Orasi Ilmiah ini saya sampaikan dalam rapat senat khusus terbuka STIE APRIN terhormat, Berjudul Fungsi Pengawasan Dalam Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah

Pada dasarnya ada empat tujuan bernegara di Indonesia yang telah dicanangkan dan dicita – citakan oleh parafounding fathers negara kita tercinta ini yang telah termaktub dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu terdiri dari:


  1. Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
  2. Memajukan kesejahteraan umum
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
  4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial


Keempat tujuan tersebut saling terkait satu sama lain, hal ini merupakan cara berfikir yang sangat briliant dari para founding fathers kita yang mempunyai visi dan misi bernegara kedepan yang sangat jenius sehingga tujuan bernegara tersebut masih sangat relevan dan masih menajdi cita-cita yang terus ingin digapai. Tujuan tersebut merupakan tujuan fundamental yang bisa ditinjau dari sudut politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan hukum. Jika keempat tujuan tersebut dapat dicapai maka kita tidak pungkiri lagi bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju dan juga dihormati oleh bangsa – bangsa lain di dunia..

Lebih jauh lagi, pemikiran para founding fathers kita dalam merumuskan tujuan bernegara tersebut bahkan dapat dikatakan jauh lebih lengkap dan lebih maju jika dibandingkan oleh pendapat beberapa pemikir – pemikir dan filsuf terkenal yang pernah ada di dunia ini. Para pemikir/ filsuf tersebut hanya menghasilkan cara berpikir yang lebih parsial jika dibandingkan cara berpikir founding fathers kita yang lebih komprehensif. Sebagai perbandingan, diantara pendapat para pemikir dan filsuf tersebut adalah sebagai berikut:


  1. Aristoteles menyatakan bahwa untuk mencapai kebaikan individu hanya dapat terwujud dalam dan ditengah masyarakat hal ini berarti bahwa mamajukan kesejahteraan umum jauh lebih penting dari sekedar mencapai kesejahteraan secara individu karena kebaikan individu tersebut hanya dapat diraih ditengah masyarakat;
  2. Thomas Hobbes menyatakan bahwa manusia mempunyai hak yang sama dan bebas untuk mencapai kebaikannya, namun kebebasan manusia tersebut tidak bisa dilakukan sebebas – bebasnya karena dibatasi oleh kebebasan orang lain. Pernyataan Thomas Hobbes ini sejalan dengan tujuan pertama karena negara melindungi segenap bangsa Indonesia termasuk diantaranya membatasi kebebasan yang agar tidak dilakukan sebebas – bebasnya;
  3. Karl Marx menyatakan bahwa seuruh perkembangan sejarah manusia ditentukan oleh faktor ekonomi. Hal ini juga sejalan dengan tujuan kesejahteraan umum yang tidak terlepas dari berkembangnya ekonomi untuk mencapai kesejahteraan umum tersebut; dan;
  4. Jean Jacques Rousseu menyatakan bahwa satu – satunya cara untuk mencapai kehendak bersama dalam meraih kesejahteraaan umum adalah dengan adanya pendidikan. Pendapat tersebut juga sejalan dengan tujuan negara untuk mencerdaskan bangsa.


Pada pandangan yang lain, tujuan bernegara menurut intelektual Islam lebih ditekankan kepada adanya kepemimpinan yang kuat serta pemerataan dan keadilan. Salah satu pemikir Islam yang mencoba untuk mendefinisikan negara adalah Al Mawardi. Menurut Al Mawardi unsur – unsur negara terdiri dari:


  1. Dalam negara ada agama yang dihayati. Agama yang diperlukan sebagai pengendali hawa nafsu dan pengawas melekat atas hati manusia, karenaya merupakan sendi sekaligus unsur yang terkuat bagi kesejahteraan dan ketenangan negara;
  2. Dalam negara, ada penguasa yang berwibawa;
  3. Dalam negara, harus ada keadilan yang menyeluruh;
  4. Dalam negara, harus tercipta keamanan yang merata;
  5. Dalam negara, terwujud kesuburan tanah;dan
  6. Dalam negara, harus ada generasi.


Tujuan memajukan kesejahteraan umum sangat relevan dengan tujuan ekonomi atau lebih khusus lagi dengan relevan dengan teori ekonomi kesejahteraan umum (welfare economics). Welfare economics merupakan salah satu cabang ekonomi yang mempelajari keinginan (desirability), efisiensi dan pemilihan berbagai penggunaan sumber daya oleh masyarakat. Keuntungan masyarakat dan kerjahteraan sosial akan meningkat dengan adanya realokasi sumberdaya sehingga semua individu memperoleh keuntungan atau paling tidak ada satu individu yang memperoleh keuntungan dan tidak ada individu lain yang berkuang kekuasaannya. Kondisi ini sering pula disebut dengan kriteria pareto.

Namun pada kenyataannya, sistem ekonomi tidak selalu mudah untuk mencapai kesejahteraan umum atau dengan kata lain kondisi efisien dalam ekonomi sering terkendala dan terdistorsi oleh empat kelompok kondisi yang kerap terjadi dalam dunia nyata, keempat kondisi tersebut terdiri dari :


  1. Persaingan tidak sempurna yang ditandai dengan adanya pelaku ekonomi yang mempunyai kekuatan untuk mengendalikan harga;
  2. Eksternalitas kondisi dimana adanya interaksi antarpelaku ekonomi yang tidak terefleksikan dalam harga pasar. Adanya eksternalitas pelaku ekonomi dapat mengalami kerugian maupun keuntungan sehingga pasar menjadi tidak efisien;
  3. Barang publik, adanya barang ini juga merupakan masalah dalam penentuan harga pasar karena barang ini mempunyai sifat nonrivalry dan nonexclusion. Dalam kondisi nonrivalry, masyarkat dapat mengkonsumsi barang ini dengan harga jauh lebih murah dari harga pasarnya atau bahkan dengan zero cost. Pada kondisinonexclusion, tidak ada yang menghalangi tambahan orang lain untuk mengkonsumsi barang yang sama meskipun barang tersebut telah dikonsumsi; dan
  4. Informasi yang tidak sempurna. Dalam kondisi normal seharusnya seluruh pelaku pasar dapat mengetahui harga, namun dalam kondisi informasi yang tidak sempurna hanya sebagian pelaku pasar atau ekonomi yang mengetahui harga sehingga mereka dapat mempermainkan harga dari suatu barang.


Untuk mengatasi adanya keempat distorsi tersebut, diperlukan campur tangan pemerintah dalam sistem ekonomi. Ada beberapa pihak yang pro dan kontra dalam campur tangan pemerintah dalam sistem ekonomi sehingga menjadi polemik berkepanjangan. Polemik berkepanjangan tersebut sebaiknya segera diakhiri mengingat peran pemerintah dalam ekonomi sangat dibutuhkan. Hal ini juga sudah diakui oleh Alan Greenspanmantan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat yang merupakan salah satu tokoh yang mempunyai ideologi kuat untuk melarang campur tangan pemerintah dalam sistem ekonomi. Ideologinya tersebut terbantahkan ketika tahun 2008 AS mengalami krisis ekonomi yang dimulai dari keruntuhan pasar keuangan terutama keruntuhanLehman Brother yang mengalami default outstanding debt sebesar 8 miliar USD. Campur tangan pemerintah dalam upaya untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang awalnya ditentang dalam bentuk paket bailout sebesar 700 miliar USD akhirnya disetujui oleh kongres. Dengan kekuasaan dan kemampuan keuangannya pemerintah dapat melakukan intervensi pasar untuk mengendalikan harga sehingga ketidaksempurnaan pasar dan informasi dapat diatasi, selain itu pemerintah juga dapat menyediakan barang publik yang tidak disediakan oleh pihak swasta, dan juga pemerintah dapat menerbitkan regulasi untuk mengurangi terjadinya eksternalitas dalam ekonomi.

Dari pembahasan diatas jelas sekali bahwa peran pemerintah dalam upaya untuk mencapai tujuan bernegara sangat penting. Upaya pemerintah untuk mencapai tujuan bernegara tersebut tidak mungkin dapat terlaksana tanpa didukung kemampuan finansial negara untuk membiayainya, bisa dibayangkan berapa besar dukungan keuangan yang diperlukan pemerintah untuk mencapai tujuan – tujuan tersebut. Selain adanya dukungan keuangan yang memadai, dilain pihak pemerintah juga harus melakukan good government governance (GGG) dalam mengelola keuangan tersebut sehingga sumberdaya keuangan pemerintah dapat digunakan secara ekonomis, efisien dan efektif atau dalam istilahnya sering disebut dengan value for money (VFM).

Secara umum fungsi pemerintah dalam mengelola negara terbagi kedalam tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Menurut pandangan dan teori ilmu pemerintahan yang dikembangkan oleh Longemannseorang pakar ilmu pemerintahan dari Belanda menyatakan bahwa pemerintah yang mengatur distrik atau bagian merupakan berstuurdienst. Dienst merupakan bahasa Belanda yang saat ini naturalisasi menjadi bahasa Indonesia menjadi dinas yang dikepalai oleh seorang kepala pemerintahan yang disebut dengan hoofd van gewestelijk bestuur. Teori ini telah sejalan dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, bahwa pemerintah daerah (Pemda) merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Dari ketiga fungsi utama pemerintah dalam mengelola negara, hanya fungsi alokasi yang diberikan kepada Pemda. Secara formal pembagian urusan ini dituangkan dalam PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 2 ayat (2) PP 38/2007 telah jelas memberikan fungsi distribusi dan stabilisasi kepada pemerintah pusat yang terdiri dari politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sedangkan ayat (4) merinci urusan yang boleh dijalankan oleh Pemda yang terdiri dari pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial, ketenagakerjaan dan ketransmigrasian, koperasi dan usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kebudayaan dan pariwisata, kepemudaan dan olah raga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian, pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik, kearsipan, perpustakaan, komunikasi dan informatika, pertanian dan ketahanan pangan, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan, perdagangan, dan perindustrian.

Pimpinan Rapat dan Anggota Senat Khusus terbuka, Dosen, Wisudawan/wati dan Bapak, Ibu Hadirin Sekalian

Pengukuran VFM sejalan dengan semangat untuk melaksanakan dan melakukan praktek manajemen moderen pada insititusi publik/pemerintahan. Kalau kita kaji kata dasarnya manajemen berasal dari bahasa Perancismenagement yang mempunyai makna seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen mempunyai empat fungsi pokok yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan.

Praktek manajemen telah lama dilaksanakan di instansi pemerintah atau publik, namun model new public management (NPM) baru marak dilaksanakan pada orgnisasi publik pada pertengahan tahun delapan puluhan setelah David Osborne dan Ted Gaebler menerbitkan “entrepreneurial government”. NPM berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi pada kebijakan. Penggunaan paradigma NPM tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah di antaranya adalah tuntutan untuk melakukan efisiensi, pelaksanaan audit kinerja, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender dalam pengadaan barang/jasa di instansi pemerintah. NPM diharapkan juga bisa memberikan terbentuknya akuntabilitas dan transparansi di instansi pemerintah. Akuntabilitas dan transparansi merupakan dua pilar utama untuk dilaksanakannya GGG yang pada akhirnya tercapai tujuan terbentuknya pemerintahan yang bersih.

Salah satu langkah nyata penerapan NPM adalah dengan dilaksanakannya reformasi birokrasi (RB) pada beberapa Kementerian dan Lembaga yang diantaranya juga dilakukan oleh BPK. RB merupakan salah satu amanah Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 dengan melakukan pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk mendukung keberhasilan pembangunan bidang lainnya. Lebih jauh lagi RB juga diamanahkan oleh Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 – 2014 danPeraturan Presiden Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025 yang menekankan bahwa reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan menjadi prioritas utama.

BPK merupakan salah satu intansi yang telah melaksanakan reformasi birokrasi pada tahun 2007 bersamaan dengan Kementerian Keuangan dan Mahkamah Agung. Beberapa Kementerian dan Lembaga lain telah mengajukan pelaksanaan RB dan saat ini tengah dikaji oleh Kementerian PAN. Kajian dan penilian dilakukan berdasarkan sembilan kriteria penilaian area perubahan yang terdiri dari (1) Manajemen Perubahan, (2) Penataan Peraturan Perundang-undangan, (3) Penataan dan Penguatan Organisasi, (4) Penataan Tata Laksana, (5) Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur, (6) Penguatan Pengawasan (7) Penguatan Akuntabilitas Kinerja, (8) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dan (9) Quick Wins.

RB dilakukan ditengah keraguan beberapa pihak akan keberhasilan pelaksanaan NPM di Indonesia. Keraguan tersebut sangat bisa diterima karena paling ada dua penyebab yang menjadi alasan utama.


  1. Pertama, menurut pendapatKamensky dalam Denhardt & Denhardt bahwa grand theory yang melandasai NPM adalah public choice theory, teori ini menekankan pada kemampuan individual dibandingkan kemampuan kolektif dalam memberikan pelayanan kepada publik. Jika public choice theory dijadikan dasar dalam pelaksanaan NPM maka kita bisa katakan bahwa NPM akan sulit diterapkan di Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar karena masih menurut Kamensky, konsep public choice theory akan menolak konsep public spiritpublic service yang pada akhirnya juga menolak terbentuknya masyarakat yang demokratis;

  1. Kedua, NPM juga akan sulit dilaksanakan pada instansi yang mempunyai birokrasi panjang dan berbelit – belit yang menjadi ciri khas dari negara – negara berkembang. RB menjadi pilihan yang paling tepat untuk memotong jalur birokrasi sehingga pelayanan publik kepada masyarakat dapat diberikan dengan segera; dan

  1. Ketiga, adanya kekhwatiran beberapa elemen masyarakat bahwa NPM akan menyebabkan dilakukannya swastanisasi pelayanan publik sehingga masyarkat akan membayar pelayanan publik yang lebih mahal dari yang sebelumnya.


Keraguan dan kekhawatiran sebagian elemen masyarakat tersebut pada dasarnya wajar, namun semangat untuk melakukan perubahan dalam manajemen insatansi atau publik seharusnya tetap berjalan. Dalam pendapat yang lain Christopher Hoods, menyatakan bahwa salah satu ciri dari NPM adalah menciptakan persaingan di sektor publik. Sehingga, apa yang dilakukan oleh pemerintahan adalah berusaha bersaing untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, dan pada gilirannya, publiklah yang diuntungkan atas upaya ini.

Keraguan dan kekhawatiran keberhasilan pelaksanaan NPM pada dasarnya tidak perlu terjadi jika pelaksanaan NPM diikuti oleh suatu sistem dan mekanisme pengawasan pelaksanaan yang baik. Banyak sekali arti dan definisi pengawasan dalam beberapa lietratur namun paling tidak pengawasan dapat didefinisikan sebagai proses yang dimulai dari penetapan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut termasuk didalamnya melakukan feedback agar penyimpangan dari standar kinerja tidak semakin jauh;“Controlling is the process of measuring performance and taking action to ensure desired results. Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktifitas yang terlaksana sesuai dengan apa yang telah direncanakan;“The process of ensuring that actual activities conform the planned activities.

Isu utama dalam fungsi pengawasan pada instansi pemerintah adalah pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara. Tujuan dari dilaksanakannya pengawasan terhadap keuangan negara adalah (1) untuk menjaga agar anggaran yang disusun dan ditetapkan benar-benar dapat dilaksakan dengan baik, (2) untuk menjaga agar kegiatan pengumpulan penerimaan dan pembelanjaan pengeluaran negara sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan, dan (3) untuk menjaga agar pelaksanaan APBN benar-benar dapat dipertanggung-jawabkan.

Pengawasan keuangan negara dapat dilakukan oleh aparat pengawas internal dan eksternal. Aparat pengwas internal terdiri dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Kementerian/Unit Pengawasan Lembaga dan Inspektorat Propinsi dan Kota/Kabupaten. BPKP sesuai PP 62/2006 berfungsi melakukan koordinasi atas seluruh pengawasan intern Pemerintah. Sedangkan pengawas eksternal dilakukan oleh BPK, Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah (DPR/D), media masa beserta lembaga atau anggota masyarakat lainnya. Sedangka Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) adalah eksternal pemeriksaan sesuai UU No. 15 Tahun 2003 tentang BPK anatara lain disebutkan dalam penjelasan adalah lembaga yang bebas dan mandiri serta memiliki profesionalisme. Perbedaan fungsi pengawasan inetral dan eksternal adalah mekanisme pleaporan dan tujuan audit, dimana BPK setiap tahunnya memberikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semesteran (IHPS) dan hasil Audit Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKKP) dan seluruh Kementerian, Lembaga, dan Pemerintahan Daerah, yaitu Propinsi dan Kota dan Kabupaten.

Keuangan negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keuangan publik atau bahkan ada yang berpendapat bahwa keuangan negara adalah sama dengan keuangan publik. Bagi setiap negara tidak terlalu jelas subjek dari keuangan negara karena tergantung dari bentuk dan sistem pemerintahan dari masing – masing negara yang diatur dalam konstitusi. Eksistensi keuangan publik dibutuhkan ketika belanja untuk memenuhi kebutuhan akan peneydiaan barang dan jasa publik diperlukan, sehingga keuangan negarapun ada saat dibutuhkan pengadaan atas barang dan jasa publik berupa layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, minyak dan gas, sandang dan panganmelalui subsidi langsung atau pun melalui public service obligation (PSO). Definisi keuangan negara menurut Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Pengawasan keuangan negara dimulai dari tahap perencanaan atau dimulai dari proses hingga disetujuinya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D). Pengawasan keuangan negara pada tahap pelaksanaan dilakukan pada sisi penerimaan dan pengeluaran keuangan negara. Pada sisi penerimaan pengawasan dilakukan oleh Kantor Pelayanan ataupun Pemeriksa Pajak untuk penerimaan negara dalam bentuk pajak, Kantor Inspeksi Bea dan Cukai untuk penerimaan dalam bentuk bea dan cukai serta Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sedangkan pengawasan keuangan negara pada sisi pengeluaran lebih ditekankan pada pengawasan internal dari masing–masing instansi yang akan melakukan pengeluaran keuangan negara tersebut. Prinsip-prinsip yang dipakai dalam pelaksanaan pengeluaran negara adalah :


  1. Wetmatighead, pengawasan yang menekankan pada aspek kesesuaian antara praktek pelaksanaan dan pengelolaan APBN/D dengan peraturan perundang-undangan ataupun regulasi yang berlaku;

  1. Rechmatighead, pengawasan yang menekankan dari aspek legalitas pelaksanaan APBN/D; dan

  1. Doelmatighead, pengawasan yang menekankan pada pentingnya penilaian kinerja dan peranan faktor tolok ukur dalam pelaksanaan APBN/D.


Pimpinan Rapat dan Anggota Senat Khusus terbuka, Dosen, Wisudawan/wati dan Bapak, Ibu Hadirin Sekalian

Berdasarkan UU 17/2003 pengertian pengelolaan keuangan negara dapat ditinjau dari dua sisi. Pengertian pengelolaan keuangan negara dalam arti luas termasuk didalamnya sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

Pengelolaan keuangan negara sub bidang fiskal melekat kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pasal 23 ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945 amandemen keempat berbunyi “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang – undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat”. Pengelolaan sub bidang fiskal juga meliputi kebijakan dan kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan APBN mulai dari penetapan Arah dan Kebijakan Umum (AKU), penetapan strategi dan prioritas pengelolaan APBN, penyusunan anggaran oleh pemerintah, pengesahan anggaran oleh DPR, pelaksanaan anggaran, pengawasan anggaran, penyusunan perhitungan anggaran negara (PAN) sampai dengan pengesahan PAN menjadi undang-undang.

Sedangkan pada pemerintahan daerah (Pemda) sub bidang pengelolaan fiskal sering juga disebut dengan desentralisasi fiskal. Proses anggaran dalam keuangan daerah dimulai dari penetapan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang mempunyai rentang waktu lebih kurang 25 tahun. RPJPD dipecah kedalam waktu yang lebih pendek 5 tahun menjadi Rencana Pembangunan Jangka Mengengah Daerah (RPJMD). Selanjutnya RPJMD dirinci lagi kepada rentang waktu yang lebih pendek selama satu tahun menjadi Kerangka Umum Anggaran (KUA) yang juga diterjemahkan oleh masing – masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk melaksanakan KUA dalam bentuk Pedoman Pelaksanaan Anggaran SKPD (PPAS).

Dalam sub bidang fiskal keuangan negara ini juga menyangkut beberapa fungsi keuangan negara, diantaranya:


  1. Fungsi pengelolaan ekonomi makro dan fiskal, fungsi ini menyangkut pengendalian kondisi makro ekonomi yang direfleksikan dalam indikator ataupun statistik ekonomi Indonesia. Dalam fungsi ini juga dibuat nota keuangan sebagai dasar untuk mengestimasi tingkat perkembangan ekonomi akibat dilaksanakannya belanja pemerintah/governmental expenditures demikian juga inisiasi dan pelaksanaan kerjasama – sama luar negeri seperti dengan lembaga donor yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap indikator ekonomi makro Indonesia;

  1. Fungsi penganggaran, fungsi ini seperti telah diuraikan diatas adalah merupakan fungsi perencanaan secara kuantitatif yang direfleksikan dalam perencanaan keuangan pemerintah untuk jangka waktu satu tahun ke depan yang dituangkan dalam APBN/D;

  1. Fungsi administrasi perpajakan, seperti kita ketahui bahwa lebih dari 70% pendapatan pemerintah dalam APBN berasal dari pajak sehingga pengadministrasian perpajakan secara baik akan memudahkan pemerintah untuk mengestimasi pendapatan negara dengan lebih baik juga. Kebijakan pemerintah untuk melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan dalam rangka peningkatan pembayaran pajak harus diikuti oleh administrasi perpajakan yang baik atau dengan kata lain aspek material perpajakan harus saling terkait dengan aspek formal perpajakan;

  1. Fungsi administrasi kepabeanan, bea masuk juga merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai belanja negara. Meskipun terus menjadi isu yang digulirkan dan dibesarkan oleh negara – negara pendukung free trade atau non tarif untuk menghapuskan bea masuk, namun kebijakan bea masuk merupakan salah satu instrumen yang efektif dari keuangan negara untuk memproteksi produk dalam negeri dalam bersaing dengan produk luar negeri sejenis yang diproduksi dengan biaya produksi yang lebih rendah atau efisien sehingga harga jualnya lebih murah di pasar;

  1. Fungsi perbendaharaan, dalam fungsi ini keuangan negara lebih banyak kepada penatausahaan keuangan negara yang lebih baik. Mulai dari penetapan kebijakan penerimaan dan pengeluaran kas negara hingga penetapan sistem dan prosedur keuangan negara dan akuntansi pemerintahan yang bermuara pada pelaporan keuangan negara. Penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang baik merupakan salah satu syarat terpenuhi akuntabilitas keuangan; dan

  1. Fungsi pengawasan keuangan, fungsi ini melekat pada aparat pengawas internal dan eksternal pemerintah.


Pengelolaan keuangan negara sub bidang moneter beraitan dengan transaksi perbankan dan lalu lintas moneter baik dari dalam maupun luar negeri. Pasal 21 Undang – Undang 17 Tahun 23 berbunyi “Pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter”. Peran Bank Sentral atau Bank Indonesia (BI) menjadi sangat menentukan dalam pengelolaan keuangan negara di sub bidang moneter terutama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan selain tugas utamanya menjaga sistem moneter.

Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan/fiskal ibarat dua sisi mata uang. Pelaksanaan kebijakan moneter yang dibuat oleh BI akan berdampak pada stabilitas sistem keuangan demikian juga kondisi sebaliknya, sistem keuangan yang dikendalikan oleh otoritas fiskal pemerintah merupakan salah satu alur dari transmisi kebijakan moneter. Dalam menciptakan stabilitas moneter BI menerapkan satu kebijakan inflation targeting framework(ITF) disini BI berperan untuk mengendalikan tingkat inflasi dengan menggunakan instrumen – instrumen keuangan kebijakan BI. Peran BI dalam keuangan negara secara konkrit adalah dengan membantu menerbitkan dan menempatkan surat – surat hutang negara sebagai sumber pembiayaan APBN tanpa diperbolehkan untuk membeli sendiri surat – surat hutang negara tersebut. Dalam hal ini BI bertindak sebagai kasir pemerintah yang menatausahkan rekening Pemerintah di BI dan atas permintaan Pemerintah, dapat menerima pinjaman luar negeri untuk dan atas nama pemerintah.

Selain itu secara formal keterlibatan BI dalam pengelolaan keuangan negara dituangkan dalam Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 17/KMK.0/2009 dan 11/3/KEP.GBI/2009 tentang Koordinasi Pengelolaan Uang negara. Keputusan Bersama ini terutama mengatur tentang jumlah Saldo Kas Minimal (SKM) Uang Negara rata – rata harian termasuk hari libur di Rekening Kas Umum Negara (RKUN) sebesar dua triliun rupiah untuk rekening rupiah dan satu juta dolar Amerika Serikat untuk rekening valas.

Keuangan negara dalam sub bidang kekayaan yang dipisahkan merupakan wilayah keuangan negara yang ditujukan untuk mendapatkan keuntungan usaha atau profit motive. Keuntungan usaha tersebut akan diserahkan kepada negara dan merupakan bagian dari pendapatan dalam APBN. Kekayaan negara yang dipisahkan dituangkan dalam penyertaan modal pemerintah pada BUMN ataupun BUMD. Pasal 24 ayat (1) dan (2) secara jelas mengatur hubungan keuangan negara antara pemerintah dan perusahaan negara dan daerah. Ayat (1) berbunyi “Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/ daerah”. Sedangkan ayat (2) berbunyi “Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD”. Dari kedua ayat ini jelas terlihat bahwa meskipun BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan namun tidak bisa terlepas dari mekanisme APBN/APBD.

Pasal 1 Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 16 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) Tentang Bentuk – Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang – Undang berbunyi “Kecuali dengan atau berdasarkan Undang-undang, ditetapkan lain, usaha-usaha Negara berbentuk Perusahaan dibedakan dalam:


  1. Perusahaan Jawatan disingkat PERJAN;
  2. Perusahaan Umum disingkat PERUM;
  3. Perusahaan Perseroan disingkat PERSERO.


Pembentukan Persero, Perum dan Perjan ini ditujukan untuk mengelola cabang – cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Namun dalam perkembangannya pembentukan BUMN tidak hanya bidang usaha yang menugasai hajat hidup orang banyak tetapi juga masuk ke bidang – bidang lain yang tidak diminati oleh swasta dalam hal ini BUMN yang dibentuk bertindak sebagai agent of development yang ditugaskan pemerintah untuk melaksanakan PSO dengan memperoleh imbalan subsidi dari pemerintah.

Penanaman modal pemerintah dalam BUMN sering disebut penyertaan modal negara (PMN). PMN yang dilakukan pemerintah meliputi:


  1. PMN dalam rangka pendirian BUMN, baik yang berbentuk Persero maupun Perum;
  2. PMN dalam rangka Penambahan Modal pada BUMN dan/atau Perum;
  3. PMN dalam rangka Public Service Obligation (PSO), meskipun tidak selalu PSO yang diserahkan Pemerintah kepada BUMN dilaksanakan dengan bentuk PMN, karena peraturan perundangundangan memungkinkan dilakukannya PSO dengan cara memberikan konsepsi;
  4. PMN dalam rangka pengurangan Modal. Dana yang diperoleh dari pengurangan modal Pemerintah pada BUMN ini dapat digunakan sebagai pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara


Belakangan ini memang beberapa elemen masyarakat banyak yang mulai mempertanyakan dan mempertentangkan kembali apakah kekayaan negara yang dipisahkan masih masuk kedalam lingkup keuangan negara atau tidak. Pertentangan ini sebenarnya bisa dijawab dari dua perspektif. Pertama adalah ditinjau secara kuantitatif dari besarnya PMN yang telah disetorkan pemerintah kepada kurang lebih 142 BUMN. Saat ini PMN telah menyentuh nilai lebih dari Rp320 triliun, nilai yang sangat fantastis untuk negara Indonesia yang mempunyai besaran Produk Domestik Bruto (PDB) menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) atas dasar harga berlaku pada Triwulan I-2013 sebesar Rp2.146,4 triliun, jadi jika dibandingkan dengan PDB, PMN pemerintah ke BUMN lebih kurang 14,91%. Dari rasio dan besarnya PMN di BUMN ini seharusnya tidak alasan lagi bagi BUMN untuk tidak masuk kedalam lingkup keuangan negara. Kedua ditinjau dari perspektif undang – undang atau regulasi pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan (3) merupakan pijakan yang paling fundamental, meskipun tidak semua BUMN mengelola cabang – cabang produksi yang penting bagi negara dan mengeksplorasi kekayaan alam namun keberadaan BUMN juga menjadi keterwakilan pemerintah/negara dalam mengelola kekayaan alam dan cabang – cabang produksi penting tersebut.

Keterlibatan pemerintah dalam operasional bisnis BUMN ternyata tidak berhenti pada berapa besar PMN yang telah disetorkan, namun juga bisa berbentuk subsidi dan bantuan kepada BUMN untuk melaksanakan PSO dan yang lebih hebat lagi adalah bantuan keuangan kepada BUMN yang terganggu likuiditasnya akibat kerugian dan ketidakefiseinan operasional bisnis.

Subsidi adalah bentuk bantuan keuangan yang diberikan kepada bisnis atau sektor ekonomi untuk menjaga kelangsungan produksi atas suatu komoditas yang biasanya dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Subsidi yang telah diberikan oleh pemerintah melalui BUMN terdiri dari:


  1. Subsidi pangan program raskin dan subsidi biaya perawatan beras yang diberikan melalui Perum Bulog
  2. Subsidi jenis bahan bakar minyak (BBM) tertentu dan liquide petroleum gas (LPG) 3 kg melalui PT Pertamina (Persero)
  3. Subsidi listrik melalui PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)
  4. Subsidi pupuk dan penyaluran pupuk bersubsidi yang diberikan melalui BUMN yang memproduksi pupuk seperti PT Pupuk Sriwijaya, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur dan PT Pupuk Iskandar Muda
  5. Subsidi benih melalui PT Sang Hyang Seri
  6. Pelaksanaan PSO bidang pos melalui PT Pos Indonesia
  7. Pelaksanaan PSO bidang angkutan laut kelas ekonomi melalui PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni)
  8. Pelaksanaan PSO bidang angkutan kereta api kelas ekonomi melalui PT Kereta Api Indonesia (KAI)


Secara total subsidi yang telah disalurkan pemerintah baik melalui BUMN ataupun melalui badan/instansi lain dalam kurun waktu lima tahun terakhir dari tahun 2008 sampai dengan 2012 berdasarkan laporan keuangan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat nilainya tidak kurang telah mencapai Rp1.247,87 triliun. Pada tahun 2008 pemerintah mengeluarkan subsidi sebesar Rp275,29 triliun dan terjadi penurunan sebesar 50% di tahun 2009 menjadi sebesar Rp138,08 triliun. Seiring dengan fluktuasi harga minyak dunia tahun 2010 pemerintah meningkatkan lagi pengeluaran subsidinya menjadi sebesar Rp192,71 triliun atau naik sebesar 40% dari tahun 2009. Kondisi yang sama juga terjadi pada tahun – tahun berikutnya, pemerintah meningkatkan pengeluaran subsidi menjadi Rp295,37 triliun pada tahun 2011 atau meningkat 53% dari tahun sebelumnya dan pada tahun 2012 pengeluaran subsidi pemerintah sebesar Rp346,42 triliun atau meningkat 17% dari tahun 2011. Jika memperhatikan peningkatan nilai subsidi pemerintah dalam kurun waktu tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 tersebut, maka secara rata – rata pengikatan belanja subsidi pemerintah per tahunnya meningkat sebesar 15%.

Penjabaran keuangan negara dalam sub bidang kekayaan negara yang dipisahkan diatas adalah hanya sebagian dari sekian banyaknya keterlibatan pemerintah dalam bisnis BUMN. Baik PMN maupun subsidi, keduanya sama – sama memberikan gambaran atas terjadinya perpindahahan arus kas dari pemerintah kepada BUMN. Jika eksplorasi ini dilakukan pada periode waktu yang lebih panjang dan ditambah dengan case lain misalnya suntikan dana segar yang diberikan pemerintah agar BUMN tetap dapat lebih likuid dan beroperasi lebih lama, maka akan semakin besar dan semakin fantastis nilai arus kas pemerintah yang dimasukkan ke BUMN. Meningat besarnya dana pemerintah yang telah masuk ke BUMN, maka sudah seharusnya pengendalian pemerintah kepada BUMN juga besar, sehingga potensi kerugian negara yang disebabkan oleh BUMN dapat diminimalisir. Jika kita menyetujui BUMN tidak masuk kedalam lingkup keuangan negara maka akan terjadi pelemahan pengendalian pemerintah terhadap BUMN dalam rangka mengamankan keuangan negara yang sudah masuk dan bisa dibayangkan berapa besar kerugian keuangan negara yang akan terjadi.

Pimpinan Rapat dan Anggota Senat Khusus terbuka, Dosen, Wisudawan/wati dan Bapak, Ibu Hadirin Sekalian

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menerangkan tentang asas umum pengelolaan keuangan daerah. Asas – asas tersebut terdiri dari tertib, taat pada peraturan perundangan – undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Sejalan dengan pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan melalui mekanisme APBN, pengelolaan keuangan daerah juga dilakukan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD.

Posisi pemerintah pusat dalam pengelolaan keuangan masih menurut PP 58/2005 pada pasal 123 adalah sebagai pembinaan dan pengawasan yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Namun jika ditimbang lebih jauh porsi pemerintah dalam pembinaan jauh lebih besar dibandingkan dengan fungsi pengawasan. Dalam pasal lainnya bahkan pemerintah pusat diamanahkan untuk membuat pedoman – pedoman, memberikan supervisi, pelatihan dan konsultasi kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD). Fungsi pengawasan sesungguhnya dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di masing – masing daerah. Secara teknis pengelolaan keuangan daerah diatur lebih jauh oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah dirubah oleh Permendagri Nomor 59 Tahun 2007.

Amanat UUD 1945 adalah memberikan otonomi seluas – luasnya kepada daerah namun masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Desentralisasi sudah menjadi kebutuhan universal bagi negara – negara di dunia ini bahkan dengan desentralisasi beberapa negara dapat mengendalikan stabilitas politiknya. Ketidakstabilan politik dan keamanan kerap terjadi pada negara yang dibangun dari berbagai etnis ataupun suku. Kelompok yang minoritas biasanya akan merasa kurang aman dan nyaman dan juga tidak terlepas dari kekhawatiran akan ditindas oleh kelompok mayoritas sehingga kelompok minoritas akan meminta perlakuan khusus untuk mengurus kehidupannya sendiri.

Desentralisasi juga ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan aktivitas ekonomi di suatu wilayah. Individu cenderung memilih tempat tinggal yang dapat memberikan kesejahteraaan baginya serta kemudahan pelayanan – pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah setempat. Desentralisasi diharapkan mendekatkan pemerintahan dengan rakyatnya, hal ini akan berdampak pada lebih cepatnya pengindentifikasian kebutuhan masyarakat lokal oleh Pemda sehingga pengambilan keputusan untuk menyelesaikan permasalahan lokal dapat segera dilakuakan dan akhirnya, masyarakat akan menikmati layanan publik yang lebih baik terutama untuk layanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Menurut Brodjonegoro (2009), pelayanan publik yang lebih baik akan membuat masyarakat Indonesia lebih produktif dan berkontribusi lebih besar kepada percepatan perbaikan kondisi perekonomian nasional.

Otonomi daerah di bidang keuangan direfleksikan dalam desentralisasi fiskal. Dalam desentralisasi fiskal daerah dapat mengatur dirinya sendiri dalam rangka mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan melaksanakan belanja operasional maupun modal. Dalam hubungan keuangan pusat dan daerah, fungsi alokasi Pemda merupakan elemen dari keuangan negara yang diserahkan sepenuhnya kepada Pemda untuk dikelola dalam bentuk dana desentralisasi atau transfer ke daerah. Sedangkan fungsi distribusi dan stabilisasi masih dilaksanakan oleh pemerintah pusat dalam bentuk dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan.

Didalam dana desentralisasi, hubungannya jelas sekali terlihat dalam APBN maupun APBD. Dalam APBN dana desentralisasi merupakan bagian dari belanja negara yang dicatat dalam bentuk transfer kepada ke daerah. Sedangkan dalam APBD dicatat sebagai pendapatan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Transfer ke daerah dibagi kedalam dua kelompok dana perimbangan dan dana otonomi khusus dan penyesuaian. Dana perimbangan terdiri dari:


  1. Dana bagi hasil (DBH) merupakan pembagian penerimaan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan persentase tertentu didasarkan daerah penghasil (by origin). Bagi hasil penerimaan tersebut terdiri dari bagi hasil penerimaan yang berasal dari pajak dan sumber daya alam (SDA).
  2. Dana alokasi umum (DAU) yang diupayakan untuk menutup celah fiskal atau gap yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi potensi penerimaan daerahnya. Daerah yang mempunyai kemampuan finansial relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar, sebaliknya daerah yang mempunyai kemampuan finansial relatif besar akan memperoleh DAU yang relatif lebih kecil.
  3. Dana alokasi khusus (DAK) merupakan dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan khusus, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, investasi baru, kawasan terpencil, kegiatan penghijauan dan reboisasi, saluran irigasi primer, atau kebutuhan yang merupakan komitmen nasional.


Dana otonomi khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus di daerah yang ditetapkan dalam Undang-Undang sebagai daerah otonomi khusus yang terdiri dari UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sedangkan dana penyesuaian adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang terdiri atas tunjangan profesi guru pegawai negeri sipil daerah, dana tambahan penghasilan guru pegawai negeri sipil daerah, bantuan operasional sekolah (BOS), dan dana insentif daerah.

Berdasarkan laporan keuangan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat transfer ke daerah dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya kebutuhan daerah. Rata – rata peningkatan transfer ke daerah pada periode tahun 2008 sampai dengan 2012 per tahunnya sebesar 13,43%. Total transfer pemerintah pusat kepada daerah dalam kurun waktu tersebut adalah sebesar Rp1.838,79 triliun, dengan rincian tahun 2008 sebesar Rp292,44 triliun, tahun 2009 sebesar Rp306,59 triliun atau naik sebesar 4,84% dari tahun 2008. Kenaikan transfer daerah meningkat yang cukup besar terjadi pada tahun 2010 sebesar 12,44% menjadi Rp344,73 triliun. Peningkatan transfer daerah di tahun 2011 merupakan yang tertinggi atau terjadi peningkatan sebesar 19,9% dari tahun 2010 sehingga nilai transfer pemerintah pusat ke daerah menjadi Rp413,32 triliun. Meskipun peningkatannya sedikit menurun di tahun 2012 menjadi 16,55% namun nilai transfer pemerintah pusat ke daerah secara moneter bertambah menjadi Rp481,71 triliun. Rincian besarnya nilai transfer pemerintah pusat ke daerah dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Transfer ke Daerah(dalam triliun Rupiah)
Tahun

2012
2011
2010
2009
2008

Dana Perimbangan

Dana Bagi Hasil
111,54
98,91
92,18
76,13
78,42

Dana Alokasi Umum
273,81
225,53
203,57
184,41
179,51

Dana Alokasi Khusus
25,94
24,80
20,96
24,71
20,79

Total Dana Perimbangan
411,29
349,24
316,71
285,25
278,72

Dana Otsus & Penyesuaian

Dana Otonomi Khusus
11,95
10,42
9,10
9,53
7,51

Dana Penyesuaian
58,47
53,66
18,92
11,81
6,21

Total Dana Otsus dan Penyesuaian
70,42
64,08
28,02
21,34
13,72

TOTAL TRANSFER KE DAERAH
481,71
413,32
344,73
306,59
292,44

Catatan tersendiri diberikan kepada dana otonomi khusus dan dana penyesuaian yang merupakan bagian dari total transfer pemerintah pusat ke daerah. Kenaikan kedua jenis dana tersebut bisa dikatakan fantastis terutama untuk dana penyesuaian yang kenaikan rata – rata per tahunnya mencapai 85,74%, sedangkan dana otonomi khusus kenaikan rata – rata per tahunnya sebesar 12,89%. Total dana otonomi khusus yang telah ditransfer pemerintah pusat kepada kedua provinsi Papua dan Aceh selama kurun waktu tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 berjumlah Rp48,51 triliun. Sedangkan total transfer pemerintah ke daerah untuk dana penyesuaian pada kurun waktu yang sama sebesar Rp149,07 triliun.

Dana yang tidak diserahkan kepada Pemda namun tetap merupakan bagian dari pembangunan daerah adalah dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah untuk melaksanakan kegiatan – kegiatan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat sebagai amanat dari otonomi daerah sehingga pendanaan untuk melaksanakan wewenang tersebut merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat yang berasal dari APBN. Pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur melalui dekonsentrasi antara lain fasilitasi kerjasama dan penyelesaian perselisihan antar Daerah di wilayah kerjanya, penciptaan dan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum, serta pembinaan penyelenggaraan tugas – tugas umum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah dan/atau desa dan bukan merupakan pelimpahan wewenang, karena merupakan penugasan dari Pemerintah Pusat, maka pendanaannya menjadi tanggungan APBN.

Pimpinan Rapat dan Anggota Senat Khusus terbuka, Dosen, Wisudawan/wati dan Bapak, Ibu Hadirin Sekalian

Sebagai tindak lanjut dalam proses pengawasan keuangan negara adalah dilakukannya pemeriksaan atas pertanggungjawaban pelaksanaan dan pengelolaan keuangan negara. BPK sebagi pemeriksa eksternal dari pemerintah mempunyai kedudukan yang amat pending dalam menjalankan amanah pasal 23E dan 23F UUD 1945. Pemeriksaan keuangan adalah penilaian yang independen, selektif, dan analistis terhadap program atau kegiatan yang telah dilaksanakan, dengan tujuan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan keekonomisan penggunaan sumber daya dan dana yang tersedia. Selain itu pemeriksaan juga bertujuan untuk mengenali aspek-aspek yang perlu diperbaiki dan mengevaluasi aspek-aspek tersebut secara mendalam, memaparkan perlunya perbaikan, serta mengemukakan saran-saran perbaikan yang perlu dilakukan.

Peranan BPK dalam pengawasan keuangan negara lebih banyak melekat pada fungsi pemeriksaan. Bagi BPK tujuan utama dilaksanakannya pemeriksaan adalah pelaksanaan mandat UU. Selain itu tujuan lain dari pemeriksaan yang dilakukan adalah peningkatan akuntabilitas instansi pemerintah, penyelamatan uang/ aset negara, penegakan hukum dalam pengelolaan keuangan negara, mendorong dilakukannya peningkatan kinerja dan kepadatuhan kepada auditee, pemantauan kerugian negara dan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan sebelumnya.

Sebelum melakukan pemeriksaan biasanya dilakukan penilaian terhadap sistem pengendalian internal (SPI) dari suatu instansi. Kuat atau lemahnya SPI merupakan indikator awal atas luas atau tidaknya lingkup pemeriksaan keuangan yang akan dilakukan oleh auditor terhadap auditee. Sebagai contoh hasil pemeriksaan semester I tahun 2012, sebagai manifestasi dari pelaksanaan amanah UU, BPK telah melakukan pemeriksaan laporan keuangan kepada 527 laporan keuangan, melakukan pemeriksaan kinerja kepada 14 instansi pusat dan daerah serta 81 pelaksanaan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang kesemuanya berasal dari lingkungan pemerintahan pusat maupun daerah dan BUMN/BUMD dan Badan lainnya.

Selain itu, dalam upaya untuk meningkatkan akuntabilitas keuangan instansi pemerintah, pemeriksaan yang telah dilakukan oleh BPK ternyata telah memacu instansi pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas laporan keuangannya. Hal ini bisa dibuktikan dari data pemberian opini BPK atas hasil pemeriksaan keuangan kepada auditee. Untuk laporan keuangan kementerian dan lembaga (LKKL), pada tahun 2007 hanya ada 15 entitas yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atau 19% dari total entitas yang di periksa. Opini WTP yang diberikan meningkat menjadi 34 entitas LKKL di tahun 2008 atau 41% dari total entitas yang diperiksa. Pada tahun 2009 WTP yang didapat meningkat secara proporsi menajdi 57% atau 44 entitas yang mendapat WTP. Peningkatan entitas yang mendapat WTP terus meningkat di tahun 2010 menjadi 52 entitas atau 63% dati total entitas yang diperiksa. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2011 entitas yang mendapatkan opini WTP meningkat menjadi 77% atau bertambah menjadi menjadi 66. Secara lengkap pemberian opini LKKL dapat dilihat dalam tabel dan grafik berikut ini:

Opini
2007
2008
2009
2010
2011

WTP
15
34
44
52
66

WDP
31
31
26
29
18

TW
1
0
0
0
0

TMP
33
18
8
2
2

Total
80
83
78
83
86

Namun untuk laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) perkembangannya tidak sebaik LKKL. Baik pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota, peningkatan kualitas laporan keuangan untuk mendapatkan opini WTP dengan rentang waktu 2006 sampai 2011 porsinya tidak ada yang melebihi 20%. Kondisi terparah adalah pemerintah kabupaten yang hanya mempunyai porsi kurang dari 5% yang mendapatkan opini WTP. Secara lengkap hasil pemeriksaan atas LKPD dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Opini
2007
2008
2009
2010
2011

Provinsi

WTP
1
0
1
6
10

WDP
21
24
24
22
19

TW
3
1
3
0
0

TMP
8
8
5
5
4

Total
33
33
33
33
33

Kabupaten

WTP
1
6
7
16
36

WDP
201
235
240
252
268

TW
45
26
37
23
6

TMP
103
96
95
103
85

Total
350
363
379
394
395

Kota

WTP
2
7
7
12
21

WDP
61
64
66
67
62

TW
11
4
8
3
2

TMP
12
14
11
11
7

Total
86
89
92
93
92

Filosofi Top of Form

Lambang Badan Pemeriksa Keuangan

Berbentuk bulat dan terdiri dari:


  1. Garuda Pancasila melambangkan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai Lembaga Tinggi Negara menjunjung tinggi Pancasila sebagai satu-satunya azas Negara Republik Indonesia serta berkewajiban melestarikan Pancasila dan UUD 1945.
  2. Motif Cakra melambangkan senjata yang dimiliki Batara Wisnu yang berfungsi sebagai senjata untuk menjaga ketentraman dunia dari angkara murka. Cakra merupakan bentuk utama Lambang Badan Pemeriksa Keuangan adalah sebagai alat Bangsa Indonesia untuk menjaga agar pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah selalu tertib, berdaya guna dan berhasil guna.
  3. Tiga buah mata tombak melambangkan bahwa ruang lingkup Badan Pemeriksa Keuangan meliputi :

    • Pemeriksaan atas penguasaan dan pengurusan keuangan serta ketaatan terhadap peraturan dan perundangan.
    • Pemeriksaan atas daya guna (efisiensi dan kehematan) ekonomi.
    • Pemeriksaan atas hasil program (efektivitas).

  4. Empat puluh tujuh buah lengkung-lengkung kecil pada sisi bagian luar Cakra melambangkan tahun kelahiran Badan Pemeriksa Keuangan yaitu tahun 1947.
  5. Bunga teratai berkelopak tujuh lembar yang menompang Cakra merupakan “Padmasana” yang berarti tahta bunga teratai melambangkan kesuburan lahir batin.
  6. Makna Cakra ditopang oleh bunga teratai tersebut ialah Badan Pemeriksa Keuangan sebagai Lembaga Tinggi Negara melaksanakan tugas konstitusionalnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan Lembaga-lembaga Tinggi lainnya, sehingga memberikan jaminan terhadap independensi dalam setiap kegiatan.
  7. Tujuh lembar kelopak bunga teratai juga melambangkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan tugasnya senantiasa berlandaskan pada kode etik Sapta Prasetya Jati dan Ikrar Pemeriksa yang masing-masing berjumlah tujuh butir.
  8. Warna Lambang
    Garuda Pancasila dan Cakra berwarna kuning emas, mempunyai makna keluhuran dan keagungan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai Lembaga Tinggi Negara, sedangkan warna putih pada kelopak bunga teratai mempunyai makna kesucian, kebersihan, dan kejujuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun