Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu dan Suksesi Kepemimpinan Nasional: Antara Calon Pemimpin Otentik dan Kosmetik

24 Agustus 2023   10:06 Diperbarui: 26 Agustus 2023   07:01 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Azis Maloko

Memasuki tahun pemilu 2024 mendatang, pelbagai hiruk-pikuk terkait dengan pencapresan mulai bergeliat ke sana ke mari mewarnai hari-hari dalam berindonesia. Pelbagai issu politik bermunculan di dalamnya, mulai dari issu politik yang paling baik maupun paling buruk sekalipun. 

Di antara issu-issu politik yang bermunculan di tengah-tengah suksesi mencari calon kepemimpinan nasional adalah politik identitas, politik oligarki dan dinasti politik. Ketiga issu politik ini langsung menyentuh pada wajah masing-masing calong pemimpin; mana yang dikatakan sebagai calon pemimpin yang memainkan politik identitas, mana pula calon pemimpin yang memainkan politik oligarki dan dinasti politik. Sehingga, issu-issu politik ini mau tidak mau membentuk wajah calon pemimpin; antara calon pemimpin berwajah otentik dan calon pemimpin berwajah kosmetik.

Belum lagi bersama dengan itu pelbagai macam issu-issu politik lainnya juga ikut bermunculan, mulai dari issu seputar pembegalan partai politik, "intimidasi" pimpinan partai dan "ancaman" hukum bagi partai dan pimpinan partai tertentu. Semuanya terjadi diandaikan karena masing-masing partai dan pimpinannya hendak menjalankan kebebasan, kemerdekaan dan kemandiriannya dalam menentukan pilihan politiknya dalam suksesi pemilihan kepemimpinan nasional pada 2024 mendatang. 

Mereka mau membentuk dan menentukan koalisi dengan partai-partai tertentu sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan partai, kader dan konstituen politik masing-masing. Bersama dengan itu, terdapat juga issu lainnya terkait dengan langkah-langkah "politik hukum" yang dilakukan oleh beberapa partai dan perorangan dalam melakukan judicial review (JR) terhadap batas usia calon kepemimpinan nasional.

Mengenal Calon Pemimpin Otentik dan Kosmetik

Untuk memahami dan sekaligus membedakan dengan baik dan jelas terkait dengan calon pemimpin berwajah otentik dan kosmetik dalam pusaran demokrasi kita perlu kiranya untuk diperkenalkan dalam bentuk rumusan-rumusan kriteria khusus di dalamnya. 

Logika demikian setidak-tidaknya dibangun di atas asumsi teoretis yang mengandaikan bahwa setiap sesuatu memiliki identitas masing-masing. Sementara identitas adalah sesuatu yang melekat pada sesuatu itu sekaligus berbeda dan membedakan sesuatu dengan bukan sesuatu itu. Sehingga, identitas merupakan unsur dan elemen mendasar sekaligus terpenting bagi sesuatu. Karena, identitas menjadi ciri pembeda antara satu dengan lainnya.

Pada umumnya, identitas pada makhluk yang bernama manusia terdiri atas dua bagian. Identitas pertama bersifat natural of law atau given dan kodrati. Identitas semacam ini dimiliki oleh semua manusia. Karena, setiap makhluk diciptakan di atas identitas ini. Misalnya, identitas terkait dengan jenis kelamin pada manusia. 

Setiap manusia dilahirkan memiliki identitasnya masing-masing. Ada namanya identitas perempuan dan ada pula namanya identitas laki-laki. Kedua identitas ini ditandai dengan struktur anatomi tubuh masing-masing. Bahkan manusia yang lahir dalam keadaan memiliki jenis kelamin ganda sekalipun pada akhirnya juga memiliki identitas sebagai laki-laki atau perempuan. Tergantung identifikasi fungsionalisasi dan efektivitas salah satu di antaranya.

Identitas jenis pertama ini tidak berlaku hukum perubahan dan atau dipertukarkan. Meskipun, banyak manusia-manusia nir akal dan moralitas mencoba untuk mengotak-atik model ideal dalam penciptaannya. Pada hakikatnya manusia hanya memiliki dua jenis kelamin saja. Selebihnya adalah kecenderungan hasrat seksualitas dari dua jenis kelamin tersebut. 

Tentunya, kecenderungan hasrat seksualitas di luar dari dua jenis kelamin ini dapat dipastikan sebagai bagian dari penyimpangan. Sebab, tidak mungkin jeruk makan jeruk. Kecenderungan demikian bukan hanya melahirkan paradoks dalam penciptaan dan percintaan. Akan tetapi, juga sangat rentan melahirkan penyakit kelamin. Pada puncaknya bisa mengakibatkan kepunahan makhluk yang bernama manusia dari alam semesta ini.

Sementara identitas kedua yang berada pada manusia adalah bersifat nurture, yaitu identitas yang merupakan konstruksi sosial dan budaya. Berbeda dengan identitas nature yang berbasis pada logika struktur biologis dan kodrati manusia, identitas nurture mengandaikan bahwa pada diri manusia juga terdapat identitas lain yang diperoleh melalui perjumpaan dan dialog antar kultur dan peradaban yang terjadi dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara maupun kehidupan beragama, termasuk dalam lingkup pendidikan. Identitas ini pun berada dan dimiliki oleh setiap manusia. Perbedaannya palingan terletak pada kualitas dan kuantitas identitas masing-masing. Tergantung manusia membangun dan membentuk identitas dalam hidupnya.

Karena bersifat nurture, maka identitas ini cenderung mudah mengalami perubahan dan pertukaran. Entah perubahan dan pertukaran dimaksud membutuh waktu yang relatif singkat dan cepat atau malah membutuhkan waktu yang lumayan lama di dalamnya. 

Entah perubahan dan pertukaran dimaksud hanya bersifat antar waktu semata atau malah bersifat abadi selama-lamanya. Intinya, identitas semacam inilah pada akhirnya mudah mengubah tampilan wajah setiap orang, dari wajah otentik menjadi wajah kosmetik maupun dari wajah kosmetik menjadi wajah otentik. Bahkan corak identitas semacam ini pulalah yang membuat kebanyakan manusia sulit untuk mengidentifikasi dan membedakan mana tampilan wajah otentik dan kosmetik dalam kehidupan. Identitas ini terkait erat dengan pikiran atau gagasan, sikap (ettitude), karya, rekam jejak dan lainnya.

Pada identitas kedua ini akan dibangun logika dan kriteria terkait dengan calon pemimpin berwajah otentik dan kosmetik. Karena, tidak mungkin menggunakan identitas yang bersifat nature sebagai logika dan kriteria di dalamnya. Sebab, bagaimana pun seorang laki-laki dan perempuan mengotak-atik tubuhnya, entah untuk sekedar mengikuti tren maupun karena terpapar penyakit kelainan hasrat seksualitas, tetap saja manusia semacam ini akan mendapat predikasi identitas tambahan berupa bencong dan LGBT. 

Tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Dan tentunya perubahan dan pertukaran semacam itu selain menggelikan juga nampak mudah sekali untuk teridentifikasi dengan cepat dan segara. Tentunya pula para calon pemimpin tidak akan mungkin repot-repot mempersonifikasi dirinya dengan identitas absurd semacam itu.

Setidaknya ada lima poin penting untuk digunakan sebagai parameter dalam mengenal calon pemimpin; otentik dan kosmetik. Kelima poin ini digali secara langsung dari hal-hal yang dipandang cukup elementer dalam alam demokrasi. Sehingga, bisa memberikan edukasi sekaligus pencerahan dalam melihat lebih "kritis" tampilan wajah calon pemimpin. 

Tujuannya agar supaya kita tidak terjebak dalam permainan politik simbol yang cenderung manipulatif; memanipulasi alam kesadaran kita dalam berdemokrasi hingga pada akhirnya kita berdemokrasi dengan kepalsuan semua. Kelima poin dimaksud mencakup gagasan dan narasi, kerja dan karya, rekam jejak, kredibilitas dan integritas serta komitmen keindonesiaan. Semua kita pasti akan sepakat dengan kelima poin ini sebab poin ini objektif sekaligus netral untuk digunakan dalam mengenal calon pemimpin.

Pertama; mengenal calon pemimpin dari aspek gagasan dan narasi dalam berpolitik, berdemokrasi dan bernegara bahkan tentang peta dan dinamika politik global. Aspek ini penting sekali untuk dimiliki oleh seorang calon pemimpin. Sebab, untuk calon pemimpin tingkat Desa dan kelurahan maupun lainnya yang berada di bawah kepemimpinannya nasional saja dituntut harus memiliki gagasan dan narasi untuk menjadi seorang pemimpin. 

Apatah lagi kalau-kalau untuk menjadi seorang pemimpin tingkat nasional. Syarat tingkat pendidikan dan usia (yang kini tengah proses judicial review di Mahkamah Konstitusi) secara tidak langsung mengisyaratkan adanya gagasan dan narasi, meskipun batasan tingkat pendidikan untuk calon kepemimpinan nasional hanya sampai tamatan sekolah menengah atas saja (UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 169).

Kedua; mengenal calon pemimpin dari aspek kerja dan karyanya dalam memimpin jabatan tertentu atau sebagai masyarakat biasa. Hampir semua pemimpin nasional Indonesia merupakan orang-orang yang memiliki jabatan tersendiri, baik dalam lingkungan pemerintahan sebagai menteri, kepala dan wakil daerah tingkat kota/kabupaten dan provinsi maupun sebagai pimpinan partai politik tertentu. 

Mulai dari Bung Karno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gusdur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo adalah pemimpin nasional yang memiliki jabatan publik tertentu. Olehnya, di sana masing-masing pemimpin tersebut maupun calon pemimpin nantinya memiliki kerja dan karya yang bisa menjadi parameter di dalamnya mengenal mereka. Sehingga, kerja dan karya terkait dengan sebelum menjadi calon pemimpin nasional yang terlibat dalam jabatan masing-masing.

Ketiga; mengenal calon pemimpin dari aspek rekam jejak kerja dan karya. Karena, masing-masing calon pemimpin nasional memiliki dan atau pernah memiliki jabatan publik, maka masing-masing punya rekam jejak terkait dengan kerja dan karyanya yang dipersembahkan selama mereka diberikan amanah untuk menjadi seorang pemimpin pada jabatan dan tempat masing-masing. 

Rekam jejak kerja dan karya adalah sesuatu yang nyata terlihat selama seorang calon pemimpin menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin pada jabatan dan tempatnya masing-masing. Sehingga, eksistensi keberadaan rekam jejak kerja dan karya masing-masing calon pemimpin terbilang tidak mudah terdistorsi dan termanipulasi dengan begitu mudahnya. Karena, fakta-fakta rekam jejak sendiri akan memberikan jawaban terhadap pelbagai upayakan penyesatan di dalamnya.

Keempat; mengenal calon pemimpin dari aspek kredibilitas dan integritas politik, demokrasi dan bernegaranya. Tentunya aspek ini terbilang sangat penting sekali. Karena, aspek ini akan menentukan sejauh mana tiga aspek sebelumnya; apakah benar-benar adanya atau hanya sekedar kosmetik dan kamuflase politik semata. 

Artinya, aspek kredibilitas dan integritas sebagai standar etik untuk memastikan bahwa ketiga aspek sebelumnya memang merupakan sesuatu yang benar-benar otentik, bukan sekedar kosmetik dan kamuflase politik. Sehingga, aspek ini menghendaki dan menuntut agar kiranya tidak ada dusta dalam berpolitik demokrasi. Masing-masing harus menampilkan kredibilitas dan integritasnya sebagaimana adanya tanpa perlu polesan kosmetik. Masing-masing harus menjunjung setinggi-tingginya kredibilitas dan integritas dalam berpolitik demokrasi.

Kelima; mengenal calon pemimpin dari aspek komitmen keindonesiaannya. Aspek ini merupakan akumulasi dari aspek-aspek sebelumnya di atas. Aspek ini harus menjadi basis pertimbangan moral-etik bagi masing-masing calon pemimpin dalam berpesta demokrasi. Tentunya, komitmen keindonesiaan harus menempati posisi yang penting lagi strategis dalam diri dan perjuangan masing-masing calon pemimpin. 

Tidak boleh ada komitmen komunisme, kapitalisme, oligarkisme, dinastisme dan radikalisme hingga neo kolonialisme dalam berindonesia; dalam berpolitik, berdemokrasi dan bernegara Indonesia. Tidak boleh juga ada komitmen Asing, Aseng dan Asing dalam berindonesia. Karena, bangsa dan negara Indonesia merupakan bangsa dan negara yang merdeka, sah dan berdaulat dalam segenap aspek dan sektor kehidupan bernegara.

Nampaknya kelima poin yang dikemukakan di atas merupakan karakteristik calon pemimpin otentik. Dengan demikian, karakteristik calon pemimpin kosmetik kebalikan darinya. Misalnya, ketika karakteristik kepemimpinan otentik adalah memiliki gagasan dan narasi, maka kebalikan dari karakteristik kepemimpinan kosmetik adalah tidak memiliki gagasan dan narasi. 

Pemimpin dan kepemimpinan yang miskin gagasan dan narasi. Atau pemimpin dan kepemimpinan yang terkenal dengan plonga-plongo. Sehingga, semacam mengalami kesulitan ketika berbicara tentang gagasan dalam berindonesia. Atau kesulitan ketika berbicara tentang peta dan dinamika politik global dengan menggunakan bahasa asing beserta tawaran gagasan baru dan segar di dalamnya. Begitu pula dengan karakteristik lainnya adalah kebaikan dari karakteristik calon pemimpin kosmetik.

Peran Media dalam Pembentukan Wajah Pemimpin

Media merupakan instrumen sekaligus pilar penting dalam demokrasi. Apalagi demokrasi di tengah-tengah kemajuan teknologi dan sains semacam ini semakin menempatkan media pada posisi yang begitu strategis. Keberadaan media dalam demokrasi setidak-tidaknya menjadi corong informasi atau referensi utama masyarakat dalam mendapatkan informasi, edukasi dan pencerahan, partisipasi masyarakat hingga mengimbangi informasi-informasi palsu bin hoax. 

Media juga dapat berfungsi harus mendorong pelaksanaan Pemilu supaya berjalan dengan jujur, transparan an adil serta meneguhkan persatuan Indonesia. Dengan catatan, media harus tetap independen, berpegang teguh pada idealisme, objektif dan tidak tergelincir dalam polarisasi sebagaimana dikatakan oleh Jokowi pada peringatan hari pers Nasional Tahun 2023 di Medan bulan februari yang lalu.

Apa dan bagaimana wajah calon pemimpin juga sangat terpulang dan tergantung pada media. Sekiranya media tidak berada pada porosnya sebagai corong informasi yang objektif dan independen niscaya tidak ada ruang dan panggung bagi calon pemimpin berwajah kosmetik. 

Sebaliknya, jika media menjadi alat politik kekuasaan niscaya calon pemimpin kosmetik akan diberikan ruang dan panggung selebar-lebarnya dan seluas-luasnya. Tidak hanya itu, pelbagai polesan kosmetik pun akan dilakukan untuk mempercantik tampilan calon pemimpin kosmetik. 

Segala hal ihwal terkait dengan kekurangan dan kelemahannya dipoles menjadi sebuah kelebihan dan kekuatan untuk dipasarkan di tengah-tengah tuntutan akan kebutuhan informasi tentang masing-masing calon pemimpin yang akan berlaga dan bertarung dalam Pemilu.

Bersama dengan itu, rupa-rupanya media juga cukup berperan dalam mendistorsi dan memanipulasi fakta-fakta terkait dengan rekan jekak politik calon pemimpin otentik. Sama dengan upaya membangun opini dan citra untuk calon pemimpin kosmetik, pada calon pemimpin otentik kadang juga diberitakan oleh media secara tidak benar dan adil. 

Pelbagai berita-berita palsu bin hoax dimainkan untuk sebisa mungkin mendegradasi status calon pemimpin otentik. Termasuk di dalamnya adalah mencari-cari kelemahan calon pemimpin otentik dengan pelbagai macam cara dan dalih. Sementara untuk calon pemimpin kosmetik malahan dicari pelbagai cara dan dalih untuk menutupinya dan mengubahnya menjadi sebuah prestasi politik yang luar biasa dahsyat. Sehingga, tidak ada yang terlihat dari wajah calon pemimpin otentik melainkan pelbagai kekurangan, kelemahan dan termasuk hororisme di dalamnya.

Implikasinya, semacam terjadi pertukaran wajah calon pemimpin masing-masing. Wajah calon pemimpin otentik berubah menjadi kosmetik karena polesan media yang merusak imagenya dengan pelbagai issu dan berita palsu bin hoax. Sebaliknya, wajah calon pemimpin kosmetik malah dilihat sebagai wajah otentik karena polesan kosmetik terlampau tebal hingga menutupi lubang-lubang dosa dan kemunafikan politik di dalamnya. 

Akhirnya, masyarakat sebagai publik yang ikut serta menyaksikan dan akan menentukan pilihannya dalam Pemilu nantinya menjadi bingung bin pusing. Apalagi bersama dengan itu sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan media sebagai corong informasi. Hampir semua issu dan berita dikonsumsi begitu saja tanpa melalui proses penalaran dan kritik di dalamnya. Sehingga, masyarakat tidak memiliki pijakan yang jelas dan pasti dalam menentukan referensi pilihannya.

Termasuk yang cukup berperan di tengah-tengah kemajuan media dalam alam demokrasi adalah hasil lembaga survei tentang elektabilitas masing-masing calon pemimpin. Malahan peran lembaga survei ini nyaris lebih berpengaruh dalam membentuk wajah pemimpin; opini publik dan image. Karena, hasil survei yang dilansir dengan menggunakan angka-angka tertentu dan diandaikan sebagai sebuah "kebenaran mutlak". 

Apa dan bagaimana hasil survei yang dilansir itu pulalah yang diandaikan akan terjadi dalam setiap Pemilu dan kontestasi politik lainnya. Kalau pun terdapat selisih, maka selisihnya hanya satu sampai lima angka saja. Tidak ada selisih yang terbilang cukup signifikan. Karena, human error yang ditetapkan dan digunakan dalam setiap lembaga survei dalam melakukan kerja-kerja survei diandaikan cukup kecil dan standarnya sebagaimana lazimnya dalam lembaga survei pada umumnya.

Meskipun, ada banyak hasil lembaga survei tidak sebagaimana faktanya. Salah satu contoh yang nyaris digunakan terus untuk mempercakapkan kembali probabilitas kebenaran hasil survei oleh masing-masing lembaga survei adalah hasi survei terkait dengan Pemilukada DKI Jakarta pada 2017 silam. 

Hampir semua lembaga survei melansir hasil survei yang sama terkait peta kekuatan masing-masing kandidat yang ikut berlaga dan bertarung waktu itu, mulai dari pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat hingga pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Bahwa pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno KO pada putaran pertama dan kalau pun sampai masuk pada putaran kedua pun tetap KO. Seolah-olah pada waktu itu semua lembaga survei "ijma" terkait hasil survei.

Namun, kenyataan di lapangan malah membuktikan sebaliknya. Hasil surveinya jauh berbeda dengan fakta-fakta yang terjadi dalam Pemilukada DKI Jakarta. Di mana pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh suara yang begitu signifikan pada putaran pertama serta melenggang masuk pada putaran kedua dan memenangkan pertarungan pada putaran kedua. 

Peristiwa dan fakta politik pada Pemilukada DKI Jakarta bukan semata menghentak kesadaran dan rasionalitas lembaga survei, akan tetapi semua masyarakat Indonesia dan dunia malahan. Karena, semuanya di luar ekspektasi dari hasil survei yang dilansir oleh lembaga survei. 

Lembaga survei yang selama ini selalu mengidentifikasi dan mengidentikkan hasil survei sebagai "maha benar" malah mendapat pukulan yang begitu memalukan. Meskipun, lembaga survei tampil melakukan pledoi dengan pelbagai penjelasan. Publik sudah kehidupan kepercayaan.

Hegemoni Politik Simulacrum dalam Pemilu

Banyak pengamat mengandaikan bahwa tahun 2024 merupakan puncaknya aktualitas dan hegemoni politik identitas dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Karena, pemilu tahun 2024 merupakan momentum bagi kelompok-kelompok ekstrim dan radikal dalam memperjuang-wujudkan kembali hak-hak mereka dalam berindonesia yang selama ini dipermainkan dan disingkirkan dengan pelbagai dalih. 

Di sana akan terjadi kapitalisasi sekaligus politisasi identitas kelompok-kelompok tertentu dalam memenangkan jagoannya. Kelompok-kelompok yang diandaikan sebagai ekstrimis dan radikalis dianggap akan mengambil bagian besar-besaran di dalamnya. Mereka akan berikhtiar semaksimal mungkin untuk dapat memenangkan jagoannya. Entah jagoannya yang dimaksud siapa.

Pandangan pengamat semacam itu tidak salah dan juga belum tentu benar adanya. Karena, pandangan semacam itu lebih nampak aroma stigmatisasi dan framing politiknya ketimbang objektivitas dan rasionalitasnya. Pandangan serupa juga terjadi pada pemilukada DKI Jakarta pada 2017 silam yang menghantarkan Anies Baswedan (calon presiden besutan dan usungan partai Nasdem cs yang terhimpun dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP)) menjadi gubernur DKI Jakarta. 

Bahkan pada pemilu 2019 yang memperhadapkan pasangan Jokowi-Ma'ruf dengan Prabowo-Sandi pun diandaikan sebagai puncak dari hegemoni politik identitas. Hal demikian karena Pemilukada DKI Jakarta 2017 dan pemilu 2019 berdekatan dengan gerakan perlawanan terhadap penistaan agama yang dilakukan Ahok.

Namun, apa yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu? Jika dilihat pada data dan fakta lapangan tidak ada persoalan yang terjadi diakibatkan oleh apa yang dinamakan sebagai "politik identitas". Meskipun, political claim dan hate space masih cukup nampak mewarnai jagat perpolitikan pada waktu itu. 

Namun, frekuensi dan tensinya tidak begitu signifikan. Apalagi setelah Pemilu 2019 langsung seketika lahirnya "konsiliasi" yang ditandai dengan masuknya Prabowo-Sandi dalam kabin Jokowi-Ma'ruf sebagai menteri. Malahan peristiwa yang terjadi dalam Pemilu 2019 adalah kematian banyak petugas Pemilu sampai-sampai dikatakan sebagai tragedi kemanusiaan karena menelan korban manusia begitu banyak. Tentunya, tragedi tersebut bukan karena adanya gerakan "politik identitas" yang dikhawatirkan, akan tetapi persoalan lain yang hingga kini tidak begitu jelas.

Artinya, terlepas dari benar dan salahnya pandangan semacam itu, kita perlu melihat dalam konteks lain bahwa ternyata masih cukup banyak persoalan lainnya yang turut hadir dalam setiap Pemilu. Dengan kata lain, bukan semata persoalan terkait dengan gerakan "politik identitas" dan "politisasi agama" pada Pemilu mendatang, akan tetapi masih ada persoalan lain yang mestinya menjadi perhatian juga. 

Tentunya, persoalan dimaksud tidak dalam rangka untuk dibanding-bandingkan dengan persoalan seperti yang disampaikan pengamat, akan tetapi hanya sekedar untuk mengungkapkan bahwa ada (loh) persoalan lain dalam setiap kali Pemilu. Persoalan dimaksud juga memiliki efek domino setidak-tidaknya dalam berlangsung Pemilu dan setelahnya.

Salah satu persoalan yang mestinya menjadi perhatian publik adalah apa yang disebut-istilahkan dengan adanya hegemoni politik simulacrum dalam jagat perpolitikan kita. Hegemoni politik simulacrum tidak hanya menampilkan wajah-wajah palsu dalam berdemokrasi, akan tetapi juga turut mensuplai pelbagai issu-issu palsu atau hoax beserta sentimen di dalamnya. 

Seperti dikatakan Rocky Gerung bahwa suplai hoax yang terbanyak dan terbesar plus begitu terstruktur dan massive adalah (dimainkan) relasi kuasa. Sebab, relasi kuasa memiliki pelbagai instrumen dan pembendaharaan yang super lengkap untuk digunakan dalam menjalankan misi dan gerakan politik simulacrumny. Melalui relasi kekuasaan, pelbagai issu-issu dan narasi palsu bin hoax direproduksi dan disebarkan dengan begitu massivenya. Tujuannya adalah mengubah mindset dan merusak image rival politik.

Ancaman Pemimpin Kosmetik bagi Indonesia

Sebenarnya ancaman bagi masa depan bangsa dan negara Indonesia bukan saja cuman aliran komunisme dan radikalisme plus kolonialisme, akan tetapi masih banyak isme dan faktor lainnya. Salah satu di antaranya adalah ancaman calon pemimpin berwajah kosmetik. 

Bila dibandingkan dengan komunisme, radikalisme dan kolonialisme serta isme-isme lainnya, ancaman calon pemimpin kosmetik malah lebih berbahaya bagi Indonesia ke depannya. Sebab, isme-isme dimaksud menampakkan wajah aslinya dalam melakukan pelbagai gerilya terhadap Indonesia. Mereka tidak sungkan dan tidak pula takut memperkenalkan dan menampakkan diri, ideologi dan gerakannya untuk menjalankan misi-misi politiknya di bumi Indonesia.

Sementara pemimpin kosmetik malah sebaliknya, mereka menampilkan wajah palsu untuk memanipulasi psikologi publik dalam berdemokrasi. Mereka menyembunyikan wajah mereka yang sebenarnya dalam pelbagai event kontestasi politik. Mereka sungkan, malu dan takut memperkenalkan dan menampakkan wajah aslinya terkait dengan hidden agenda untuk Indonesia ke depannya secara apa adanya. 

Karena, popularitas dan elektabilitas hingga kemenangan politik mereka sangat tergantung pada pola dan taktik politik kosmetik. Sekiranya mereka tampil apa adanya tanpa ada polesan kosmetik melalui pelbagai event kosmetik dan maupun peran media niscaya mereka tidak memiliki ruang dan panggung politik.

Karena ketidakjelasan wajah calon pemimpin yang ditampilkan oleh media dan seterusnya, pada akhirnya membuat masyarakat semacam tertipu dan terhipnotis begitu saja oleh polesan kosmetik yang ditampilkan untuk calon pemimpin tertentu. Masyarakat menjadi kesulitan untuk membedakan dengan baik dan benar antara calon pemimpin otentik dan calon pemimpin kosmetik. 

Semuanya nampak abu-abu bahkan menjadi begitu remang-remang. Seolah-olah bangsa Indonesia tengah berada pada masa-masa kegelapan yang tidak memungkinkan masyarakat untuk melihat dengan jelas, pasti dan benar akan wajah calon pemimpinnya. Sehingga, mau tidak mau memaksa masyarakat untuk menerima dan memilih calon pemimpin kosmetik sebagai pemimpin Indonesia.

Itulah di antara manifes ancaman calon pemimpin kosmetik. Sekiranya isme-isme yang mengancam masa depan Indonesia daoat terlihat dengan mudah dari penampilan wajah aslinya dalam setiap kali melakukan aksi-aksinya sehingga memungkinkan bangsa dan negara untuk mengetahui dan bersiap siaga dalam menghadapinya; menekan dan meminimalisirnya sedini mungkin. 

Sementara untuk calon pemimpin kosmetik malah nampaknya agak kesulitan untuk diindentifikasi sehingga bangsa dan negara semacam tidak begitu peduli dan memperhatikannya dalam bentuk melakukan langkah-langkah antisipatif di dalamnya untuk mencegah adanya calon-calon pemimpin berwajah kosmetik dalam pelbagai kontestasi politik kebangsaan setiap lima tahuan sekali.

Ancaman calon pemimpin kosmetik dapat dilihat pada beberapa aspek. Ancaman pertama terkait dengan kredibilitas dan integritas demokrasi. Ancaman ini mengandaikan bahwa keberadaan calon pemimpin kosmetik sangat mengancam kredibilitas dan integritas demokrasi. Sebab, di antara musuh bebuyutan demokrasi adalah praktek-praktek politik manipulatif. 

Ketidakjujuran, kebohongan, ketidaktransparanan, kecurangan dan lainnya adalah bagian dari praktek dan proses kerja politik manipulatif. Semuanya tidak bisa bertemu dan bersemayam aktif dalam alam demokrasi. Bahkan demokrasi malah tidak memberikan ruang sedikit pun di dalamnya. Meskipun, praktek-praktek politik demokrasi di lapangan agaknya jauh berbeda dengan konseptualisasinya.

Ancaman selanjutnya adalah terhadap kebijakan-kebijakan politik dalam bernegara. Sama dengan sebelumnya, ancaman ini juga mengandaikan bahwa seorang calon pemimpin kosmetik sangat mengancam kebijakan-kebijakan politik dalam bernegara demokrasi. 

Karena, logika kepemimpinan kosmetik akan menghendaki dan menuntut agar supaya kebijakan-kebijakan politiknya dalam rangka untuk melanggengkan kepempimpinan kosmetiknya. Di sini pelbagai macam kebijakan-kebijakan politik aneh bin ajaib bermunculan dengan pelbagai macam alasan, mulai dari adanya kegentingan memaksa, bertentangan dengan HAM, untuk kepentingan rakyat dan alasan-alasan lainya yang kadang di luar jangkauan rasionalitas murni dan bahkan rasionalitas hukum sekalipun.

Selain itu, calon politik berwajah kosmetik juga mengancaman kedaulatan rakyat. Ancaman ini mengandaikan bahwa keberadaan calon pemimpin berwajah kosmetik dalam demokrasi sangat mengancam kedaulatan rakyat. 

Sebab, kedaulatan rakyat dimanipulasi sedemikian rupa melalui pelbagai polesan kosmetik yang ditampilkan dalam pelbagai pertunjukan, mulai dari tampilan paling sederhana, merakyat, menggunakan pakaian ala kadarnya, masuk lubang biawak (maksudnya got dan selokan), mencangkul (di) kebun, hingga pada mempersonifikasi eksistensi diri dengan pelbagai simbol-simbol tertentu yang diandaikan sebagai bagian dari produk "politik identik" yang mengancam dan mengoyakan tenun persatuan bangsa, yakni mendadak menggunakan pakaian jubah atau gamis plus sorban, jilbab dan seterusnya.

Ancaman yang tidak kalah mengerikan adalah ancaman terhadap kedaulatan bangsa dan negara. Ancaman ini merupakan akumulasi dari ketiga ancaman sebelumnya. Di mana ancaman ini mengandaikan bahwa calon pemimpin berwajah kosmetik sangat mengancam sekali masa depan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Mengapa tidak? Calon pemimpin kosmetik ini tidak memiliki standar kredibilitas dan integritas dalam berdemokrasi dan bernegara. 

Sehingga, rentan pula melakukan pelbagai strategi dan taktik yang bersifat manipulatif dalam setiap segmentasi kehidupannya dalam berbangsa dan bernegara. Bisa saja perjalanan karirnya dalam berpolitik, berdemokrasi dan bernegara penuh dengan pelbagai manipulasi.

Misalnya, ketika menjadi calon pemimpin melakukan kebohongan dan kecurangan. Sementara ketika berkuasa menelurkan pelbagai kebijakan politik untuk menyusahkan dan menyengsarakan masyarakat plus mengancam masa depan kedaulatan bangsa dan negara. Hal ini terlihat dari pelbagai kebijakan politik yang tidak berpihak terhadap kepentingan masyarakat. Kebijakan politiknya malah melanggengkan dan menguntungkan hegemoni politik oligarki dan dinasti politik. Selain juga kebijakan politik yang menambah utang negara dalam setiap tahunnya. Di mana saking dahsyatnya utang negara sampai-sampai pertujuh turunan untuk masing-masing anak Indonesia pun diandaikan belum dapat membayar dan melunasinya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun