Menjelang Pemilu serentak pada tahun 2024 mendatang hingar-bingar politik kian terlihat di mana-mana. Bersama dengan itu, banyak juga problem yang bermunculan menyertai hinggar-binggar dunia perpolitikan kita. Terekam kurang lebih dua persoalan yang dianggap cukup penting untuk diutarakan.
Pertama; kurangnya edukasi politik bagi dan atau terhadap konstituen politik, pada tingkat akar rumput maupun kaum intelektual dan elitis. Persoalannya adalah ternyata masih cukup banyak konstituen politik yang belum begitu memahami kans dan tiket politik untuk masing-masing caleg DPR RI yang menjadi jagoannya. Mereka mengira bahwa untuk menjadi anggota legislatif DPR RI hanya ditentukan oleh suara Dapilnya semata.
Hal demikian terbilang cukup wajar sekali oleh sebab konstituen politik pada sesungguhnya bertingkat-tingkat. Tingkatan konstituen politik ini mengikuti pola logika tingkatan pemilih politik pada umumnya. Ada konstituen politik emosional. Ada konstituen politik transaksional.Â
Ada pula konstituen politik cerdas dan kritis. Dua tipologi konstituen sebelumnya, emosional dan transaksional, merupakan konstituen politik yang kurang melek (dengan) politik, irasional dan tidak kritis. Mereka berpolitik hanya sekedar menyalurkan hak politiknya sekaligus ikut ramai saja di dalamnya.
Tipologi konstituen politik semacam itu _meminjam istilah (hukum) Islam_ disebut dengan seorang muqallid, orang yang berpolitik hanya sekedar ikut-ikutan, termasuk mengikuti trand dan ramai saja. Seorang muqallid adalah orang yang tidak mempelajari dan memiliki ilmu khusus dalam dunia perpolitikan.Â
Sama dalam agama, seorang tidak mempelajari dan mendalami ilmu agama secara khusus dikatakan sebagai muqallid, hatta dirinya seorang doctors dan profesor sekalipun. Konsekuensinya adalah eksistensi politiknya sangat ditentukan oleh "arah angin". Sekiranya "arah angin" berhembus ke Barat, maka tiada kuasa bagi seorang muqallid kecuali turut mengikutinya.
Kedua; kurangnya kesadaran etik dalam politik. Problem ini bukan saja terjadi pada masyarakat akar rumput, tetapi rupanya juga terjadi pada kalangan intelektual dan elitis. Problem ini terbilang banyak, namun dibatasi hanya pada "arogansi politik".Â
Wujudnya dapat dipotret secara langsung dalam jagat perpolitikan kita, yakni tindakan "meremehkan" hal-hal elementer dalam politik. Misalnya, meremehkan suara pada wilayah tertentu. Meskipun, suara politik kita sudah terbilang aman dan suara pada wilayah tertentu dalam dapil tidak begitu signifikan misalnya, tidak lantas kemudian dikatakan suara daerah tersebut tidak penting dan tidak dibutuhkan.
Sekiranya logika "arogansi politik" semacam ini mengudara dari kalangan muqallid politik (mungkin) tidak ada masalahnya. Wong, muqallid politik tidak memiliki pembendaharaan ilmu yang cukup untuk menjelaskan hal ihwal yang menjadi pilihan dan tindakan politiknya.Â
Namun, rupa-rupanya logika semacam itu mengudara dari kalangan intelektual dan elitis. Sehingga, memberikan kesan dan pesan politik yang nampaknya kurang elegan dan enak untuk didengar, apalagi ditauladani sebagai sebuah kecerdasan dan pencerahan politik di tengah-tengah maraknya fenomena politik nir akal dan moralitas. Meskipun, tidak dinafikan bahwa logika demikian bisa saja bagian otokritik terhadap laku politik tertentu.
Dalam kamus politik, konstituen politik memiliki kedudukan politik yang terbilang sangat penting. Bukan semata hanya sebagai rakyat tanpa embel-embelnya, tetapi konstituen politik memiliki kedaulatan politik penuh dalam sistem politik demokrasi.Â
Mereka adalah "tuhan" dalam sistem politik demokrasi; suara rakyat adalah suatu "tuhan" (vox populi vox dei). Suara politik rakyat sangat menentukan denyut nadi perpolitikan demokrasi.Â
Ketika terjadi pembungkaman dan pengkhianatan terhadap rakyat, maka suara rakyat berubah menjadi "politik perlawanan"; perlawanan terhadap para pembajak demokrasi. Suara rakyat tidak semata tersalurkan melalui pemilu, tetapi juga akan tersalurkan melalui parlemen jalanan.
Apalagi dalam sistem politik demokrasi, pemilu bukan semata menjadi ajang untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, tetapi juga sekaligus sebagai ajang untuk memburuh suara politik dari kalangan rakyat. Karenanya, mereka-mereka yang dikatakan sebagai politisi akan melakukan "pelbagai cara" untuk dapat menggaet dan mendapatkan suara rakyat, baik bagi politisi dan partai yang baru pertama kali ikut pemilu maupun incumbent.Â
Sebab, satu saja suara rakyat sangat berarti dan menentukan sekali dalam politik. Hatta suara politik tersebut dari kalangan rakyat biasa dan menjadi oposisi politik sekalipun. Sebab, semua suara dalam politik demokrasi adalah sama; sama-sama sebagai satu suara sekaligus sangat menentukan nasib politik.
Urgensitas suara konstituen politik ini bisa dilihat pada kenyataan politik di lapangan bahwa masing-masing politisi dan partai berupaya dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan dan meng-up suara politik dalam setiap tahun politik. Tidak ada ceritanya mesin politik partai tidak bekerja dengan baik dan maksimal dalam masalah ini.Â
Malahan "kemenangan" partai politik dalam setiap kontestasi politik dengan perolehan suara nasional (parlemen threshold) tertentu menjadi "program dan target khusus" bagi masing-masing partai politik. Mesin partai akan bekerja melalui empat pendekatan, yaitu upward approach (kuasa politik), downward approach (rakyat), inward approach (kader-politisi) dan media approach.
 Suara rakyat memberikan dampak dan pengaruh secara khusus pada dua aspek penting dalam setiap kontestasi politik. Aspek pertama adalah suara rakyat akan mempertahankan, menambah dan atau mengurangi perolehan suara caleg pada masing-masing dapil. Rakyat memilih atau tidak sangat mempengaruhi perolehan suara caleg pada dapil masing-masing.Â
Begitu pula halnya juga terhadap perolehan suara nasional partai. Suara rakyat kalau tidak menambah suara dapil, setidak-tidaknya akan menambah suara nasional partai hatta penambahannya hanya sampai satu digit saja. Sebab, tidak ada gunanya perolehan suara dapil tertentu super dahsyat, sementara itu perolehan suara nasional partai anjlok. Bisa-bisa saja tidak mendapatkan tiket politik untuk melenggang ke Senayan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa "arogansi politik" merupakan anomali, akrobat sekaligus preseden buruk dalam jagat perpolitikan kita. Ketika baru pertama kali bertarung dalam politik dengan modalitas keyakinan dan optimisme serta sedikit massa, konstituen politik diandaikan sebagai seorang "raja" yang dielu-elukan, dipuja-puja dan diglorifikasi dengan sedemikian rupa melalui kerja-kerja politik, mulai dari sosialisasi, kempanye dan lainnya, sampai-sampai pelbagai retorika politik pun dimainkan untuk sebisa mungkin menciptakan public trust.Â
Namun, ketika terpilih dan bisa leluasa untuk membangun kekuatan politik baru melalui relasi kuasa, konstituen politik malah dikatakan tidak penting dan dibutuhkan.
Nyaris sama dengan fenomena laku politik lainnya yang juga menjadi bagian dari anomali, akrobat dan preseden buruk bagi masa depan integritas dalam demokrasi. Di mana ada politisi yang begitu luar biasa akrab dengan masyarakat dalam kerja-kerja politiknya (sosialisasi dan kempanye politik), namun ketika terpilih malah menjadi "kacang lupa kulit". Mereka tidak pernah lagi nongol di masyarakat, hatta hanya sekedar menyetor muka sekalipun. Kalau pun terpaksa, mereka akan datang ketika menyerap aspirasi melalui program reses atau kunker.
Selebihnya, mereka mendadak menjadi manusia amnesia; manusia yang begitu mudah mengobral janji manis dalam kempanye politik, namun begitu mudah pula melupakannya.
Tiket Politik Calon Anggota SenayanÂ
Dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 1 ayat (3) dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat). Pasal ini menjadi basis fundament dalam menyelenggarakan negara dan sistem pemerintahan. Konsekuensinya, penyelenggaraan hal ihwal terkait dengan negara harus berdasarkan aturan hukum tertentu yang diatur dan berlaku dalam negara.Â
Tidak boleh adanya kekuasaan politik yang seenaknya menyelenggarakan negara tanpa ada aturan hukumnya, baik kekuasaan politik yang bernama presiden maupun hanya sebatas politisi dan partai politik saja. Sebab, penyelenggaraan negara berbasiskan kekuasaan semata rentan mengalami abuse of power.
 Politik demokrasi sebagai bagian dari penyelenggaraan negara tentunya juga diatur sedemikian rupa dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi politik demokrasi berbicara tentang "kompetisi" masing-masing politisi dan partai politik dalam merebut kekuasaan politik.Â
Tentunya, sangat boleh jadi pelbagai cara akan dilakukan untuk menjadi sang pemenang. Seperti logika politik seorang Machiavelli yang cenderung menghalalkan pelbagai cara untuk sampai pada puncak tujuan.Â
Pun juga karena pada kenyataannya manusia memiliki potensi sebagai "homo homini lupus est" (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) sebagaimana dawuh seorang Thomas Hobbes. Itulah mengapa dalam kondisi ada aturan hukum sekalipun, kejahatan masih tetap eksis dan berkembang biak.
Karena itu, aturan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan secara umumnya wabilkhusus untuk politik dan Pemilu sangat penting sekali. Dengan aturan tersebut aktivitas politik menjadi teratur dan terkontrol dalam koridor-koridor hukum.Â
Terdapat banyak regulasi yang secara khusus mengatur hal ihwal terkait dengan politik demokrasi dalam bernegara. Salah satunya adalah aturan yang mengatur soal seputar menjadi anggota legislatif tingkat DPR RI. Di antara peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ihwa tersebut adalah UUD 1945 BAB VII Tentang Dewan Perwakilan Rakyat pasal 19 ayat (1); dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) jo. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022.
Dalam aturan tersebut setidaknya terdapat dua poin penting terkait dengan syarat menjadi anggota Senayan. Kedua poin dimaksud dalam tulisan ini kemudian diistilahkan dengan "tiket" yang digunakan oleh seorang calong anggota Senayan untuk dapat leluasa melenggang masuk ke Senayan.Â
Tiket pertama terkait dengan partai politik, khususnya dalam kaitannya dengan perolehan suara nasional partai atau sering disebut dengan parlemen threshold (PT).Â
Sementara tiket kedua adalah terkait dengan calon anggota DPR RI, khususnya pada pasal perolehan suara pada masing-masing dapil. Kedua tiket ini saling terkait-hubung antar satu dengan lainnya. Suara dapil menentukan PT partai dan PT partai menentukan suara dapil.
Tentunya, tiket politik untuk calon anggota Senayan yang dimaksud dalam percakapan ini adalah tiket yang akan dibawa oleh seorang calon anggota Senayan untuk bisa melenggang ke Senayan. Dengan kata lain, tiket yang dimaksud adalah apa-apa saja yang bisa membuat seorang calon anggota Senayan bisa tembus ke Senayan setelah dirinya dinyatakan sebagai peserta pemilu pada tingkat DPR RI.
Sehingga, tulisan ini tidak akan membahas hal ihwal terkait dengan calon anggota Senayan sebelum dinyatakan sebagai peserta yang sah untuk bertanding pada pemilu 2024 mendatang. Karena, hal-hal sebelum menjadi calon anggota DPR RI yang sah sudah terpenuhi dengan adanya ketetapan KPU terkait dengan Partai politik dan caleg DPR RI peserta pemilu.
Persoalannya terletak pada apakah anggota DPR RI dan partai politik bisa lolos ke Senayan atau tidak pada pemilu 2024 mendatang? Tidak mungkin seorang caleg DPR RI dan partai politik yang sudah dinyatakan sebagai peserta pemilu pada 2024 mendatang langsung seketika itu lolos tembus ke Senayan.Â
Nah, untuk bisa lolos setidaknya harus memenuhi dua tiket dimaksud, yaitu tiket terkait dengan perolehan suara caleg DPR RI pada masing-masing dapil dan tiket perolehan suara nasional partai politik berdasarkan standar parlemen threshold yang telah ditetapkan, sekitar empat persenan. Pada tahapan inilah mesin politik masing-masing partai bekerja untuk memastikan caleg dan partainya bisa tembus Senayan.
Tiket Suara Dapil Caleg
Poin pertama ini mengandaikan bahwa tiket paling utama yang harus dipersiapkan dengan matang oleh masing-masing caleg DPR RI adalah mengumpulkan suara sebanyak mungkin pada masing-masing Dapilnya. Karena, perolehan suara politik masing-masing caleg DPR RI pada setiap Dapil menjadi tiket awal untuk melenggang dan melangkah maju menuju ke Senayan.Â
Dikatakan tiket awal oleh sebab nasib masing-masing caleg DPR RI bukan semata-mata ditentukan oleh perolehan suara pada Dapil masing-masing. Akan tetapi, masih terdapat tiket lainnya yang harus terpenuhi untuk menyempurnakan tiket pertama terlebih dahulu baru kemudian seorang caleg DPR RI bisa dinyatakan berada pada "titik aman".
Intinya, pada tiket pertama ini seorang caleg DPR RI bersama tim dan kru-krunya harus memastikan terlebih dahulu perolehan suara pada Dapilnya masing-masing. Dalam konteks demikian, para caleg DPR RI bisa menggerakkan segala sumberdaya yang dimiliki untuk bisa menggaet dan mendapatkan simpatik dari konstituen politik pada Dapilnya.Â
Di sini masing-masing caleg memiliki peluang dan tantangan yang sama, hatta caleg lama maupun pendatang baru sekalipun. Karena, masing-masing akan bekerja dengan caranya agar bisa mendapatkan simpatik dari masyarakat selanjutnya memperoleh suara yang maksimal untuk bisa melenggang ke Senayan. Meskipun, tidak dinafikan bahwa caleg incumbent nampaknya memiliki peluang yang agak besar dibandingkan dengan caleg pendatang baru.
Jumlah Dapil (daerah pemilihan) dan jumlah kursi anggota DPR RI yang diperebutkan masing-masing calon anggota DPR RI pada pemilu 2024 mendatang adalah 84 Dapil dan 580 kursi sebagaimana yang termuat dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2024 mendatang.Â
Sementara jumlah kursi yang diperebutkan pada setiap Dapil sekurang-kurangnya enam kursi dan sebanyak-banyaknya delapan kursi. Untuk dapat tiket politik aman, calon anggota DPR RI mengantongi perolehan suara politik perdapil sekurang-kurangnya 40.000 sampai 60.000 suara ke atas untuk bisa mendapatkan satu tiket kursi pada Dapilnya.
Untuk tiap-tiap Dapil terdapat banyak sekali caleg yang merebutkan kursi pada Dapilnya masing-masing yang jumlahnya sangat kecil. Misalnya, untuk Dapil A pada provinsi A terdapat 6 kursi. Sementara jumlah caleg dari masing-masing partai peserta pemilu sebanyak 102 (dari jumlah 17 partai peserta pemilu dikali dengan jumlah kursi pada Dapil A).Â
Secara logika, terlampau besar jumlah peserta caleg untuk merebut 6 buah kursi untuk Dapil A. Karena bagaimana pun mesin politik bekerja untuk setiap Dapil, tetap saja cuman 6 kursi yang yang akan diperoleh untuk Dapil A. Namun, begitulah kenyataan politik demokrasi. Semua caleg dituntut untuk berkompetisi dalam merebutkan 6 kursi pada Dapil A. Mereka berkompetisi dengan cost politik yang terlampau besar hanya untuk merebut 6 kursi.
Sehingga, para caleg pada tiap-tiap Dapil tidak boleh merasa cukup dengan perolehan suara pada setiap Pemilu ditambah dengan kerja-kerja politik pasca terpilih menjadi anggota legislatif. Apalagi jika rival politik pada Dapil yang sama terbilang potensial, punya kans politik yang begitu besar untuk memenangkan kembali pertarungan dengan menambah angka untuk perolehan suara sebelumnya. Mereka semuanya bekerja tanpa henti untuk bisa mengamankan suara pada masing-masing Dapilnya. Bahkan mereka bekerja untuk menambah perolehan suara.Â
Mereka tidak membiarkan ada suara stagnan, apalagi berkurang jauh. Karena, sia-sialah kerja-kerja politik caleg incumbent jika tidak ada penambahan suara yang signifikan pada Pemilu. Di sinilah di antaranya letak problematik dan tidak relevannya "arognasi politik" yang mengandaikan suara pada daerah tertentu tidak dibutuhkan.
Tiket Suara Nasional Partai
Berbeda dengan sebelumnya, pada point kedua ini mengandaikan bahwa perolehan suara Dapil untuk masing-masing caleg pada akhirnya kembali terpulang pada nasib perolehan suara nasional partai. Sehingga, perolehan suara nasional partai merupakan tiket penentu untuk nasib caleg pemenang pada masing-masing Dapil.Â
Pada konteks ini, partai politik harus menggerakkan segenap sumberdayamya untuk bisa mendapatkan perolehan suara nasional, sekurang-kurangnya empat persen. Karenanya, partai politik tidak hanya fokus dan menyasar pada satu titik saja dalam mengamankan perolehan suara nasionalnya. Sebab, masing-masing Dapil memberikan kontribusi yang sama terhadap perolehan suara nasional partai politik, hatta terhadap Dapil yang jumlah pemilihnya relatif jauh lebih sedikit dibandingkan Dapil lain.
Angka empat persen sebagai syarat parlementery threshold bagi partai peserta pemilu bukan angka remeh temeh, meskipun hanya, lagi-lagi hanya, empat persen, melainkan angka horor dan maut. Angka persennya memang terbilang kecil, empat persen, tetapi angka demikian paling dikhawatirkan dan dicemaskan oleh masing-masing pimpinan partai politik.Â
Karena itu, upaya untuk menggodok kembali parlemen threshold melalui revisi peraturan perundang-undangan terkait menjadi kabar gembira sekaligus kabar menakutkan. Kabar gembira manakala revisi itu memperlihatkan hak kedaulatan rakyat yang tersalurkan melalui masing-masing partai.Â
Dengan kata lain, jika revisi menghendaki adanya penurunan angka parlemen threshold. Sementara menjadi kabar yang menakutkan manakala ada tuntutan untuk penambahan angka parlemen threshold.
 Hal demikian karena pada kenyataannya sistem politik kita secara langsung maupun tidak langsung mengklasifikasikan eksistensi partai politik menjadi dua kategori umum. Ada partai namanya besar dan ada pula namanya partai kecil. Besar dan kecilnya partai bukan dilihat dari komposisi kepengurusan partainya, akan tetapi lebih pada perolehan suara nasional. Partai besar adalah partai yang mempunyai perolehan suara yang terbilang besar dalam setiap kontestasi politik.Â
Sementara partai kecil adalah partai dengan perolehan suara nasional terbilang standar. Partai kecil ada yang tembus sampai di Senayan dengan perolehan suara nasional yang begitu mengkhawatirkan.Â
Ada pula yang tidak bisa tembus ke Senayan oleh sebab perolehan suara nasionalnya tidak memenuhi persyaratan parlemen threshold, hatta mereka sebagai peserta  pemilu paling rajin dan aktif sekaligus dalam setiap kali Pemilu.
Bagi partai besar, penambahan angka parlemen threshold tidak begitu mengkhawatirkan dan mencemaskan mereka. Mereka malah lebih senang dan gembira karena dengannya upaya perampingan partai politik berbasiskan pada logika konstitusi sesat mereka dapat terwujud.
Juga upaya untuk menguasai parlemen dan termasuk eksekutif dan lainnya menjadi mudah dan aman terkendali. Hal demikian berbeda dengan nasib partai kecil, mereka malah lebih mengkhawatirkan dan mencemaskan adanya penambahan angka parlemen threshold. Karena hal demikian bukan semata merugikan hak konstitusional dan kedaulatan rakyat, akan tetapi juga merugikan partai politiknya. Mereka tidak bisa lagi banyak "bertingkah" untuk membela dan memperjuangkan hak-hak politik konstituen politiknya  sekaligus hak-hak mereka melalui jalur politik parlemen dan seterusnya.
Prinsip Mungkin Lagi Rasional dalam Politik
Dalam percakapan (ilmu) logika ada dikenal-sebut dengan istilah Prinsip Niscaya Lagi Rasional (PNLR) yang terdiri dari empat prinsip dasar, yaitu prinsip identitas, prinsip non kontradiksi, prinsip kausalitas dan prinsip keselarasan.Â
Prinsip logika ini terbilang sangat penting sekali bagi sistem imun akal pikiran dalam melakukan aktivitas penalaran dalam membaca dan mendialogkan realitas, memberikan petunjuk sekaligus bimbingan bagi akal manusia untuk berpikir dan bernalar. Keberadaannya merupakan konstruksi terhadap watak realitas sekaligus cara berpikir yang baik dan benar.Â
Muatan kebenaran yang terkandung dalam rumusannya juga merupakan nilai-nilai universal pada fakultas jiwa manusia. Sehingga, manusia-manusia rasional tidak akan mungkin menolaknya sebagai sesuatu yang niscaya lagi rasional.
Prinsip demikian dikatakan niscaya lagi rasional oleh sebab rumusan-rumusan prinsipnya memang mengandung prinsip-prinsip yang niscaya lagi rasional. Misalnya, prinsip identitas yang mengandaikan bahwa sesuatu hanya sama dengan sesuatu itu, A hanya sama dengan A (A=A). Prinsip ini adalah prinsip universal, semua orang niscaya menerimanya sebagai sesuatu yang rasional. Karena, pada kenyataannya A hanya sama dengan A. Tidak mungkin bukan A sama dengan bukan A.Â
Pun prinsip non kontradiksi yang mengandaikan bahwa sesuatu tidak (mungkin) sama dengan bukan sesuatu itu, A tidak akan mungkin sama dengan yang bukan A (A# -A). Jika pada waktu bersamaan A adalah A dan sekaligus A bukanlah A, maka keduanya secara otomatis akan terjadi kontradiksi tidak beraturan. Begitu pula dua prinsip lainnya.
Maka, dalam politik ada yang diistilahkan dengan "Prinsip Mungkin Lagi Rasional" yang disingkat dengan "PMLR". Prinsip ini mengandaikan bahwa dunia politik adalah dunia yang penuh dengan pelbagai kemungkinan dan kemungkinan itu adalah sesuatu yang rasional dalam dunia politik.Â
Dikatakan demikian karena watak dari realitas politik adalah "kemungkinan" alias politik tidak mengenal istilah pasti dan niscaya. Ya, kepastian dan keniscayaan dalam politik hanya bersifat sementara dan antar waktu saja; tidak abadi. Bahkan kepastian dan keniscayaannya hanya untuk mewujudkan kemungkinan dalam politik. Semua hal ihwal terkait dengan politik memiliki dan membuka ruang kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan di dalamnya. Meskipun demikian, kemungkinan dalam kamus dan praktek politik memiliki kalkulasi rasionalitas tersendiri; rasionalitas berdasarkan logika politik partai masing-masing.
Manifestasi PMLR bisa diterapkan sekaligus dilihat langsung pada fakta-fakta politik di lapangan. Bagaimana kita melihat kemungkinan caleg dan partai politik incumbent terdepak dan terlempar dari Senayan. Pun begitu halnya bagaimana kita melihat kemungkinan caleg dan partai baru sebagai peserta pemilu mengambil bagian dalam percaturan politik lalu kemudian melenggang ke Senayan.Â
Pun begitu halnya juga bagaimana caleg dan partai peserta pemilu baru yang sering jatuh bangun dalam setiap kali Pemilu berjuang untuk mengambil bagian dalam percaturan politik nasional, meskipun nantinya kembali keok dan terseok seperti biasanya. Bisa juga digunakan untuk melihat kemungkinan dalam dunia koalisi dan oposisi. Saat Pemilu tidak berkoalisi, namun setelah Pemilu berkoalisi. Bahkan bisa juga digunakan untuk melihat kemungkinan dalam manuver, intrik dan intimidasi politik dalam penentuan partai koalisi dalam pencapresan dan seterusnya.
Banyak contoh kasus terkait dengan logika PMLR ini. Pertama; banyak caleg incumbent yang terdepak dari Senayan karena perolehan suara Dapilnya tidak signifikan, baik tidak signifikan karena perolehan suaranya berkurang dan stagnan maupun karena rival incumbent maupun pendatang baru malah melambung dan menggesernya.Â
Contoh untuk kasus ini terbilang banyak. Di antaranya adalah mantan Ketua DPR dan Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Marzuki Ali, gagal kembali ke Senayan. Begitu juga dengan Wakil Ketua Umum Demokrat, Max Sopacua, Akbar Faisal, Budiman Sudjatmiko, Marurait Sirait dan lain sebagainya pun tidak lolos ke Senayan. Bahkan incumbent banyak partai politik yang tersebar pada banyak Dapil juga dinyatakan terpental pada kontestasi politik kedua dan ketiga kalinya.
Kedua; banyak caleg yang memperoleh suara pada Dapilnya begitu signifikan, akan tetapi perolehan suara nasionalnya tidak memenuhi persyaratan parlemen threshold alias tidak lolos ke Senayan. Contoh kasus ini banyak terjadi pada beberapa partai politik, baik partai politik yang memiliki perolehan suara nasionalnya relatif sedikit (2 sampai 3 persenan) maupun partai politik yang memperoleh suara nasionalnya sampai 4 persenan ke atas.
Untuk partai politik yang PTnya hanya 2 sampai 3 persenan juga agak variatif. Ada yang memang pertama tembus ke Senayan seperti Partai Bulan Bintang. Pada pemilu 1999, PBB pernah tembus Senayan. Namun, setelah itu terpental hingga dengan pemilu 2019 kemarin. Ada pula yang belum sempat tembus ke Senayan seperti partai-partai baru.
Sementara, partai politik yang pernah memperoleh suara nasional partainya hingga 4 persenan ke atas dan tembus ke Senayan, namun pada pemilu 2019 terdepak dari Senayan adalah Partai Hanura. Padahal pada pemilu 2014 Hanura memperoleh suara nasional 5.26 persen.Â
Sama dengan sebelumnya, masing-masing caleg pada partai ini mempunyai perolehan suara Dapil hingga mendapat 1 kursi, namun karena partai tidak tembus PT, maka mereka pun tidak bisa melenggang ke Senayan. Kemungkinan-kemungkinan lain pun bisa dilihat dengan pelbagai informasi yang dilansir oleh banyak lembaga survei terkait dengan nasib beberapa partai politik pada pemilu 2024 mendatang. Di mana dikatakan bahwa banyak partai politik incumbent peserta pemilu 2024 mendatang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan PT, sehingga tidak bisa melenggang ke Senayan.
Kemungkinan-kemungkinan demikian dapat terjadi dikarenakan banyak faktor, eksternal maupun internal. Faktor eksternal misalnya, banyak bermunculan partai dan caleg baru yang memiliki kans politik yang begitu besar, baik dari aspek jejaring politik, otoritas, cost politik, media, Â relawan, kontribusi dan lain sebagainya.Â
Masing-masing caleg dan partai saling berkompetisi merebut basis massa konstituen politik pada setiap Dapil. Sementara faktor internalnya adalah kurangnya efektif dan maksimalnya kerja-kerja politik partai, kader dan media partai. Selain itu, termasuk faktor internal yang paling berdampak adalah terjadinya konflik di internal partai antara sesama kader-kader potensi partai. Belum lagi bersama dengan itu juga terdapat pelbagai kasus yang menyandera kader dan partai, semisal korupsi, public trust dan lainnya.
Yang Mesti DilakukanÂ
Sebenarnya banyak hal yang mesti dilakukan, baik oleh caleg dan partai politik maupun partisipan politik masing-masing caleg dan partai. Pertama sekali mungkin kita harus memperbanyak berdoa. Doa merupakan senjata yang paling ampuh bagi orang-orang beragama.Â
Setidaknya fungsi doa antara lain memberikan sugesti moral dalam melakukan ikhtiar sekaligus mengantisipasi peristiwa-peristiwa misterium yang terjadi di luar kalkulasi dan ikhtiar politik yang dilakukan. Ya, doa bisa mengawal pelbagai kemungkinan-kemungkinan politik yang telah dilakukan.Â
Doa bisa mengawalnya dari balik ketakberdayaan manusia, ia bekerja secara senyap melalui kekuatan maha dahsyat, Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab, tidak ada yang mustahil dalam kamus doa. Semuanya menjadi mungkin dan bahkan wajib jika di sana ada titik perjumpaan antara ikhtiar dengan munajat doa.
Selain itu, paling penting juga untuk dilakukan adalah melakukan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dari pelbagai penyakit hati dan sosial. Di antara penyakit hati dan sosial yang harus segera disemayamkan adalah penyakit kesombongan, yakni menolak kebenaran (batharal haqq) dan meremehkan orang lain (ghamtunnas). Banyak di antara kita terjangkiti penyakit al-kibr tanpa kita sadari. Wujud sombong pasal meremehkan manusia terbilang cukup banyak sekali.Â
Salah satu di antara sekian banyak itu adalah tidak merangkul orang lain karena pernah berbeda dan berseberangan. Belum lagi meremehkan orang karena memiliki kuasa politik atau karena merasa berada pada barisan orang-orang yang memiliki backingan kuasa politik yang kuat. Sehingga, seenaknya kita meremehkan orang lain yang berbeda dengan kita.
Terakhir, para caleg dan partai politik maupun partisipan politik harus bekerja dengan lebih maksimal lagi. Tidak hanya bekerja untuk caleg pada Dapilnya saja, akan tetapi bisa diperluas sayap kerja-kerja politik untuk Dapil lain yang memungkinkan untuk meng-up perolehan suara nasional partai. Untuk point ini bisa dimanfaatkan jejaringan, konektivitas dan relasi masing-masing. Semua partisipan yang mempunyai jagoan masing-masing pasti juga memiliki relasi antar provinsi dan lainnya.Â
Di sana bisa digerakkan relasi pertemanan, guru-murid dan lainnya untuk memilih caleg DPR RI dari partai jagoan kita pada. Kecuali memang relasi kolega juga memiliki jagoannya tersendiri pada Dapilnya. Karena, semuanya bisa membantu suara caleg jagoan kita sekaligus partai jagoan kita, sehingga caleg jagoan kita lolos bersamaan juga dengan lolosnya partai jagoan kita.***
Azis Maloko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H