Pembentukan Persero, Perum dan Perjan ini ditujukan untuk mengelola cabang – cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Namun dalam perkembangannya pembentukan BUMN tidak hanya bidang usaha yang menugasai hajat hidup orang banyak tetapi juga masuk ke bidang – bidang lain yang tidak diminati oleh swasta dalam hal ini BUMN yang dibentuk bertindak sebagai agent of development yang ditugaskan pemerintah untuk melaksanakan PSO dengan memperoleh imbalan subsidi dari pemerintah.
Penanaman modal pemerintah dalam BUMN sering disebut penyertaan modal negara (PMN). PMN yang dilakukan pemerintah meliputi:
- PMN dalam rangka pendirian BUMN, baik yang berbentuk Persero maupun Perum;
- PMN dalam rangka Penambahan Modal pada BUMN dan/atau Perum;
- PMN dalam rangka Public Service Obligation (PSO), meskipun tidak selalu PSO yang diserahkan Pemerintah kepada BUMN dilaksanakan dengan bentuk PMN, karena peraturan perundangundangan memungkinkan dilakukannya PSO dengan cara memberikan konsepsi;
- PMN dalam rangka pengurangan Modal. Dana yang diperoleh dari pengurangan modal Pemerintah pada BUMN ini dapat digunakan sebagai pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Belakangan ini memang beberapa elemen masyarakat banyak yang mulai mempertanyakan dan mempertentangkan kembali apakah kekayaan negara yang dipisahkan masih masuk kedalam lingkup keuangan negara atau tidak. Pertentangan ini sebenarnya bisa dijawab dari dua perspektif. Pertama adalah ditinjau secara kuantitatif dari besarnya PMN yang telah disetorkan pemerintah kepada kurang lebih 142 BUMN. Saat ini PMN telah menyentuh nilai lebih dari Rp320 triliun, nilai yang sangat fantastis untuk negara Indonesia yang mempunyai besaran Produk Domestik Bruto (PDB) menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) atas dasar harga berlaku pada Triwulan I-2013 sebesar Rp2.146,4 triliun, jadi jika dibandingkan dengan PDB, PMN pemerintah ke BUMN lebih kurang 14,91%. Dari rasio dan besarnya PMN di BUMN ini seharusnya tidak alasan lagi bagi BUMN untuk tidak masuk kedalam lingkup keuangan negara. Kedua ditinjau dari perspektif undang – undang atau regulasi pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan (3) merupakan pijakan yang paling fundamental, meskipun tidak semua BUMN mengelola cabang – cabang produksi yang penting bagi negara dan mengeksplorasi kekayaan alam namun keberadaan BUMN juga menjadi keterwakilan pemerintah/negara dalam mengelola kekayaan alam dan cabang – cabang produksi penting tersebut.
Keterlibatan pemerintah dalam operasional bisnis BUMN ternyata tidak berhenti pada berapa besar PMN yang telah disetorkan, namun juga bisa berbentuk subsidi dan bantuan kepada BUMN untuk melaksanakan PSO dan yang lebih hebat lagi adalah bantuan keuangan kepada BUMN yang terganggu likuiditasnya akibat kerugian dan ketidakefiseinan operasional bisnis.
Subsidi adalah bentuk bantuan keuangan yang diberikan kepada bisnis atau sektor ekonomi untuk menjaga kelangsungan produksi atas suatu komoditas yang biasanya dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Subsidi yang telah diberikan oleh pemerintah melalui BUMN terdiri dari:
- Subsidi pangan program raskin dan subsidi biaya perawatan beras yang diberikan melalui Perum Bulog
- Subsidi jenis bahan bakar minyak (BBM) tertentu dan liquide petroleum gas (LPG) 3 kg melalui PT Pertamina (Persero)
- Subsidi listrik melalui PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)
- Subsidi pupuk dan penyaluran pupuk bersubsidi yang diberikan melalui BUMN yang memproduksi pupuk seperti PT Pupuk Sriwijaya, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur dan PT Pupuk Iskandar Muda
- Subsidi benih melalui PT Sang Hyang Seri
- Pelaksanaan PSO bidang pos melalui PT Pos Indonesia
- Pelaksanaan PSO bidang angkutan laut kelas ekonomi melalui PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni)
- Pelaksanaan PSO bidang angkutan kereta api kelas ekonomi melalui PT Kereta Api Indonesia (KAI)
Secara total subsidi yang telah disalurkan pemerintah baik melalui BUMN ataupun melalui badan/instansi lain dalam kurun waktu lima tahun terakhir dari tahun 2008 sampai dengan 2012 berdasarkan laporan keuangan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat nilainya tidak kurang telah mencapai Rp1.247,87 triliun. Pada tahun 2008 pemerintah mengeluarkan subsidi sebesar Rp275,29 triliun dan terjadi penurunan sebesar 50% di tahun 2009 menjadi sebesar Rp138,08 triliun. Seiring dengan fluktuasi harga minyak dunia tahun 2010 pemerintah meningkatkan lagi pengeluaran subsidinya menjadi sebesar Rp192,71 triliun atau naik sebesar 40% dari tahun 2009. Kondisi yang sama juga terjadi pada tahun – tahun berikutnya, pemerintah meningkatkan pengeluaran subsidi menjadi Rp295,37 triliun pada tahun 2011 atau meningkat 53% dari tahun sebelumnya dan pada tahun 2012 pengeluaran subsidi pemerintah sebesar Rp346,42 triliun atau meningkat 17% dari tahun 2011. Jika memperhatikan peningkatan nilai subsidi pemerintah dalam kurun waktu tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 tersebut, maka secara rata – rata pengikatan belanja subsidi pemerintah per tahunnya meningkat sebesar 15%.
Penjabaran keuangan negara dalam sub bidang kekayaan negara yang dipisahkan diatas adalah hanya sebagian dari sekian banyaknya keterlibatan pemerintah dalam bisnis BUMN. Baik PMN maupun subsidi, keduanya sama – sama memberikan gambaran atas terjadinya perpindahahan arus kas dari pemerintah kepada BUMN. Jika eksplorasi ini dilakukan pada periode waktu yang lebih panjang dan ditambah dengan case lain misalnya suntikan dana segar yang diberikan pemerintah agar BUMN tetap dapat lebih likuid dan beroperasi lebih lama, maka akan semakin besar dan semakin fantastis nilai arus kas pemerintah yang dimasukkan ke BUMN. Meningat besarnya dana pemerintah yang telah masuk ke BUMN, maka sudah seharusnya pengendalian pemerintah kepada BUMN juga besar, sehingga potensi kerugian negara yang disebabkan oleh BUMN dapat diminimalisir. Jika kita menyetujui BUMN tidak masuk kedalam lingkup keuangan negara maka akan terjadi pelemahan pengendalian pemerintah terhadap BUMN dalam rangka mengamankan keuangan negara yang sudah masuk dan bisa dibayangkan berapa besar kerugian keuangan negara yang akan terjadi.
Pimpinan Rapat dan Anggota Senat Khusus terbuka, Dosen, Wisudawan/wati dan Bapak, Ibu Hadirin Sekalian
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menerangkan tentang asas umum pengelolaan keuangan daerah. Asas – asas tersebut terdiri dari tertib, taat pada peraturan perundangan – undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Sejalan dengan pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan melalui mekanisme APBN, pengelolaan keuangan daerah juga dilakukan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD.
Posisi pemerintah pusat dalam pengelolaan keuangan masih menurut PP 58/2005 pada pasal 123 adalah sebagai pembinaan dan pengawasan yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Namun jika ditimbang lebih jauh porsi pemerintah dalam pembinaan jauh lebih besar dibandingkan dengan fungsi pengawasan. Dalam pasal lainnya bahkan pemerintah pusat diamanahkan untuk membuat pedoman – pedoman, memberikan supervisi, pelatihan dan konsultasi kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD). Fungsi pengawasan sesungguhnya dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di masing – masing daerah. Secara teknis pengelolaan keuangan daerah diatur lebih jauh oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah dirubah oleh Permendagri Nomor 59 Tahun 2007.
Amanat UUD 1945 adalah memberikan otonomi seluas – luasnya kepada daerah namun masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Desentralisasi sudah menjadi kebutuhan universal bagi negara – negara di dunia ini bahkan dengan desentralisasi beberapa negara dapat mengendalikan stabilitas politiknya. Ketidakstabilan politik dan keamanan kerap terjadi pada negara yang dibangun dari berbagai etnis ataupun suku. Kelompok yang minoritas biasanya akan merasa kurang aman dan nyaman dan juga tidak terlepas dari kekhawatiran akan ditindas oleh kelompok mayoritas sehingga kelompok minoritas akan meminta perlakuan khusus untuk mengurus kehidupannya sendiri.