Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Tiket Politik Calon Anggota Senayan: antara Suara Dapil dan Suara Nasional Partai

18 Agustus 2023   22:35 Diperbarui: 22 Agustus 2023   19:30 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pun prinsip non kontradiksi yang mengandaikan bahwa sesuatu tidak (mungkin) sama dengan bukan sesuatu itu, A tidak akan mungkin sama dengan yang bukan A (A# -A). Jika pada waktu bersamaan A adalah A dan sekaligus A bukanlah A, maka keduanya secara otomatis akan terjadi kontradiksi tidak beraturan. Begitu pula dua prinsip lainnya.

Maka, dalam politik ada yang diistilahkan dengan "Prinsip Mungkin Lagi Rasional" yang disingkat dengan "PMLR". Prinsip ini mengandaikan bahwa dunia politik adalah dunia yang penuh dengan pelbagai kemungkinan dan kemungkinan itu adalah sesuatu yang rasional dalam dunia politik. 

Dikatakan demikian karena watak dari realitas politik adalah "kemungkinan" alias politik tidak mengenal istilah pasti dan niscaya. Ya, kepastian dan keniscayaan dalam politik hanya bersifat sementara dan antar waktu saja; tidak abadi. Bahkan kepastian dan keniscayaannya hanya untuk mewujudkan kemungkinan dalam politik. Semua hal ihwal terkait dengan politik memiliki dan membuka ruang kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan di dalamnya. Meskipun demikian, kemungkinan dalam kamus dan praktek politik memiliki kalkulasi rasionalitas tersendiri; rasionalitas berdasarkan logika politik partai masing-masing.

Manifestasi PMLR bisa diterapkan sekaligus dilihat langsung pada fakta-fakta politik di lapangan. Bagaimana kita melihat kemungkinan caleg dan partai politik incumbent terdepak dan terlempar dari Senayan. Pun begitu halnya bagaimana kita melihat kemungkinan caleg dan partai baru sebagai peserta pemilu mengambil bagian dalam percaturan politik lalu kemudian melenggang ke Senayan. 

Pun begitu halnya juga bagaimana caleg dan partai peserta pemilu baru yang sering jatuh bangun dalam setiap kali Pemilu berjuang untuk mengambil bagian dalam percaturan politik nasional, meskipun nantinya kembali keok dan terseok seperti biasanya. Bisa juga digunakan untuk melihat kemungkinan dalam dunia koalisi dan oposisi. Saat Pemilu tidak berkoalisi, namun setelah Pemilu berkoalisi. Bahkan bisa juga digunakan untuk melihat kemungkinan dalam manuver, intrik dan intimidasi politik dalam penentuan partai koalisi dalam pencapresan dan seterusnya.

Banyak contoh kasus terkait dengan logika PMLR ini. Pertama; banyak caleg incumbent yang terdepak dari Senayan karena perolehan suara Dapilnya tidak signifikan, baik tidak signifikan karena perolehan suaranya berkurang dan stagnan maupun karena rival incumbent maupun pendatang baru malah melambung dan menggesernya. 

Contoh untuk kasus ini terbilang banyak. Di antaranya adalah mantan Ketua DPR dan Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Marzuki Ali, gagal kembali ke Senayan. Begitu juga dengan Wakil Ketua Umum Demokrat, Max Sopacua, Akbar Faisal, Budiman Sudjatmiko, Marurait Sirait dan lain sebagainya pun tidak lolos ke Senayan. Bahkan incumbent banyak partai politik yang tersebar pada banyak Dapil juga dinyatakan terpental pada kontestasi politik kedua dan ketiga kalinya.

Kedua; banyak caleg yang memperoleh suara pada Dapilnya begitu signifikan, akan tetapi perolehan suara nasionalnya tidak memenuhi persyaratan parlemen threshold alias tidak lolos ke Senayan. Contoh kasus ini banyak terjadi pada beberapa partai politik, baik partai politik yang memiliki perolehan suara nasionalnya relatif sedikit (2 sampai 3 persenan) maupun partai politik yang memperoleh suara nasionalnya sampai 4 persenan ke atas.

Untuk partai politik yang PTnya hanya 2 sampai 3 persenan juga agak variatif. Ada yang memang pertama tembus ke Senayan seperti Partai Bulan Bintang. Pada pemilu 1999, PBB pernah tembus Senayan. Namun, setelah itu terpental hingga dengan pemilu 2019 kemarin. Ada pula yang belum sempat tembus ke Senayan seperti partai-partai baru.

Sementara, partai politik yang pernah memperoleh suara nasional partainya hingga 4 persenan ke atas dan tembus ke Senayan, namun pada pemilu 2019 terdepak dari Senayan adalah Partai Hanura. Padahal pada pemilu 2014 Hanura memperoleh suara nasional 5.26 persen. 

Sama dengan sebelumnya, masing-masing caleg pada partai ini mempunyai perolehan suara Dapil hingga mendapat 1 kursi, namun karena partai tidak tembus PT, maka mereka pun tidak bisa melenggang ke Senayan. Kemungkinan-kemungkinan lain pun bisa dilihat dengan pelbagai informasi yang dilansir oleh banyak lembaga survei terkait dengan nasib beberapa partai politik pada pemilu 2024 mendatang. Di mana dikatakan bahwa banyak partai politik incumbent peserta pemilu 2024 mendatang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan PT, sehingga tidak bisa melenggang ke Senayan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun