Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Puasa, al-Qur'an dan Civilization Engineering (2)

31 Maret 2024   09:49 Diperbarui: 31 Maret 2024   09:49 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Azis Maloko

Al-Qur'an, Bulan Ramadan dan Puasa

Bulan Ramadhan tidak semata diidentikkan dengan syahr asy-shiyam karena di sana ada perintah untuk melaksanakan puasa. Ya, bulan Ramadhan adalah bulan di mana rukun Islam dan ajaran yang bernama puasa disyariatkan selama kurang-lebih satu bulan penuh. Itulah gambaran nyata yang terlihat ketika memasuki bulan Ramadhan dalam setiap tahun hijriah. 

Apalagi hal demikian juga diperkuat kembali dengan keterangan yang termaktub dalam al-Qur'an sebagai sumber utama persyariatan ibadah puasa. Di mana sudah mafhum bahwa puasa adalah sebuah kewajiban yang diperintahkan untuk dikerjakan dalam bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah/183-5).

Akan tetapi, bulan Ramadhan juga diidentikkan dengan syahr al-Qur'an. Pasalnya, al-Qur'an diturunkan dalam bulan Ramadhan, hatta tahapan proses turunnya dari Allah ke Lauh Mahfud lalu kemudian dari Lauh Mahfud ke Bait al-izzah hingga terakhir dari bait al-izzah kepada Nabi Muhammad dalam pelbagai bentuknya selama kurang lebih 23 tahun lamanya. Bahkan kitab-kitab suci agama samawi lainnya pun disinyalir turun dalam bulan Ramadhan sebagaimana hadis dari seorang Wasilah bin al-Aqsa' yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dihasankan oleh Imam as-Suyuti. Sehingga, selain terkenal sebagai bulan al-Qur'an juga sebagai bulan kitab-kitab samawi.

Banyak ayat-ayat al-Qur'an (begitu pula hadis tentunya) yang menjelaskan bagaimana "hubungan intim" antara bulan Ramadhan dengan al-Qur'an. Misalnya, QS al-Baqarah/185 yang menegaskan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan al-Qur'an. Begitu pula QS al-Dukhan/3, QS al-Qadr/1 dan QS al-Buruj/3 juga menginformasikan hal yang sama terkait "hubungan intim" al-Qur'an dengan bulan Ramadhan. Ayat-ayat tersebut menjelaskan sebuah peristiwa terkait turunnya al-Qur'an sekaligus hubungannya dengan bulan Ramadhan. Dapat diandaikan bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan pilihan dalam menurunkan al-Qur'an

Nampaknya pahaman demikian sudah termasuk pahaman umum berkembang di tengah-tengah masyarakat muslim dunia. Tidak ada salahnya. Sebab, fakta teologis menginformasikan demikian halnya. Bahkan peristiwa demikian, khususnya peristiwa nuzul al-Qur'an dari Bait al-izzah kepada Nabi, merupakan peristiwa "historis", hadir dalam settingan dimensi ruang dan waktu yang dilakoni umat manusia. Sehingga, peristiwa demikian bukan semata menjadi fakta teologis, akan tetapi juga fakta empiris dan historis yang dapat dengan mudah divalidasi kebenarannya. Apatah lagi peristiwa demikian juga turun disaksikan oleh banyak manusia pada masa-masa itu.

Namun, perlu dikemukakan di sini bahwa bulan Ramadhan sebagai bulan di mana al-Qur'an diturunkan itu belum ada pensyariatan ibadah puasa yang juga menjadi bagian integral dari bulan Ramadhan itu. Artinya, terdapat jarak yang terbilang begitu jauh antar proses nuzul al-Qur'an dengan pensyariatan ibadah puasa di dalam bulan Ramadhan. Karena, seperti diketahui secara bersama berdasarkan tarikh tasyri', pensyariatan ibadah puasa dalam Islam baru terjadi ketika proses hijrah dari Makkah ke Madinah. Itupun masih ada jaraknya, beberapa waktu kemudian baru disyariatkan ibadah puasa Ramadhan bagi umat Islam. Kurang lebih 10 Syahban 2 H.

Jika dihitung mundur kebelakang untuk mengetahui jarak antara waktu pensyariatan puasa Ramadhan pada 10 Syahban 2 H dengan peristiwa nuzul al-Qur'an untuk pertama kalinya pada tahun 611 M atau 13 SH, maka jaraknya kurang lebih 14 sampai 15 tahun baru kemudian Allah menurunkan ayat al-Qur'an yang mengatur hal ihwal terkait dengan pensyariatan puasa Ramadhan. Hal demikian dikarenakan ayat-ayat al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur dalam dua periode, Makkah dan Madinah. Pada awal-awal turunnya al-Qur'an belum ada ayat tentang pensyariatan puasa Ramadhan. Ya, karena pensyariatan puasa Ramadhan baru terjadi di Madinah.

Meskipun bulan Ramadhan saat Allah turunkan al-Qur'an belum ada dan atau belum langsung disyariatkan puasa, tidak mengurangi keutamaan dan keagungan bulan Ramadhan. Sebab, keutamaan dan keagungannya tidak semata dikarenakan di sana ada pensyariatan puasa Ramadhan, akan tetapi karena di sana terjadi sebuah peristiwa yang maha dahsyat dalam sejarah perjalanan kehidupan umat manusia, khususnya ketika terjadi masa-masa kekosongan utusan Allah, yakni peristiwa nuzul al-Qur'an. Dari peristiwa inilah lahir pelbagai pensyariatan ajaran Islam di dalam bulan Ramadhan, di antaranya pensyariatan puasa, tarawih, i'tikaf dan lainnya.

Al-Qur'an dan Civilization Engineering

Melihat runutan Nuzul al-Qur'an dan juga keseluruhan ayat-ayat al-Qur'an rasanya agak sulit untuk tidak mengatakan bahwa kehadiran al-Qur'an tidak dapat dipisahkan dari sebuah grand design Allah dalam rangka mengatur semesta manusia. Allah merencanakan sesuatu bagi semesta manusia melalui Kalam-Nya yang terdapat dalam al-Qur'an itu. Tentunya, rencana demikian tidak lepas dari Kemahasegalaan-Nya sebagai Tuhan semesta alam. Termasuk secara khusus tidak terlepas dari apa yang menjadi Ilmu dan Pengetahuan, Kekuasaan, Keadilan, Hikmah dan Kehendak-Nya. Dengannya rencana dan rekayasa kehidupan bagi makhluk-Nya dilakukan.

Sehingga, al-Qur'an tidak bisa dikatakan sebagai "teks mati" tanpa memberikan pengaruh apa-apa terhadap manusia dan ikhtiar membangun tatanan peradabannya. Pun juga al-Qur'an tidak bisa dibatasi dan atau dipisahkan dari ikhtiar membangun manusia sekaligus peradabannya. Apalagi kalau-kalau sampai mengandaikan bahwa al-Qur'an menjadi penyebab lahir dan berkembangnya kemunduran dan keterbelakangan manusia dan peradabannya. Karena, pelbagai pandangan (fallacy) yang diproduksi dalam membaca dan mendudukkan al-Qur'an tersebut bertentangan dengan teks al-Qur'an maupun konteks yang melingkupi al-Qur'an dalam pusaran sejarah.

Malahan pada kenyataannya al-Qur'an menjadi semacam katalis dan lokomotif lahirnya rekayasa peradaban (Islam) untuk tatanan kehidupan dunia pada umumnya dengan berangkat dari wilayah teritori kelahirannya. Makanya, banyak sekali riset yang mencoba mendudukkan al-Qur'an dengan peradaban. Ada yang mengatakan al-Qur'an sebagai basis fundament peradaban (Islam). Ada yang mengatakan al-Qur'an sebagai Aspira dan inspirasi kerja-kerja peradaban. Ada pula yang mengatakan bahwa al-Qur'an sebagai sumber peradaban. Ada yang mengatakan al-Qur'an sebagai pedoman, paradigma dan motor penggerak peradaban dunia.

Pelbagai tesis tentang relasi-hubungan al-Qur'an dengan peradaban demikian tidak ada yang salah dan tidak pula berlebihan dalam menglorifikasi al-Qur'an. Sebab, tesis-tesis demikian dibangun di atas argumentasi masing-masing yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik-intelektual. Apalagi tesis-tesis semacam itu sepintas lalu juga sejalan dengan teks bahasa agama dan konteks kehadiran al-Qur'an dalam settingan dimensi ruang dan waktu, semenjak pertama kalinya mengudara di semenanjung kota Makkah, tepatnya di Gua Hira, hingga dengan sekarang ini. Sehingga, diperlukan namanya proses saling memahami dan menghargai di dalamnya.

Terdapat beberapa argumentasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan relasi al-Qur'an dengan peradaban, baik dalam kerangka rekayasa, konstruksi maupun lainnya. Namun, sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu hakikat substantif dibalik dari penggunaan kata rekayasa peradaban (civilization engineering) dalam kaitannya dengan al-Qur'an. Pertama adalah bahwa frase rekayasa peradaban yang dimaksud bukan saja hanya terjadi ketika al-Qur'an turun dan berakhir ketika Nabi meninggal. Akan tetapi, rekayasa peradaban dimaksud bersifat kontinyu. Artinya, selama al-Qur'annya masih ada, maka selama itu pula proses rekayasa peradaban tetap berjalan.

Entah, proses rekayasa peradaban dimaksud nantinya bersifat konstruktif, pengembangan, pembaharuan (tajdid), restorasi, reaktualisasi, revitalisasi dan lainnya. Intinya, selama ada al-Qur'an di tangan umat Islam, maka selama itu proses rekayasa peradaban terus berlanjut hingga menemukan bentuknya dalam rangka memberikan solusi bagi kehidupan umat manusia. Karena, proses rekayasa peradaban dimaksud terkait erat dengan prinsip dan watak-karakteristik ajaran Islam pada umumnya, yakni shalih li kulli zaman wa makan (selalu relevan dengan ruang dan waktu). Prinsip dan watak-karakteristik ini akan berfungsi dengan baik manakala ada rekayasa peradaban di sana.

Pada konteks demikian, perlu juga dijelaskan terlebih dahulu hal ihwal terkait peradaban. Bahwa peradaban dimaksud bukan peradaban Barat (western civilization) yang cenderung liberal-sekularistik. Juga tentunya peradaban dimaksud bukan peradaban agama lainnya. Bukan pula peradaban kaum ateistik dan deistik, agnostik, shofistik, relativistik, nihilistik dan kawan-kawannya. Akan tetapi, peradaban yang dimaksud adalah peradaban Islam yang mengacu secara langsung pada sumber ajarannya, yakni al-Qur'an dan hadis. Di sana konstruksi peradaban berwajah Islam dirumuskan, dirintis dan dibangun hingga menjadi sebuah peradaban raksasa.

Ternyata konsep dasar terkait dengan peradaban memang sangat erat kaitannya dengan agama Islam yang memiliki kitab yang bernama al-Qur'an itu. Kalau menggunakan kata peradaban dalam bahasa Indonesia maupun kata culture dan civilization dalam bahasa Asing, maka sulit menemukan benang merahnya. Meskipun kata-kata tersebut diandaikan hanya "kata lain" atau sinonim saja. Namun, ada sisi-sisi perbedaan di dalamnya. Misalnya, kata peradaban dalam bahasa Indonesia berakar dari kata adab yang notabene berasal dari bahasa Arab. Akan tetapi, cakupan adab dalam Islam tidak menjadi bagian dari pengertian peradaban dalam bahasa Indonesia.

Misalnya, pengertian peradaban dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di situ peradaban diandaikan sebagai sebuah kemajuan (kecerdasan dan kebudayaan) yang bersifat lahir dan batin serta hal-hal yang bertalian dengan sopan santun, budi pekerti, budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa. Pengertian demikian tentunya masih belum sepenuhnya merepresentasikan konsep adab dalam Islam itu sendiri. Di mana konsep adab dalam Islam tidak semata hanya berbicara tentang kecerdasan (kognitif), kebudayaan, sopan santun dan kemajuan. Akan tetapi, juga berkaitan dengan ilmu, iman dan amal. Ketika ketiganya bersenyawa dalam diri, maka lahirlah keadaban itu.

Artinya, pengertian peradaban demikian juga belum merepresentasikan pengertian peradaban dalam Isam. Menariknya, meskipun kata peradaban dalam bahasa Indonesia berakar dari kata adab dalam bahasa Arab, namun rupanya bahasa Arabnya kata peradaban tidak diterjemahkan dengan adab, adabiyah dan lainnya. Malahan dalam pelbagai referensi ditemukan istilah hadharah, tsaqafah, 'umran dan tamaddun yang selalu digunakan untuk menjelaskan makna substantif dari peradaban dalam kaitannya dengan Islam. Sehingga, di situ bukan saja berbeda terminologi kebahasaan, akan tetapi juga terdapat perbedaan konsep juga di sana.

Di antara empat terminologi yang digunakan menjelaskan konsep peradaban dalam Islam, terminologi yang perlu diungkapkan dan dieksplorasi lebih jauh adalah terminologi tamaddun. Seperti dikatakan sebelumnya, terminologi tamaddun _sebagai sebuah terminologi dalam menjelaskan hakikat peradaban dalam Islam_ memiliki akar kata yang sama dengan al-dn (agama). Bahkan kata Madinah yang digunakan sebagai nama dan nomenklatur (baru) menggantikan nama dan nomenklatur Yasrib juga berakar dari kata al-dn. Dan sudah pasti kata Madinah itu memiliki keterkaitan dengan kata tamaddun. Karena, sama-sama berakar dari kata al-dn.

Mengacu pada perspektif demikian mau tidak mau harus dikatakan bahwa peradaban itu bagian dari agama Islam itu sendiri. Sementara kitab dan sumber utama ajaran agama Islam adalah al-Qur'an dan hadis. Maka, pengandaian bahwa al-Qur'an sebagai "kitab peradaban" dan atau peradaban bagian dari al-Qur'an adalah sebuah pengandaian yang logis-rasional. Logika kesimpulan demikian nantinya(bisa) diuji dan divalidasi lebih lanjut dengan argumentasi-argumentasi yang digunakan dalam menjelaskan hubungan al-Qur'an dengan rekayasa peradaban. Meskipun, argumentasi yang digunakan tidak terlepas dari logika kesimpulan demikian.

Pertama; al-Qur'an semenjak pertama kali turun sudah menekankan pentingnya instrumen peradaban, yakni perintah membaca (iqra'). Tentunya, perintah iqra' sangat terkait dengan konteks di mana al-Qur'an itu hadir. Di mana masyarakat Arab dan sekitarnya bahkan skala dunia berada pada sebuah tatanan peradaban yang bernama "peradaban jahiliah" dan "peradaban barbaria". Sehingga, melalui instrumen peradaban, perintah iqra', Nabi dan begitu pula umat manusia dituntut untuk melakukan pembacaan ulang secara kritis terhadap rancang bangun tatanan peradaban masyarakat Arab dan sekitarnya pada waktu itu untuk kemudian dilakukan rekayasa peradaban baru.

Tidak dapat disangsikan dan atau dipungkiri lagi bahwa salah satu instrumen dan pilar penting dalam merancang-bangun sebuah tatanan peradaban dunia, khususnya yang bercitarasa agama Islam karena ada transformasi nilai-nilai ajaran Islam di sana, adalah ilmu pengetahuan. Sementara itu, al-Qur'an sudah semenjak pertama kali menekankan pentingnya ilmu pengetahuan melalui teologi dan aktivitas membaca. Di mana iqra' merupakan basis fundament dalam pelbagai macam aktivitas ilmu pengetahuan. Tidak akan tumbuh dan berkembang tradisi hingga institusi ilmu pengetahuan-pendidikan manakala di sana tidak ada namanya aktivitas iqra'.

Makanya, berbicara soal teologi dan aktivitas iqra' sudah bareng tentu akan berbicara pula tentang ilmu pengetahuan, baik pada umumnya maupun secara khusus bertalian dengan ilmu agama. Dan, ketika berbicara tentang ilmu pengetahuan mau tidak mau juga harus berbicara tentang institusi pendidikan dalam pelbagai bentuk variannya. Sebab, institusi pendidikan merupakan locus sekaligus episentrum penting yang berperan melahirkan dan mengembangkan tradisi ilmu pengetahuan dengan pelbagai macam kemajuan dan capaiannya. Keterkaitan ketiganya sangat dengan mudah ditemu-jumpai dalam memori sejarah maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Saking pentingnya hal demikian, al-Qur'an tidak hanya berbicara tentang dalam frame iqra' saja. Terdapat banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang iqra', ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam bentuknya, baik berkaitan langsung dengan ilmu pengetahuan maupun berkait dengan hal ihwal lainnya yang memberikan stimulasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat lain tentang ilmu pengetahuan nyaris memiliki hubungan korelatif dengan ayat pertama kali turun, iqra'. Misalnya, ada pertanyaan kenapa Allah memerintahkan Nabi Muhammad membaca? Ada apa sih sebenarnya dengan aktivitas membaca itu sampai-sampai menjadi perintah?

Jawabannya sudah dijelaskan dalam al-Qur'an itu sendiri. Di antaranya adalah Allah melarang seseorang melakukan sesuatu tanpa ada ilmu tentangnya karena di sana ada kesadaran eskatalogis, telinga, pendengar dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya (QS al-Isra'/36). Lalu, di mana hubungannya? Dengan membaca seseorang dapat mengetahui segala sesuatu, khususnya terkait apa yang mesti dan tidak mesti dilakukan. Ketika seseorang diutus menjadi katalis dan lokomotif peradaban baru bagi umat manusia, maka terlebih dahulu memiliki ilmu pengetahuan. Membaca adalah termasuk salah satu cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Ketika orang sudah memiliki ilmu pengetahuan melalui aktivitas membaca misalnya, maka larangan dalam QS al-Isra'/36 menjadi tidak berlaku baginya. Tentunya, dengan catatan ilmu pengetahuan itu paralel dengan apa-apa yang hendak dilakukan. Misalnya, tidak boleh berdakwah jika tidak memiliki ilmu pengetahuan yang bertalian dengan dakwah. Namun, ketika orang bersangkutan sudah memiliki ilmu pengetahuan terkait, maka larangan tersebut berubah menjadi sebuah kewajiban yang harus dijalankan. Dengan kata lain, logika larangan demikian tidak bersifat mutlak berlaku dalam semua kondisi dan keadaan. Ia hanya berlaku dalam kondisi-kondisi tertentu saja.

Selain itu, terdapat pula ayat-ayat lain yang berbicara tentang pentingnya ilmu pengetahuan. Sebut saja QS al-Nahl/43 tentang pentingnya aktivitas bertanya pada orang berilmu manakala tidak tahu sebuah perkara; hal demikian karena dilarang untuk melakukan sesuatu tanpa ilmu (QS al-Isra/36) dan karena berbeda pula antara orang berilmu dengan yang tidak berilmu (QS al-Zumar/9), sebab tipologi orang berilmu dan beriman itulah nantinya akan diangkat derajatnya oleh Allah (QS al-Mujadalah/11). Dalam hadis dikatakan menuntut ilmu wajib bagi muslim dan muslimat (HR Ibnu Majah) dan kalau menginginkan dunia akhirat harus dengan ilmu (HR Muslim)

Menariknya, pada ayat pertama  turun, QS al-'Alaq/1-5, terdapat konsep ilmu dalam Islam. Di situ dijelaskan dua aspek penting, yaitu aspek kesadaran epistemologis yang ditandai dengan kata iqra dan allamal-insna m lam ya'lam serta kesadaran spiritual yang ditandai dengan kata bismirabbik. Artinya, aktivitas membaca dalam konsep Islam harus dibangun di atas dan juga diorientasikan untuk bismirabbik. Dengan kata lain, aktivitas membaca (maupun peradaban nantinya) tidak boleh jauh dari Allah, harus dengan menyebut nama Allah dan nanti juga tetap menyebut nama Allah. Makanya, tidak ada ceritanya dalam Islam orang berilmu, tapi tidak beriman dan beramal.

Kedua; rupa-rupanya al-Qur'an bukan hanya menekankan pentingnya iqra', ilmu dan pendidikan dalam melakukan rekayasa peradaban. Akan tetapi, juga ternyata di sana al-Qur'an banyak menyajikan kurikulum sejarah peradaban umat terdahulu dalam kerangka kisah-kisah epik dan edukatif. Misalnya, peradaban Ratu Balqis yang hadir dalam masa kenabian Sulaiman. Peradaban Namrud pada masa Nabi Ibrahim. Peradaban Jalut pada masa Nabi Daud. Begitu pula peradaban Fir'aun, Haman dan Qorun pada masa Nabi Musa. Bahkan al-Qur'an juga menyebutkan beberapa peradaban kuno lainnya, misalnya peradaban Romawi dan Persia.

Tentunya, penyebutan kisah-kisah umat terdahulu beserta rancang bangun peradabannya bukan tanpa maksud apa-apa bagi umat manusia. Seperti bab "qishash al-Qur'an" dalam studi ilmu al-Qur'an pada umumnya, keberadaan kisah dalam al-Qur'an memiliki tujuan, fungsi dan hikmah di antaranya adalah memantik daya berpikir umat manusia; (karena) menjadi pelajaran bagi manusia yang berpikir; dapat meneguhkan hati dan menarik perhatian para pembaca dan pendengarnya. Sehingga, keberadaan kisah-kisah tentang peradaban umat terdahulu itu memberikan edukasi yang sangat berharga dan berarti sekali bagi umat manusia.

Perihal kisah tersebut terdapat beberapa hikmah dan oelajar penting untuk dikemukakan. Pertama sekali al-Qur'an hendak menginformasikan kepada umat manusia belakangan terkait dengan sejarah peradaban umat sebelumnya untuk diambil pelajar bahwa tidak apa-apa membangun sebuah tatanan peradaban yang megah dan dahsyat asalnya tetap berada pada koridor yang ditetapkan Tuhan sekalian alam. Tidak boleh dengan capaian tingkat peradaban yang dibangun membuat seseorang sampai lupa eksistensinya hingga mendaki dirinya sebagai "rabb paling tinggi" (ana rabbukumul a'la), melakukan kezaliman, perang, genosida dan seterusnya.

Dengan kata lain, informasi al-Qur'an tentang peristiwa masa lampau berkaitan dengan peradaban dalam rangka untuk diketahui dan diyakini sekaligus diingatkan dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalamnya serta memberikan edukasi dan motivasi agar membangun sebuah peradaban pada masa-masa yang akan datang. Hikmah dan pelajaran inilah nantinya pada sejarah-sejarah awal Islam hingga masa dinasti-dinasti Islam lahir dan berkembangnya peradaban Islam dengan begitu megah dan pesatnya. Karena di sana umat Islam telah disuntik pengetahuan dan spirit untuk membangun peradaban dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi semesta.

Ketiga; sebelum al-Qur'an turun umat manusia, khususnya di semenanjung Jazirah Arabia, hidup dalam peradaban jahiliah dan barbaria. Di sana terjadi pelbagai penyimpangan dalam hidup dan kehidupannya, baik berkaitan dengan agama (keyakinan dan peribadatannya) berupa menyembah berhala maupun secara khusus berkaitan dengan relasi kehidupan sosial antar entitas masyarakat tertentu semisal perempuan dan masyarakat yang memiliki strata sosial rendah akan diperlakukan secara diskriminatif, terjadi perang antar kabilah bahkan ada praktek jual-beli perempuan, pewarisan perempuan dan pertukaran pasangan.

Selain itu, semesta Arab Jahiliah juga diliputi oleh pelbagai macam persoalan lainnya semisal terjadinya dekadensi dan kemerosotan moral, kesewenang-wenangan kekuasaan, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Masyarakat Arab Jahiliah hidup dalam pelbagai bayang-bayang penyimpangan mulai kebiasaan minum-minuman keras, berjudi, pergaulan bebas hingga praktek seks bebas. Kondisi demikian nyaris sesuai dengan kejahilian yang meliputi kehidupannya. Masyarakat Arab Jahiliah benar-benar hidup dalam kabut gelap dan pekat kejahiliaan hingga melakukan pelbagai penyimpangan dalam banyak hal dan aspek kehidupannya.

Ketika Islam datang ditandai dengan turunnya ayat pertama dan seterusnya, kondisi peradaban masyarakat Arab Jahiliah mulai sedikit demi sedikit mengalami sentuhan lembut dari risalah al-Islam. Proses rekayasa peradaban Islam mulai berjalan dan bekerja dengan cara mengkritik, mengoreksi, memperbaiki dan menyempurnakan tata peradaban yang sudah ada. QS al-'alaq/1-5 memberikan kontribusi besar bagi kerja-kerja rekayasa peradaban masyarakat Arab Jahiliah berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Rekayasa peradaban berbasiskan teologi membaca dan kebergantungan kepada Tuhan. Meskipun pada awal fajar keislaman, keberterimaan masih terbatas.

Rekayasa peradaban Islam pada awal-awal fajar keislaman terbilang berjalan dengan baik, meski diperhadapkan dengan pelbagai tantangan dan rintangan silih berganti di dalamnya. Rekayasa peradaban bermula dari melakukan transformasi peradaban kepada lingkaran keluarga terdekat (yang dikenal dengan metode dakwah sirriyah)  lalu kemudian melakukan transformasi peradaban secara terang-terangan (dakwah jahriyah). Salah satu wujud rekayasa peradaban awal yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw adalah membangun institusi pendidikan yang bernama Bait al-Arqam untuk menyiapkan SDM dalam rangka melakukan rekayasa peradaban selanjutnya.

Puncaknya rekayasa peradaban dilakukan di kota Madinah setelah proses hijrah dari Makkah. Di kota Makkah rekayasa peradaban tidak lagi bersifat kultural sebagaimana halnya berlangsung di kota Makkah selama kurang lebih 13 tahun itu. Di Madinah, Nabi beserta sahabatnya dari kalangan Muhajirin maupun Anshor merumuskan peta jalan rekayasa peradaban Islam ke depannya. Maka, lahirnya sebuah rekayasa peradaban yang bernama kota Madinah dengan Piagam Madinahnya. Pembangunan fisik peradaban pun gencar dilakukan bersamaan dengan pembangunan iman dan ketakwaan. Lembaga-lembaga pemerintahan dan pendidikan pun terbentuk.

Piagam Madinah merupakan sebuah rekayasa peradaban yang terbilang begitu visioner dan progresif. Piagam Madinah merupakan konstitusi tertulis dan modern (pertama) dalam sejarah ketatanegaraan. Terdiri dari kurang lebih 47 Pasal yang mengatur sistem perpolitikan, keamanan, kebebasan beragama, toleransi, kesetaraan di muka hukum, perdamaian dan pertahanan dalam kehidupan bernegara. Termasuk mengatur relasi umat agama lain dalam sistem pemerintahan. Di antara impactnya adalah  terjadilah rekayasa peradaban terhadap Makkah dalam bentuk melakukan Fath al-Makkah, sehingga Makkah berubah wajah menjadi peradaban Islam.

Setelah itu rekayasa peradaban berlanjut pada masa Khalifah Al-Rasyidin, Daulah Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah. Pada dua dinasti Islam inilah boleh dikatakan sebagai puncaknya kemajuan dan kejayaan peradaban Islam. Karena, pada masa-masa itu, peradaban Islam maju dan jaya dari pelbagai aspeknya. Di sana lahir pelbagai lembaga pemerintah modern lengkap dengan institusi-institusinya semacam trias politica (meskipun akarnya sudah ada sebelum-sebelumnya). Di sana pula lahir institusi pendidikan beserta deretan ulama dan ilmuan terkemuka, perpustakaan megah, ilmu pengetahuan, temuan-temuan baru di bidang sains dan teknologi dan lainnya.

Tidak kalah penting juga pada masa-masa itu lahir pula Rumah Sakit, lembaga-lembaga pengembangan ekonomi umat dan seterusnya. Karena, puncak kemajuan dan kejayaan peradaban Islam inilah dalam catatan sejarah bangsa Barat sampai berguru dan berhutang pada peradaban Islam. Di mana bangsa Barat belajar banyak pada kemajuan dan kejayaan sains dan teknologi dalam peradaban Islam. Di sana pula terjadi proyek besar-besaran bernama penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Asing untuk dijadikan rujukan dalam pengembangan sains dan teknologinya. Sebut saja kitab asy-syifa karya Ibnu Sina.

Tahapan-tahapan Civilization Engineering 

Peradaban demikian merupakan hasil kerja yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Tentunya, bukan manusia saja yang terlibat di dalamnya. Banyak unsur dan element lainnya juga ikut terlibat dalam kerja-kerja peradaban. Bahkan manusia yang menggerakkan dan membangun sebuah perubahan menuju tatanan peradaban suatu masyarakat dan bangsa juga bukan tunggal dan seorang diri alias nafsi-nafsi. Artinya, dalam melakukan perubahan, apa pun itu, manusia tidak melakukan secara individu seorang diri tanpa melibatkan manusia-manusia lainnya hatta manusia bersangkutan memiliki kekuatan super power sekalipun.

Meskipun, tidak dinafikan bahwa pada tahapan proses awalnya ada kalanya digerakkan oleh individu-individu tertentu yang memiliki visi-misi dan power. Namun, tetap saja proses demikian tidak dapat dipisahkan dengan realitas kehidupan di sekitarnya. Paling tidak individu yang menggerakkan perubahan terinspirasi melalui proses panjang pencarian jati dirinya dalam pelbagai segmentasi, sebut saja di antaranya segmentasi yang bernama "tazkiyah al-nafs" dan "pencerahan akal". Pada kenyataannya gerakan perubahan dan peradaban kadang berawal mula dari keduanya, yakni terjadi proses "tazkiyah al-nafs" dan "pencerahan akal" bagi tokoh penggeraknya.

Segmentasi "tazkiyah al-nafs" adalah sebuah tahapan proses "pendakian spiritual" untuk mengumpulkan kekuatan sekaligus mendapat aspirasi dan inspirasi dalam melakukan kerja-kerja peradaban yang berskala dan berdampak besar-luas. Segmentasi tahapan peradaban ini bisa dijumpai dan atau dilihat secara langsung pada profile sosok Nabi Muhammad saw sebagai pembawa risalah al-Islam sekaligus dinobatkan sebagai tokoh kelas wahid yang paling berpengaruh di dunia menurut tesis seorang Michael Hart dalam magnum opusnya yang berjudul "The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History" (100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia).

Tahapan demikian dalam catatan sejarah dan keilmuan Islam disebut-kenal dengan istilah "tahannus", yaitu sebuah proses pengasingan diri dari hiruk-pikuk dan kebisingan dunia dalam kerangka "perjalanan-pendakian spiritual" untuk melakukan uzlah, khalwat, tafakkur, dzikir dan istighfar dalam kesunyian paling senyap. Dari sana, dari proses "tahannus", nantinya akan melahirkan kekuatan semesta jiwa, termasuk melahirkan aspirasi dan inspirasi dalam bentuk Wahyu misalnya. Proses "tahannus" yang dilakukan oleh Nabi adalah bagian dari grand design Allah dalam rangka mempersiapkan Nabi untuk menerima dan mengembang sebuah amanah besar, yakni al-Islam.

Pada konteks itu dapat dikatakan bahwa perubahan dan peradaban umat manusia pada sesungguhnya merupakan sesuatu yang bersifat engineering (rekayasa) yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Pandangan ini tidak bermaksud menafikan adanya kemungkinan terjadinya perubahan dalam bentuk lain. Sebab, ada perubahan yang bersifat natural dan bahkan ada pula yang terjadi di luar jangkauan rasionalitas nalar manusia karena di sana melibatkan kekuatan maha dahsyat, sebut saja Tuhan misalnya. Adakalanya perubahan bekerja melalui tangan Tuhan sendiri. Adakalanya tangan Tuhan bekerja dalam rangkaian ikhtiar manusia.

Karena, peradaban bersifat engineering, maka sudah bareng tentu di sana ada pula rangkaian tahapan strategis yang dilakukan untuk mengawali dan memulai sebuah peradaban. Banyak teori yang mencoba mengungkapkan tahapan-tahapan strategis yang sering kali dilakukan dalam kerja-kerja Civilization Engineering. Namun, (pada tulisan ini) akan dikembangkan beberapa di antaranya langsung melalui al-Qur'an. Hal demikian dikarenakan percakapan mengenai konsep Civilization Engineering ini bertalian dengan keberadaan al-Qur'an. Sehingga, perlu mengali informasi yang terkandung dalam al-Qur'an perihal tahapan-tahapan strategis membangun peradaban.

  • Memiliki Ilmu dan Visi-Misi

Untuk menggerakkan sebuah perubahan dan peradaban dibutuhkan yang namanya ilmu dan visi-misi. Setidaknya konsep itu ditemukan dalam doktrin teologis Islam. Bahkan secara logika dan rasionalitas murni sekalipun akan membenarkan pengandaian demikian. Sebab, seseorang melakukan perubahan dan peradaban karena di sana ada ilmu dan visi-misinya. Meskipun, ilmu dan visi-misinya terbilang biasa-biasa saja. Logikanya, ketika orang tidak punya ilmu dan visi-misi, lalu untuk dan dengan apa melakukan perubahan. Tidak mungkin seseorang menggerakkan perubahan tanpa ada ilmu dan visi-misinya di sana.

Kehadiran Islam pertama kalinya dalam pentas sejarah untuk peradaban umat manusia ditandai dengan turunnya surat pertama dalam al-Qur'an, yakni QS al-'Alaq/1-5, pada tahun 611 M di Gua Hira dan dilanjutkan dengan ayat-ayat lainnya selama kurang lebih 23 tahun (13 tahun periode Makkah dan 10 tahun periode Madinah) sudah menekankan pentingnya ilmu dan visi-misi dalam hidup. Di mana QS al-'Alaq berbicara tentang teologi iqra'-membaca yang notabene merupakan instrumen penting dalam melakukan kerja-kerja peradaban. Karena, teologi iqra'-membaca menjadi inspirasi lahir dan terbentuknya institusi dan proses pendidikan dalam pelbagai bentuknya.

Dari sanalah lahir dan berkembang ilmu pengetahuan dan visi-misi untuk melakukan rekayasa peradaban. Ilmu pengetahuan dimaksud adalah penguasaan terhadap al-Qur'an dan hadis sebagai sumber penting dalam beragama dan membangun suatu peradaban. Sementara visi-misi kerja-kerja rekayasa peradaban dimaksud adalah visi-misi kehadiran al-Qur'an pada satu sisi dan Nabi pada sisi lain. Misalnya, visi-misinya adalah menjadi rahmat bagi semesta jagat (QS al-A'raf/52 dan 203; QS al-Isra'/82; QS al-Anbiyah/107). Lagi-lagi, ilmu pengetahuan dan visi-misi kerja-kerja rekayasa peradaban diperoleh melalui proses iqra'-belajar dalam makna dan konteks yang umum.

  • Memiliki Tokoh dan Pemimpin

Selain ilmu dan visi-misi, menggerakkan suatu perubahan dan peradaban juga membutuhkan sosok seorang tokoh dan pemimpin, baik bersifat personal maupun kolektif kolegial. Tidak ada ceritanya perubahan dan peradaban dirancang-bangunn tanpa ada tokoh dan pemimpin di sana. Sebab, sosok seorang tokoh dan pemimpin memiliki peran dan peranan yang sangat penting lagi strategis dalam melakukan kerja-kerja perubahan dan rekayasa peradaban. Di antara peran dan peranannya adalah menyusun dan merumuskan visi-misi, mengkomunikasikan dan menggerakkan kekuatan SDM, memotivasi dan lainnya.

Dalam rekayasa peradaban Islam awal, sosok Nabi merupakan tokoh dan pemimpin dalam pelbagai bidang dan aspek. Bahkan sebelum didaulat menjadi seorang Nabi pada 611 M, Nabi juga sudah terkenal masyhur sebagai sosok seorang tokoh dan pemimpin yang sangat dipercaya dan dihormati. Hal demikian di antaranya dapat dilihat pada peristiwa historis yang terjadi dalam peletakan batu hajar aswad. Di situ terjadi pertengkaran luar biasa antara pemuka-pemuka Arab perihal siapa yang layak untuk meletakkan batu hajar aswad.  Alhasil, masyarakat Arab dan pemukanya mempercayakan kepada Nabi untuk meletakkan hajar aswad.

Kehadiran Nabi dalam peletakan batu hajar aswad itu mengakhiri semua perbedaan, keributan dan ketengangan di tengah-tengah masyarakat dan pemuka Arab. Di situ posisi Nabi memiliki bargaining yang sangat diperhitungkan. Menjadi perekat tenun persatuan dan kohesi sosial sekaligus menjadi solusi terhadap banyak persoalan masyarakat Arab. Sehingga, ketokohan dan kepemimpinan seorang Nabi sebelum didaulat menjadi Nabi sudah diakui oleh masyarakat Arab. Bahkan saking terpercayanya sosok Nabi sebelum didaulat menjadi Nabi sampai-sampai masyarakat Arab mempercakapkan banyak barang titipannya kepadanya.

Ketika didaulat menjadi Nabi, maka status ketokohan dan kepemimpinannya bertambah lagi, yakni menjadi tokoh dan pemimpin agama (baca: sebagai Nabi dan Rasul) untuk periode Makkah. Karena, ketika periode Madinah status ketokohan dan kepemimpinan Nabi juga mengalami penambahan menjadi tokoh dan pemimpin negara (eksekutif) sekaligus merangkap sebagai tokoh dan pemimpin legislatif dan hakim pengadilan. Semua jabatan masih bersifat sentralistik dikarenakan pada waktu itu belum ada pendelegasian wewenang. Semuanya lebih mempercayai dan menyerahkan urusan-urusan demikian sepenuhnya kepada Nabi.

Namun, dalam pelaksanaannya ketokohan dan kepemimpinan Nabi juga dibantu dan disupport oleh ulama-ilmuan, birokrat dan teknokrat dari kalangan para sahabatnya. Pada saat itulah Nabi melakukan rekayasa peradaban Islam untuk semesta manusia dengan mengawalinya dari semenanjung kota Makkah dan Madinah. Rekayasa peradaban yang dilakukan oleh Nabi selama kurang lebih 23 tahun, 13 tahun di kota Makkah dan 10 tahun di kota Madinah. Lalu rekayasa peradaban dilanjutkan oleh murid dan generasinya dari kalangan sahabat, empat Khalifah mulai dari Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar al-Khattab, Utsman dan Ali.

  • Memiliki Pengikut dan Mobilitas Ummat

Tahapan ini terdiri dari tiga bagian. Tahapan pertama adalah lahir dan terbentuknya komunitas (muslim) Makkah. Pada tahapan ini pengaruh ketokohan dan kepemimpinan Nabi Muhammad saw masih terbatas pada sebagian kecil masyarakat Makkah. Sehingga, eksistensi keberadaannya belum begitu signifikan menggerakkan perubahan dan peradaban (Islam) untuk keseluruhan kota Makkah. Karena, ketika awal-awal lahir dan terbentuknya kemunitas muslim pertama dalam lingkup kota Makkah, Nabi Muhammad saw beserta para sahabatnya diperhadapkan dengan pelbagai tantangan dan rintangan dari kalangan kafir Quraisy dan kerabat terdekatnya.

Tantangan dan rintangan dihadapi oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya pada awal-awal memulai membangun perubahan dan tatanan peradaban bernafaskan (dn) al-Islam hadir dalam pelbagai bentuk, mulai dari penolakan terhadap visi profetik dakwah kenabian yang diemban karena bertentangan dengan dogma yang diwariskan dan dihidupkan kalangan kafir Quraisy, hinaan, cacian, tuduhan-tuduhan negative (berupa tukang sihir, orang gila dan lainnya), iming-iming harta benda dan wanita, dilempar dengan batu hingga ada rencana pembunuhan untuk mengakhiri denyut nadi perkembangan dakwah Islam dan komunitasnya pada fase awal-awal keislaman.

Bersamaan dengan itu, pada masa-masa itu Nabi juga diperhadapkan dengan ujian dari orang-orang terdekatnya berupa peristiwa kematian, mulai dari kematian istri tercinta, Siti Khadijah, lalu kemudian menyusul kakeknya tersayang, Abdul Muthalib, yang selama ini begitu setia dan sigap dalam mendampingi dan mengawal kerja-kerja dakwah Nabi pada awal-awal keislaman hingga wafatnya. Peristiwa demikian dalam catatan sejarah disebut-kenal dengan peristiwa "ammul husn" (tahun kedukaan dan kesedihan bagi seorang Nabi). Dari peristiwa "ammul hizn" pula terjadi peristiwa bersejarah lagi misterium dalam perjalanan risalah kenabian, yakni peristiwa Isra' Mi'raj.

Namun, tantangan dan rintangan demikian tidak membuat Nabi Muhammad saw dan sahabatnya menyerah dan mengalah hingga "mundur" dari misi profetik dan kerja-kerja dakwah untuk menyebarluaskan ajaran Islam ke seantero jagat dunia. Nabi dan para sahabatnya tetap menjalankan misi profetik kenabian dengan memikirkan dan merumuskan sebuah strategi jitu untuk mensiasati kondisi yang dihadapi dan dialami, di antaranya dengan melakukan apa yang dinamakan dengan hijrah, meninggalkan kota Makkah untuk berhijrah ke kota Madinah dalam rangka membangun "kekuatan baru" di sana dengan tujuan dapat melanjutkan kembali kerja-kerja dakwah.

Proses hijrah itulah menandai tahapan dan babak kedua ikhtiar Nabi dan sahabatnya dalam membangun puzzle-puzzle peradaban Islam. Di sana, di kota Madinah, terjadi perjumpaan dua entitas baru antara kalangan Muhajirin (mereka-mereka yang datang dari Makkah bersama rombongan hijrah Nabi dan sahabat) dan kalangan Anshor (mereka-mereka yang menjadi penduduk kota Madinah). Sebelumnya, sebagian komunitas masyarakat Madinah sudah berkenalan duluan dengan seruan Islam. Sehingga, sebelum Nabi dan sahabatnya melakukan hijrah, komunitas masyarakat Madinah sudah mendelegasikan utusan untuk bertemu dan membaiat Nabi.

Sehingga, kedatangan rombongan kalangan Muhajirin dalam perjalanan hijrah disambut dengan antusias, suka-duka, penuh keguyuban, keakraban dan persatuan hingga diberikan ruang yang sebesar-besarnya oleh masyarakat Anshor. Tentunya, di situ terdapat kekuatan baru untuk membangun komunitas muslim. Olehnya pada tahapan kedua kekuatan baru umat Islam mengkristal dalam bentuk lahir dan terbentuknya komunitas (muslim) Madinah yang ditandai dengan peristiwa hijrah dan lahir dan terbentuknya negara Islam yang bernama Madinah. Kekuatan komunitas muslim Madinah inilah titik berangkat melakukan rekayasa peradaban selanjutnya.

Tahapan ketiga adalah terbentuknya komunitas (muslim) dunia. Pada tahapan ini pengaruh Kepemimpinan Nabi Muhammad saw tidak tidak lagi terbatas pada lingkup wilayah Jazirah Arabia, kota Makkah, Madinah, Palestina , Syiria, Damaskus, Kufah-Irak, Yaman, Andalusia, Turki, Kairo-Mesir, Bukhara, Samarkan, Dubai, Qatar, Pakistan, dan sekitarnya, akan tetapi sudah melampaui wilayah teritorial tempat asal Islam lahir dan berkembang, yakni tersebar hampir ke seluruh jagat dunia dengan melalui beberapa tahapan fase perkembangan sejarahnya. Termasuk tersebar dan berkembang hingga dengan bangsa dan negara Indonesia.

Al-Qur'an dan Kondisi Umat Islam Hari Ini

Lalu, bagaimana dengan kondisi umat Islam hari ini? Perlu diakui bahwa umat Islam hari ini semakin besar (secara kuantitas) karena tersebar hampir seantero jagat dunia. Bila dibandingkan dengan awal-awal fajar keislaman tidak ada apa-apanya. Sebab, pada awal-awalnya fajar keislaman, jangkauan penyebaran agama Islam masih terbatas pada wilayah-wilayah tertentu, sehingga jumlah umatnya juga terbilang masih sedikit. Namun, rupa-rupanya kekuatan umat Islam dalam penyebaran hampir pada semua wilayah dan memiliki jumlah yang begitu besar, akan tetapi tidak mampu mengembalikan peradaban Islam dalam konteks kehidupan modern.

Begitu pula perlu diakui bahwa banyak sekali institusi pendidikan Islam maupun umum lahir dan terbentuk pada zaman sekarang ini hingga lahir pula banyak ulama dan imuaan Islam yang menguasai pelbagai disiplin keilmuan dengan pelbagai macam pendekatan. Termasuk institusi pendidikan yang bernama Pondok Pesantren, Rumah Tahfizh, Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an hingga mencetak banyak sekali huffazh dengan berbagai jenjang usianya. Namun, semuanya itu nampaknya belum bekerja dengan baik dalam membangun kembali peradaban Islam dengan mengacu pada nilai-nilai ajaran al-Qur'an maupun ajaran Islam pada umumnya.

Hafalan al-Qur'an hanya dijadikan sebagai ajang pertunjukan dalam pelbagai lomba MTQ pada setiap tingkat dan jenjangnya. Begitu pula penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh umat Islam pun hanya untuk kepentingan pribadi bahkan dipertontonkan dengan penuh kesombongan dan kecongkakan dalam pelbagai forum ilmiah dan perdebatan hingga kadang berujung pada pertengkaran dan konflik yang tidak perlu. Sehingga, wajar manakala dengan banyaknya huffazh, ulama dan ilmuan muslim yang menguasai pelbagai disiplin keilmuan, namun tetap saja tidak menjadi pemantik dalam menggerakkan kerja-kerja rekayasa peradaban yang berskala besar dan luas.

Perlu diakui pula bahwa umat Islam sekarang memiliki pembendaharaan kekayaan melimpah ruah. Namun, hal demikian tidak berbanding lurus dengan kesadaran menunaikan kewajiban zakat dan apabila kesadaran untuk berinfaq dan bersedekah untuk kepentingan dan kemaslahatan banyak orang yang lagi membutuhkan bantuan. Kalau pun saja ada kesadaran berzakat, infaq dan sedekah, umat Islam juga diperhadapkan pada problem pengelolaan dan pendistribusiannya. Sehingga, wajar pula manakala terjadi ketimpangan ekonomi di mana-mana, umat Islam termasuk paling tinggi tingkat kemiskinannya. Padahal punya instrumen pembangunan ekonomi.

Perlu diakui bahwa umat Islam sekarang sudah memiliki instrumen politik demokrasi dalam bentuk partai politik bersamaan dengan tersebarnya tokoh-tokoh umat Islam dalam pelbagai partai politik. Bahkan umat Islam dalam wilayah-wilayah tertentu tergolong sebagai mayoritas. Namun, jarang ditemukan adanya persatuan dalam mengusung dan memperjuangkan tokoh-tokoh Islam representatif dalam pelbagai kontestasi politik dan memenangkan pertarungan. Bahkan lebih ironisnya lagi sering ditemukan adanya praktek politik gunting dalam lipatan. Di mana ada upaya penjegalan tokoh-tokoh representatif dan potensial untuk maju dan menang.

Akibatnya, umat Islam meskipun tergolong mayoritas pada suatu wilayah misalnya, tetap saja sebagai penonton dan tim hore saja. Jarang ditemukan umat Islam menjadi penentu dan pemain dalam percaturan politik. Jangankan skala global-mendunia, dalam skala lokal, regional dan nasional sekalipun kadang berat dan susahnya minta ampun. Umat Islam mayoritas dan kuat secara angka-kuantitatif sementara lemah dalam kerja-kerja nyata rekayasa peradaban pada suatu wilayah. Akhirnya, umat Islam dan begitu pula agamanya kadang menjadi bahan permainan pihak-pihak tertentu seperti yang sering viral, lagi-lagi, meskipun umat Islam adalah mayoritas.

Kondisi demikian menggambarkan ada yang salah terhadap umat Islam. Setidak-tidaknya bermasalah dalam beralqur'an secara khusus maupun berislam secara umum. Sehingga, keberalquranan dan atau keberislaman tidak memberikan pengaruh yang begitu signifikan terhadap kerja-kerja rekayasa peradaban untuk membangun tatanan peradaban Islam dalam konteks modern ini. Islam malah bukannya semakin maju, akan tetapi berjalan di tempat bahkan bisa diandaikan mundur. Karena, Islam dan umatnya hingga kini seolah-olah tidak punya bargaining. Di antaranya terlihat pada peristiwa genosida dan pembantaian umat Islam di Palestina, Rohingya dan lainnya.

Nyaris sama dengan sebuah ungkapan familiar yang mengatakan bahwa "al-Islam mahjubun 'ala al-muslimun"  (Islam stagnan-berjalan di tempat bahkan cenderung mundur diakibatkan laku umatnya sendiri). Ya, jika laku at Islam memiliki jarak yang jauh dengan agama Islam beserta ajaran-ajarannya, maka bukan mustahil jika kondisi laku umat Islam tersebut memberikan kontribusi dan saham yang begitu besar terhadap stagnasi Islam  dalam percaturan peradaban zaman. Bahkan laku keberislaman demikian akan mendegradasi konsep "al-islamu ya'lu wala yu'la 'alaih" (Islam senantiasa unggul dan ia tidak akan terungguli) menjadi "mahjubun".

Tidak salah jika Nabi saw  menubuwatkan tentang kondisi umat Islam di penghujung akhir zaman, yaitu: "akan datang suatu masa di mana musuh berlomba-lomba untuk memerangi kalian. Sebagaimana berebutnya orang-orang yang sedang menyantap makanan di atas nampan". Salah seorang sahabat bertanya, "Apakah karena saat itu jumlah kami sedikit?". Beliau menjawab, "Justru saat itu kalian banyak, namun kalian bagaikan buih di lautan. Allah akan membuang rasa takut mereka kepada kalian, dan akan memasukkan wahn di dalam hati kalian. "Apakah wahn itu wahai Rasul?" tanya salah satu sahabat. Beliau menjawab, "Cinta dunia dan benci kematian" (HR Abu Dawud)

Wallahu A'lam

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun