Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu dan Suksesi Kepemimpinan Nasional: Antara Calon Pemimpin Otentik dan Kosmetik

24 Agustus 2023   10:06 Diperbarui: 26 Agustus 2023   07:01 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentunya, kecenderungan hasrat seksualitas di luar dari dua jenis kelamin ini dapat dipastikan sebagai bagian dari penyimpangan. Sebab, tidak mungkin jeruk makan jeruk. Kecenderungan demikian bukan hanya melahirkan paradoks dalam penciptaan dan percintaan. Akan tetapi, juga sangat rentan melahirkan penyakit kelamin. Pada puncaknya bisa mengakibatkan kepunahan makhluk yang bernama manusia dari alam semesta ini.

Sementara identitas kedua yang berada pada manusia adalah bersifat nurture, yaitu identitas yang merupakan konstruksi sosial dan budaya. Berbeda dengan identitas nature yang berbasis pada logika struktur biologis dan kodrati manusia, identitas nurture mengandaikan bahwa pada diri manusia juga terdapat identitas lain yang diperoleh melalui perjumpaan dan dialog antar kultur dan peradaban yang terjadi dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara maupun kehidupan beragama, termasuk dalam lingkup pendidikan. Identitas ini pun berada dan dimiliki oleh setiap manusia. Perbedaannya palingan terletak pada kualitas dan kuantitas identitas masing-masing. Tergantung manusia membangun dan membentuk identitas dalam hidupnya.

Karena bersifat nurture, maka identitas ini cenderung mudah mengalami perubahan dan pertukaran. Entah perubahan dan pertukaran dimaksud membutuh waktu yang relatif singkat dan cepat atau malah membutuhkan waktu yang lumayan lama di dalamnya. 

Entah perubahan dan pertukaran dimaksud hanya bersifat antar waktu semata atau malah bersifat abadi selama-lamanya. Intinya, identitas semacam inilah pada akhirnya mudah mengubah tampilan wajah setiap orang, dari wajah otentik menjadi wajah kosmetik maupun dari wajah kosmetik menjadi wajah otentik. Bahkan corak identitas semacam ini pulalah yang membuat kebanyakan manusia sulit untuk mengidentifikasi dan membedakan mana tampilan wajah otentik dan kosmetik dalam kehidupan. Identitas ini terkait erat dengan pikiran atau gagasan, sikap (ettitude), karya, rekam jejak dan lainnya.

Pada identitas kedua ini akan dibangun logika dan kriteria terkait dengan calon pemimpin berwajah otentik dan kosmetik. Karena, tidak mungkin menggunakan identitas yang bersifat nature sebagai logika dan kriteria di dalamnya. Sebab, bagaimana pun seorang laki-laki dan perempuan mengotak-atik tubuhnya, entah untuk sekedar mengikuti tren maupun karena terpapar penyakit kelainan hasrat seksualitas, tetap saja manusia semacam ini akan mendapat predikasi identitas tambahan berupa bencong dan LGBT. 

Tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Dan tentunya perubahan dan pertukaran semacam itu selain menggelikan juga nampak mudah sekali untuk teridentifikasi dengan cepat dan segara. Tentunya pula para calon pemimpin tidak akan mungkin repot-repot mempersonifikasi dirinya dengan identitas absurd semacam itu.

Setidaknya ada lima poin penting untuk digunakan sebagai parameter dalam mengenal calon pemimpin; otentik dan kosmetik. Kelima poin ini digali secara langsung dari hal-hal yang dipandang cukup elementer dalam alam demokrasi. Sehingga, bisa memberikan edukasi sekaligus pencerahan dalam melihat lebih "kritis" tampilan wajah calon pemimpin. 

Tujuannya agar supaya kita tidak terjebak dalam permainan politik simbol yang cenderung manipulatif; memanipulasi alam kesadaran kita dalam berdemokrasi hingga pada akhirnya kita berdemokrasi dengan kepalsuan semua. Kelima poin dimaksud mencakup gagasan dan narasi, kerja dan karya, rekam jejak, kredibilitas dan integritas serta komitmen keindonesiaan. Semua kita pasti akan sepakat dengan kelima poin ini sebab poin ini objektif sekaligus netral untuk digunakan dalam mengenal calon pemimpin.

Pertama; mengenal calon pemimpin dari aspek gagasan dan narasi dalam berpolitik, berdemokrasi dan bernegara bahkan tentang peta dan dinamika politik global. Aspek ini penting sekali untuk dimiliki oleh seorang calon pemimpin. Sebab, untuk calon pemimpin tingkat Desa dan kelurahan maupun lainnya yang berada di bawah kepemimpinannya nasional saja dituntut harus memiliki gagasan dan narasi untuk menjadi seorang pemimpin. 

Apatah lagi kalau-kalau untuk menjadi seorang pemimpin tingkat nasional. Syarat tingkat pendidikan dan usia (yang kini tengah proses judicial review di Mahkamah Konstitusi) secara tidak langsung mengisyaratkan adanya gagasan dan narasi, meskipun batasan tingkat pendidikan untuk calon kepemimpinan nasional hanya sampai tamatan sekolah menengah atas saja (UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 169).

Kedua; mengenal calon pemimpin dari aspek kerja dan karyanya dalam memimpin jabatan tertentu atau sebagai masyarakat biasa. Hampir semua pemimpin nasional Indonesia merupakan orang-orang yang memiliki jabatan tersendiri, baik dalam lingkungan pemerintahan sebagai menteri, kepala dan wakil daerah tingkat kota/kabupaten dan provinsi maupun sebagai pimpinan partai politik tertentu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun