Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu dan Suksesi Kepemimpinan Nasional: Antara Calon Pemimpin Otentik dan Kosmetik

24 Agustus 2023   10:06 Diperbarui: 26 Agustus 2023   07:01 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir semua lembaga survei melansir hasil survei yang sama terkait peta kekuatan masing-masing kandidat yang ikut berlaga dan bertarung waktu itu, mulai dari pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat hingga pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Bahwa pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno KO pada putaran pertama dan kalau pun sampai masuk pada putaran kedua pun tetap KO. Seolah-olah pada waktu itu semua lembaga survei "ijma" terkait hasil survei.

Namun, kenyataan di lapangan malah membuktikan sebaliknya. Hasil surveinya jauh berbeda dengan fakta-fakta yang terjadi dalam Pemilukada DKI Jakarta. Di mana pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh suara yang begitu signifikan pada putaran pertama serta melenggang masuk pada putaran kedua dan memenangkan pertarungan pada putaran kedua. 

Peristiwa dan fakta politik pada Pemilukada DKI Jakarta bukan semata menghentak kesadaran dan rasionalitas lembaga survei, akan tetapi semua masyarakat Indonesia dan dunia malahan. Karena, semuanya di luar ekspektasi dari hasil survei yang dilansir oleh lembaga survei. 

Lembaga survei yang selama ini selalu mengidentifikasi dan mengidentikkan hasil survei sebagai "maha benar" malah mendapat pukulan yang begitu memalukan. Meskipun, lembaga survei tampil melakukan pledoi dengan pelbagai penjelasan. Publik sudah kehidupan kepercayaan.

Hegemoni Politik Simulacrum dalam Pemilu

Banyak pengamat mengandaikan bahwa tahun 2024 merupakan puncaknya aktualitas dan hegemoni politik identitas dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Karena, pemilu tahun 2024 merupakan momentum bagi kelompok-kelompok ekstrim dan radikal dalam memperjuang-wujudkan kembali hak-hak mereka dalam berindonesia yang selama ini dipermainkan dan disingkirkan dengan pelbagai dalih. 

Di sana akan terjadi kapitalisasi sekaligus politisasi identitas kelompok-kelompok tertentu dalam memenangkan jagoannya. Kelompok-kelompok yang diandaikan sebagai ekstrimis dan radikalis dianggap akan mengambil bagian besar-besaran di dalamnya. Mereka akan berikhtiar semaksimal mungkin untuk dapat memenangkan jagoannya. Entah jagoannya yang dimaksud siapa.

Pandangan pengamat semacam itu tidak salah dan juga belum tentu benar adanya. Karena, pandangan semacam itu lebih nampak aroma stigmatisasi dan framing politiknya ketimbang objektivitas dan rasionalitasnya. Pandangan serupa juga terjadi pada pemilukada DKI Jakarta pada 2017 silam yang menghantarkan Anies Baswedan (calon presiden besutan dan usungan partai Nasdem cs yang terhimpun dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP)) menjadi gubernur DKI Jakarta. 

Bahkan pada pemilu 2019 yang memperhadapkan pasangan Jokowi-Ma'ruf dengan Prabowo-Sandi pun diandaikan sebagai puncak dari hegemoni politik identitas. Hal demikian karena Pemilukada DKI Jakarta 2017 dan pemilu 2019 berdekatan dengan gerakan perlawanan terhadap penistaan agama yang dilakukan Ahok.

Namun, apa yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu? Jika dilihat pada data dan fakta lapangan tidak ada persoalan yang terjadi diakibatkan oleh apa yang dinamakan sebagai "politik identitas". Meskipun, political claim dan hate space masih cukup nampak mewarnai jagat perpolitikan pada waktu itu. 

Namun, frekuensi dan tensinya tidak begitu signifikan. Apalagi setelah Pemilu 2019 langsung seketika lahirnya "konsiliasi" yang ditandai dengan masuknya Prabowo-Sandi dalam kabin Jokowi-Ma'ruf sebagai menteri. Malahan peristiwa yang terjadi dalam Pemilu 2019 adalah kematian banyak petugas Pemilu sampai-sampai dikatakan sebagai tragedi kemanusiaan karena menelan korban manusia begitu banyak. Tentunya, tragedi tersebut bukan karena adanya gerakan "politik identitas" yang dikhawatirkan, akan tetapi persoalan lain yang hingga kini tidak begitu jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun