Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Puasa, al-Qur'an dan Civilization Engineering (2)

31 Maret 2024   09:49 Diperbarui: 31 Maret 2024   09:49 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Melihat runutan Nuzul al-Qur'an dan juga keseluruhan ayat-ayat al-Qur'an rasanya agak sulit untuk tidak mengatakan bahwa kehadiran al-Qur'an tidak dapat dipisahkan dari sebuah grand design Allah dalam rangka mengatur semesta manusia. Allah merencanakan sesuatu bagi semesta manusia melalui Kalam-Nya yang terdapat dalam al-Qur'an itu. Tentunya, rencana demikian tidak lepas dari Kemahasegalaan-Nya sebagai Tuhan semesta alam. Termasuk secara khusus tidak terlepas dari apa yang menjadi Ilmu dan Pengetahuan, Kekuasaan, Keadilan, Hikmah dan Kehendak-Nya. Dengannya rencana dan rekayasa kehidupan bagi makhluk-Nya dilakukan.

Sehingga, al-Qur'an tidak bisa dikatakan sebagai "teks mati" tanpa memberikan pengaruh apa-apa terhadap manusia dan ikhtiar membangun tatanan peradabannya. Pun juga al-Qur'an tidak bisa dibatasi dan atau dipisahkan dari ikhtiar membangun manusia sekaligus peradabannya. Apalagi kalau-kalau sampai mengandaikan bahwa al-Qur'an menjadi penyebab lahir dan berkembangnya kemunduran dan keterbelakangan manusia dan peradabannya. Karena, pelbagai pandangan (fallacy) yang diproduksi dalam membaca dan mendudukkan al-Qur'an tersebut bertentangan dengan teks al-Qur'an maupun konteks yang melingkupi al-Qur'an dalam pusaran sejarah.

Malahan pada kenyataannya al-Qur'an menjadi semacam katalis dan lokomotif lahirnya rekayasa peradaban (Islam) untuk tatanan kehidupan dunia pada umumnya dengan berangkat dari wilayah teritori kelahirannya. Makanya, banyak sekali riset yang mencoba mendudukkan al-Qur'an dengan peradaban. Ada yang mengatakan al-Qur'an sebagai basis fundament peradaban (Islam). Ada yang mengatakan al-Qur'an sebagai Aspira dan inspirasi kerja-kerja peradaban. Ada pula yang mengatakan bahwa al-Qur'an sebagai sumber peradaban. Ada yang mengatakan al-Qur'an sebagai pedoman, paradigma dan motor penggerak peradaban dunia.

Pelbagai tesis tentang relasi-hubungan al-Qur'an dengan peradaban demikian tidak ada yang salah dan tidak pula berlebihan dalam menglorifikasi al-Qur'an. Sebab, tesis-tesis demikian dibangun di atas argumentasi masing-masing yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik-intelektual. Apalagi tesis-tesis semacam itu sepintas lalu juga sejalan dengan teks bahasa agama dan konteks kehadiran al-Qur'an dalam settingan dimensi ruang dan waktu, semenjak pertama kalinya mengudara di semenanjung kota Makkah, tepatnya di Gua Hira, hingga dengan sekarang ini. Sehingga, diperlukan namanya proses saling memahami dan menghargai di dalamnya.

Terdapat beberapa argumentasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan relasi al-Qur'an dengan peradaban, baik dalam kerangka rekayasa, konstruksi maupun lainnya. Namun, sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu hakikat substantif dibalik dari penggunaan kata rekayasa peradaban (civilization engineering) dalam kaitannya dengan al-Qur'an. Pertama adalah bahwa frase rekayasa peradaban yang dimaksud bukan saja hanya terjadi ketika al-Qur'an turun dan berakhir ketika Nabi meninggal. Akan tetapi, rekayasa peradaban dimaksud bersifat kontinyu. Artinya, selama al-Qur'annya masih ada, maka selama itu pula proses rekayasa peradaban tetap berjalan.

Entah, proses rekayasa peradaban dimaksud nantinya bersifat konstruktif, pengembangan, pembaharuan (tajdid), restorasi, reaktualisasi, revitalisasi dan lainnya. Intinya, selama ada al-Qur'an di tangan umat Islam, maka selama itu proses rekayasa peradaban terus berlanjut hingga menemukan bentuknya dalam rangka memberikan solusi bagi kehidupan umat manusia. Karena, proses rekayasa peradaban dimaksud terkait erat dengan prinsip dan watak-karakteristik ajaran Islam pada umumnya, yakni shalih li kulli zaman wa makan (selalu relevan dengan ruang dan waktu). Prinsip dan watak-karakteristik ini akan berfungsi dengan baik manakala ada rekayasa peradaban di sana.

Pada konteks demikian, perlu juga dijelaskan terlebih dahulu hal ihwal terkait peradaban. Bahwa peradaban dimaksud bukan peradaban Barat (western civilization) yang cenderung liberal-sekularistik. Juga tentunya peradaban dimaksud bukan peradaban agama lainnya. Bukan pula peradaban kaum ateistik dan deistik, agnostik, shofistik, relativistik, nihilistik dan kawan-kawannya. Akan tetapi, peradaban yang dimaksud adalah peradaban Islam yang mengacu secara langsung pada sumber ajarannya, yakni al-Qur'an dan hadis. Di sana konstruksi peradaban berwajah Islam dirumuskan, dirintis dan dibangun hingga menjadi sebuah peradaban raksasa.

Ternyata konsep dasar terkait dengan peradaban memang sangat erat kaitannya dengan agama Islam yang memiliki kitab yang bernama al-Qur'an itu. Kalau menggunakan kata peradaban dalam bahasa Indonesia maupun kata culture dan civilization dalam bahasa Asing, maka sulit menemukan benang merahnya. Meskipun kata-kata tersebut diandaikan hanya "kata lain" atau sinonim saja. Namun, ada sisi-sisi perbedaan di dalamnya. Misalnya, kata peradaban dalam bahasa Indonesia berakar dari kata adab yang notabene berasal dari bahasa Arab. Akan tetapi, cakupan adab dalam Islam tidak menjadi bagian dari pengertian peradaban dalam bahasa Indonesia.

Misalnya, pengertian peradaban dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di situ peradaban diandaikan sebagai sebuah kemajuan (kecerdasan dan kebudayaan) yang bersifat lahir dan batin serta hal-hal yang bertalian dengan sopan santun, budi pekerti, budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa. Pengertian demikian tentunya masih belum sepenuhnya merepresentasikan konsep adab dalam Islam itu sendiri. Di mana konsep adab dalam Islam tidak semata hanya berbicara tentang kecerdasan (kognitif), kebudayaan, sopan santun dan kemajuan. Akan tetapi, juga berkaitan dengan ilmu, iman dan amal. Ketika ketiganya bersenyawa dalam diri, maka lahirlah keadaban itu.

Artinya, pengertian peradaban demikian juga belum merepresentasikan pengertian peradaban dalam Isam. Menariknya, meskipun kata peradaban dalam bahasa Indonesia berakar dari kata adab dalam bahasa Arab, namun rupanya bahasa Arabnya kata peradaban tidak diterjemahkan dengan adab, adabiyah dan lainnya. Malahan dalam pelbagai referensi ditemukan istilah hadharah, tsaqafah, 'umran dan tamaddun yang selalu digunakan untuk menjelaskan makna substantif dari peradaban dalam kaitannya dengan Islam. Sehingga, di situ bukan saja berbeda terminologi kebahasaan, akan tetapi juga terdapat perbedaan konsep juga di sana.

Di antara empat terminologi yang digunakan menjelaskan konsep peradaban dalam Islam, terminologi yang perlu diungkapkan dan dieksplorasi lebih jauh adalah terminologi tamaddun. Seperti dikatakan sebelumnya, terminologi tamaddun _sebagai sebuah terminologi dalam menjelaskan hakikat peradaban dalam Islam_ memiliki akar kata yang sama dengan al-dn (agama). Bahkan kata Madinah yang digunakan sebagai nama dan nomenklatur (baru) menggantikan nama dan nomenklatur Yasrib juga berakar dari kata al-dn. Dan sudah pasti kata Madinah itu memiliki keterkaitan dengan kata tamaddun. Karena, sama-sama berakar dari kata al-dn.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun