Mohon tunggu...
Azfa Putri Aprilianny
Azfa Putri Aprilianny Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

fangirling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Mengintip Isi Buku Perdata Islam Karya Siska Lis Sulistiani: Memahami Konsep Hukum Keluarga dan Bisnis dalam Islam"

15 Maret 2023   00:51 Diperbarui: 15 Maret 2023   01:01 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JUDUL : Hukum Perdata Islam (Penerapan Hukum Keluarga dan Hukum Bisnis Islam di Indonesia)

PENULIS : Siska Lis Sulistiani, M.Ag., M.E.Sy.

PENERBIT : Sinar Grafika

TAHUN TERBIT : 2018

BAB 1 PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN KEKUATAN HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Hukum yang diartikan sebagai undang-undang yang mengarah pada aturan yang dibentuk oleh lembaga terkait yang dalam berbagai bahasa disebut dengan istilah faw, lex geser legge ley. Hukum pun diartikan sebagai kaidah, ilmu pengetahuan, putusan pengadilan, kebijakan, lembaga social, ataupun petugas Hukum perdata Islam di Indonesia berasal dari perpaduan antara huku perdata, hukum adat dan hukum Islam yang hidup dan berkembang di Indones . Menurut Subekti hukum perdata adalah hukum yang menge kepentingan perseorangan. 

Adapun pengertian hukum perdata secara umun diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang masalah hubungan orang dengan orang lain meliputi hukum perorangan , benda perikatan harta kekayaan termasuk waris dan pembuktian serta daluarsa. Adapun hukum perdata Islam disebut dikenal dengan istilah figh muamalah, yaitu ketentuan hukum Islami yang mengatur hubungan antar- orang perorangan.

Hukam perdata Islam mencangkup hukum keluarga Islam dan Hukum bisnis Islam, meliputi:

  • Hukum perkawinan yang meliputi mekanisme pencatatan perkawinan aspek hukum perceraian, harta gono-gini, akibat hukum terhadap anggota keluarga dan poligami
  • Hukum kewarisan meliputi aspek sengketa hukumnya di Pengadilan Agama
  • Hukum perwakafan, zakat, infak, sedekah, wasiat, dan hibah
  • Hakum bisnis meliputi aspek hukum akad akad mu awadhah (mudharabah, murabahah, ijaroh,  musyarakah, jual beli).

Perkembangan hukum perdata Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendin. Membicarakan hukum Islam sama artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Menurut Suparman Usman ada beberapa alasan yang menyebabkan harusnya mata kuliah hukum Islam tidak terkecuali hukum perdata Islam diajarkan di perguruan tinggi, yaitu sebagai berikut:

  • Alasan sejarah.
  • Alasan demografi, yaitu keadaan mayoritas umat Islam di Indonesia.
  •  Alasan yuridis formal, di mana hukum Islam berlaku secara normatif dan yuridis formal (khususnya wilayah hukum perdata).  
  • Alasan yuridis konstitusional, berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa".
  • Alasan filosofis, berdasarkan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam
  • Alasan ilmiah, bahwa hukum Islam bukan hanya dipelajari di wilayah muslim saja namun di luar wilayah muslim juga baik perguruan tinggi dalam dan luar negeri.

BAB 2 PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Imam Hanafi menganggap bahwa nikah itu mengandung makna hakiki untuk melakukan hubungan suami istri. Imam Syafi`i, memberikan definisi perkawinan adalah akad yang mengandung kepemilikan hak untuk melakukan hubungan suami istri dengan menggunakan lafaz inkah tazwij atau dengan lafaz yang sama artinya dengan kedua lafaz itu. 

Berbeda dengan itu, menurut Imam Hambali perkawinan adalah akad yang dimaksudkan untuk mendapatkan kesenangan seksual dengan menggunakan lafaz inkah atau terwij Dalam definisi lain, Sayyid Sabiq memberikan penjelasan bahwa perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

Khusus terkait Undang- Undang Perkawinan memiliki cin khas yaitu prinsip hukum perkawinan yang terkandung di dalamnya nilai-nilai Islam yang mencoba diakomodir dalam peraturan perundang-undangan. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah, bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian perkawinan seorang suami lebih dari seorang istri meskipun itu dikehendaki oleh piluk pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan bila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan

Rukun perkawinan ada lima, yaitu sebagai berikut:

1. Adanya mempelai laki-laki.

2. Adanya mempelai perempuan.

3. Adanya wali mempelai perempuan atau wakilnya.

4. Adanya dua orang saksi.

5. Ijab dan kabul.

Adapun syarat yang harus dipenuhi dari masing-masing rukun adalah sebagai berikut.

  • Syarat-syarat calon suami:

a. Beragama Islam.

b. Jelas laki-lakinya.

c. Jelas atau orangnya diketahui.

d. Calon laki-laki kenal dan tahu betul bahwa calon isterinya halal dinikahi baginya.

e. Tidak dipaksa tetapi harus ikhtiar (kemauan sendiri)

f. Tidak sedang berihrom haji atau umroh.

g. Bukan mahramnya.

h. Tidak dalam keadaan beristri empat.

  • Syarat-syarat calon istri:

a. Beragama Islam.

b. Jelas perempuannya/bukan khuntsa. c. Sepertujuan dirinya/tidak dipaksa.

d. Tidak bersuami atau dalam iddah orang lain.

e. Bukan mahromnya.

f. Belum perah di li'an.

g. Tidak sedang berihrom haji atau umroh.

  • Syarat-syarat wali:

a. Laki-laki.

b. Beragama Islam

c. Baligh.

d. Berakal sehat.

e. Adil.

  • Syarat-syarat saksi:

a. Beragama Islam.

b. Baligh.

c. Berakal sehat.

d. Merdeka/bukan budak.

e. Kedua orang saksi itu bisa mendengar tidak tuna rungu.

  • Syarat sighot

BAB 3 PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Perjanjian perkawinan dalam lingkup hukum perdata Islam adalah perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak sebelum, atau pada saat perkawinan dilangsungkan atas sepanjang perkawinan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan dan lain-lain selama tidak bertentangan dengan aturan (Undang- Undang dan Hukum Islam).

Syarat sahnya perjanjian ada dua macam, yaitu:

  • Mengenai subjeknya
  • Mengenai objek

Adapun tujuan pasangan membuat perjanjian perkawinan yaitu untuk melindungi secara hukum terhadap harta benda yang dimiliki oleh suami isteri, baik harta bawaan masing-masing pihak maupun harta bersama sebelum dan maupun selama perkawinan berlangsung ataupun jika terjadi perceraian. Pasal 121 KUHPerdata, harta bersama juga meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami isteri, baik sebelum perkawinan, setelah perkawinan, hila pasangan anda memiliki beban utang yang tinggi, anda ikut berkewajiban melunasinya.

BAB 4 WALI DAN PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Wali dalam perkawinan adalah hal yang penting dan menentukan sah atau tidaknya perkawinan, menurut pendapat ulama Syafi'iyah tidak sah perkawinan tanpa adanya wali hagi pihak perempuan, sedang bagi laki-laki tidak diperlukan wali. Menurut ulama Hanafiyah bahwa perkawinan tanpa wali dianggap sah bahkan seoarang wanita dapat mengawinkan dirinya sendiri. Adapun syarat wali seperti yang telah disampaikan pada bab rukun dan syarat perkawinan.

Macam-macam wali, yaitu:

  • Wali Nasab
  • Wali Hakim

Pengertian pembatalan perkawinan menurut kamus hukum adalah suatu tindakan pembatalan suatu perkawinan yang tidak mempunyai akibat hukum yang dikehendaki karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum atau undang-undang. Dalam kajian hukum islam pembatalan perkawinan disebut dengan fasakh yang berarti mencabut atau menghapus atau membatalkan. Atau dalam arti lain perkawinan diputuskan atas permintaan salah satu pihak olch hakim Pengadilan Agama walaupun tidak ada secara pasti ada istilah pembatalan perkawinan dalam literatur fiqh.

Mekanisme pembatalan perkawinan, yaitu:

  • Pengajuan Gugatan
  • Pemanggilan
  • Persidangan
  • Perdamaian
  • Putusan

BAB 5 PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Pencatatan perkawinan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Pencatatan perkawinan sangat penting dilaksanakan oleh pasangan mempelai sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan itu, baik secara agama maupun negara. Dengan buku nikah itu, mereka dapat membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak- haknya sebagai ahlt waris. 

Pencatatan perkawinan memiliki beberapa manfaat, di antaranya untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan itu, maupun menurut perundang-undangan. Hal ini karena sebelum proses perkawinan dan pencatatan perkawinan dilaksanakan, sebelumnya pegawai pencatat terlebih dahulu akan meneliti apakah kedua mempelai calon pengantin tersebut telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan.

Perkawinan yang tidak dicatatkan sangat merugikan bagi istri dan, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal dunia. Selam itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial, perempuan yang perkawinannya tidak dicatatkan sering dianggap menjadi istri simpanan. Selain itu, status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah.

BAB 6 PERCERAIAN, POLIGAMI, DAN HARTA BERSAMA DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Dalam konteks hukum Islam, perceraian diistilahkan "talak' atau furqah. Adapun arti dari talak adalah membuka ikatan dan membatalkan perjanjian, sementara furqah artinya bercerai, yaitu lawan dari berkumpul Selanjutnya kedua kata ini dipakai oleh para ahli fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami istri. 

Dengan demikian, talak adalah tindakan yang dilakukan suami terhadap istri untuk bercerai, baik talak satu, dua dan tiga, talak ini hanya diucapkan dari suami kepada istri maka sah perceraian tersebut. Sementara dalam perspektif yuridis, perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami istri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Secara normatif, talak dalam agama Islam merupakan perkara halal, namun sangat dibenci oleh Allah.

Macam-macam perceraian dalam tinjauan hukum, yaitu:

  • Talak Sunni
  • Talak Bid'i 

Macam-macam perceraian dalam segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istri, yaitu:

  • Talak Raj'i
  • Talak Ba'in

Macam-macam perceraian dalam segi sifat kejelasan, yaitu:

  • Talak Sarih
  • Talak Kinayah

Macam-macam perceraian dalam segi penyampaian talak, yaitu:

  • Talak dengan ucapan
  • Talak dengan tulisan
  • Talak dengan isyarat
  • Talak dengan utusan

Poligami artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami artinya seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri, tetapi dibatasi paling banyak empat orang. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan poligami secara umum sebagai sistem yang dipakai seorang laki (suami) yang kawin lebih dari satu wanita (istri).

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mendefinisikan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa terbentuk- nya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya perkawin- an sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena mati. Berbeda dengan harta bawaan masing-masing suami atau istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing suami dan istri sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

BAB 7 PERWAKAFAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang perwakafan wakaf didefinisikan sebagai "perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuannya guna keperluan ibadah dan kesejahteraan umum menurut syari'ah. Menurut PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa: 

Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syari'ah. Sedangkan dalam buku III Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang, kelompok orang, atau badan hukum dengan memisahkan sebagian harta benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Rukun wakaf yaitu:

  • Sighat
  • Wakif
  • Mauquf
  • Mauquf'Alaih

Unsur-unsur wakaf:

  • Wakif
  • Nadzir
  • Harta benda wakaf
  • Ikrar wakaf
  • Peruntukan harta benda wakaf
  • Jangka waktu wakaf

Tujuan wakaf dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 4 menyatakan bahwa Wakal bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Sedangkan fungsi wakaf dalam KHI Pasal 216 adalah: Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuannya. Menurut Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf bahwa Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. 

Menurut KHI Pasal 216 dan Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, fungsi wakaf dimaksudkan dengan adanya wakaf terciptanya sarana dan prasarana bagi kepentingan umum sehingga terwujudnya kesejahteraan bersama baik dalam hal ibadah ataupun dalam hal muamalah. Dengan demikian orang yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan dapat tertolong kesejahteraannya dengan adanya wakaf. Kemudian umat Islam yang lainnya dapat menggunakan benda wakaf sebagai fasilitas umum sekaligus dapat mengambil manfaatnya.

BAB 8 HUKUM WASIAT DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia. Wasiat dalam baha Belanda dinamakan testament, dalam Pasal 875 BW dikemukakan bahwa surat wasiat (testamen) adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali oleh orang yang menyatakan wasiat itu. Dalam Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam buku III hukum kewarisan, yang dimaksud wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewans kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia Ketentuan tentang wasiat ini terdapat dalam Pasal 194-209 yang mengatur secara keseluruhan prosedur tentang wasiat

Adapun rukun dan syarat wasiat, yaitu:

  • Orang yang memberi wasiat
  • Berakal
  • Baligh
  • Merdeka
  • Tidak mempunyai hutang yang menghabiskan harta
  • Dengan cara sukarela
  • Orang yang menerima wasiat
  • Penerima wasiat sudah ada pada waktu wasiat terwujud.
  • Orang atau badan tertentu.
  • Penerima wasiat cakap untuk menerima wasiat.
  • Penerima wasiat bukan pembunuh dari pewasiat.
  • Penerima wasiat bukan badan maksiat.
  • Penerima wasiat bukan ahli waris dari pemberi wasiat.
  • Barang yang diwasiatkan
  • Bentuk dan pelaksanaan wasiat


BAB 9 HUKUM ZAKAT, HIBAH, INFAK, DAN SEDEKAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 675 ayat (1), zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau lembaga yang dimiliki oleh muslim untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya Sehingga bagi seorang muslim yang mengeluarkan zakat akan dapat membersihkan diri dan jiwanya dari sifat bakhil, kikir dan menjadikan hartanya berkah bagi dirinya, keluarga, dan orang di sekitarnya. Bukan hanya harta yang banyak yang didapat namun harta yang terus-menurus tumbuh dan berkembang dalam kebaikan yang dimaksud dengan berkah, baik dari sumber maupun hasilnya.

Dalam Pasal 675 ayat (4) Bab 1 KHES tentang zakat dan hibah, bahwa hibah adalah penyerahan kepemilikan suatu barang kepada orang lain tanpa imbalan apapun. Berbeda sedikit pengertiannya dalam Buku II KHI Pasal 171 tentang hukum kewarisan bahwa hibah adalah pemberian suatu benda secar sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Pada hakikatnya hibah merupakan akad tabarru (sosial) yang dengan adanya akad tersebut tidak mengharapkan imbal jasa secara materil dan manusia.

Selain itu, dalam Pasal 1666 KUH Perdata hibah adalah perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya dengan cuma-cum dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu

Sedekah ialah pemberian sukarela dari seseorang kepada orang lain yang membutuhkan, baik berupa mater maupun nommateri, minimal seperti tersenyum kepada sesama muslim. Akan tetapi menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 675 ayat (9) sedekah adalah barang yang diberikan semata-mata karena mengharapkan pahala. Adapun infak adalah pengeluaran dari harta seseorang setiap kali ia mendapatkan rezeki sesuai dengan yang dikehendakinya. Dengan kata lain. infak pada dasarnya setiap harta yang dikeluarkan seseorang sesuai dengan keinginannya.

BAB 10 KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Dalam penjelasan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang petentu siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris Sedangkan, dalam Buku II hukum kewarisan KHI Pasal 171 hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Rukun dan syarat waris ada 3 yaitu sebagai berikut:

  • Al-Muwaris (Pewaris)
  • Mati hakiki
  • Mati hukmy
  • Mati taqdiry
  • Al-Waris (Ahli Waris)
  • Tirkah

Asas hukum perkawinan Islam dalam ruang lingkup hukum perdata Islam di Indonesia meliputi beberapa hal sebagai berikut:

  • Asas Integritas
  • Asas Ta'abbudi
  • Asas Huquq Al-Maliyah
  • Asas Huquq Thabi'iyah
  • Asas Ijbari
  • Asas Bilateral
  • Asas Individual
  • Asas Keadilan
  • Asas kematian
  • Asas membagi habis harta warisan

BAB 11 JUAL BELI DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku II Pasal 20 ayat 2 bahwa ba'i secara umum berarti jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran benda dengan uang. Dari pengertian secara umum tersebut terkait jual beli adalah akad pertukaran baik benda maupu harta dengan tujuan kepemilikan, dan selain itu jelas bahwa akad jual beli merupakan akad bisnis yang mengandung imbalan materil sebagai akibat dari transaksi tersebut, berbeda dengan akad sosial.

Seperti yang disebutkan dalam KHES Pasal 56, bahwa unsur jual beli, yaitu:

  • Pelaku transaksi atau pihak-pihak Pelaku transaksi meliputi penjual dan pembeli.
  • Objek transaksi, objek transaksi meliputi harga dan barang.
  • Akad (transaksi)/ kesepakatan.

  • Manfaat dan hikmah yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli dapat diuraikan sebagai berikut.
  • Antara penjual dan pembeli dapat merasa puas dan berlapang dada dengan jalan suka sama suka dan tidak boleh ada yang dirugikan satu sama lain.
  • Dapat menjauhkan seseorang dari memakan atau memiliki harta yang diperoleh dengan cara batil.
  • Dapat memberikan nafkah bagi keluarga dari rezeki yang halal.
  • Dapat ikut memenuhi hajat hidup orang banyak (masyarakat) dan
  • mengajarkan hidup bermasyarakat (sosial).
  • Dapat membina ketenangan, ketenteraman, dan kebahagiaan bagi jiwa karena memperoleh rezeki yang cukup dan menerima dengan rida terhadap anugerah Allah SWT.
  • Dapat menciptakan hubungan silaturahmi dan persaudaraan antara penjual dan pembeli.

BAB 12 SEWA DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Menurut bahasa sewa sering pula digunakan istilah ijarah yang artinys ganti dan upah (imbalan) Al-jaroh adalah akad pemindahan hak guna ata barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa dikuti pemindahan kepemilikan (ownership milkiyah) atau barang itu sendiri. 

Sedangkan dalam KHES Buku II Pasal 20 ayat (9) ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran. Selain itu, sewa menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, yaitu merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, di mana perjanjian ini mempunyai kekuatan hukum yakni sewa menyewa berlangsung dan apabila akad sudah berlangsung, maka pihak yang menyewakan (Mu'ajir) berkewajiban untuk menyerahkan barang (Majur) kepada pihak penyewa (Mustajir) dan dengan diserahkannya manfaat barang atau benda, maka pihak penyewa berkewajiban untuk menyerahkan uang sewaannya.

Rukun sewa (jarah) dalam KHES Pasal 251 yaitu: pihak yang menyewa (mustajir), pihak yang menyewakan (muujir), benda yang dijaralikan (ma jur) dan akad. Adapun syarat terhadap rukun sewa atau ijarah yaitu sebagai berikut.

  • Orang yang menyewakan.
  • Orang yang menyewa dalam hal ini diisyaratkan baligh.
  • Barang atau benda yang disewakan.
  • Sighat atau akad.

Hal-hal yang dapat menyebabkan batal atau berakhirnya perjanjian sewa-menyewa adalah:

  • Terjadinya aib
  • Rusaknya barang yang disewa
  • Masa sewa-menyewa telah habis
  • Adanya uzur

BAB 13 UPAH MENGUPAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Dengan demikian yang dimaksud upah adalah memberikan imbalan sebagai bayaran kepada seseorang yang telah diperintah untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu dan bayaran itu diberikan menurut perjanjian yang telah  disepakati. Bab upah mengupah ini masih dalam kategori bab akad-akad bisnis atau akad mu 'awadhah. Adapun rukun dan syarat upah mengupah adalah sebagai berikut:

  • Orang yang memberi upah, dalam hal ini disyaratkan baligh, berakal dan atas kehendak sendiri.
  • Orang yang menerima upah, dalam hal ini disyaratkan baligh dan berakal
  • Sesuatu yang menjadi objek upah mengupah atau sesuatu yang dikerja- kan, dalam hal ini yang menjadi objek upah mengupah adalah sesuatu yang diperbolehkan menurut agama (Islam).
  • Imbalan sebagai bayaran (upah).
  • Akad (ijab kabul).

Adapun hikmah dari hubungan muamalah dalam bidang upah mengupah selain sebagai bentuk jual beli jasa yang telah Allah halalkan, selain itu dijelaskan di antaranya sebagai berikut.

  • Dapat ikut memenuhi hajat orang banyak dan membuka lapangan pekerjaan.
  • Menumbuhkan sikap saling menolong dan kepedulian terhadap orang lain.
  • Dapat menciptakan hubungan silaturahim dan persaudaraan antara pengupah dan yang diupah.
  • Dapat saling menguntungkan dengan cara yang baik dan sesuai dengan syariah.

BAB 14 SYIRKAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Syirkah itu ialah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha (permodalan ataupun usaha lainnya), yaitu keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama sesuai proporsi. Hasil keuntungan dalam musyarakah juga diatur, seperti halnya pada mudarabah, sesuai prinsip pembagian keuntungan dan kerugian seperti dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah mengenai Bagi Hasil Keuntungan dibagi menurut proporsi yang telah disepakati sebelumnya, kedua pihak memikul risiko kerugian financial. Rukun syirkah yang harus ada dalam melakukan kerja sama anatara dua orang atau lebih sebagai berikut:

  • Aqidaini
  • Sighot
  • Mahal

Syarat-syarat syirkah dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam:

  • Syarat orang (pihak-pihak) yang mengadakan perjanjian serikat atau kongsi itu haruslah
  • Orang yang berakal
  • Baligh
  • Kehendak sendiri
  • Syarat-syarat mengenai modal yang disertakan dalam serikat, hendaklah berupa:
  • Modal yang dapat dihargai
  • Modal yang dijadikan satu oleh masing-masing persero yang menjadi harta perseroan.

Ulama Syafi'iyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa perkongsian (syirkah) terbagi atas empat macam, yaitu:

  • Syirkah Inan
  • Syirkah Mufawadah
  • Syirkah Abdan
  •  Svirkah Wujuh

Ulama Hanafiah membagi menjadi tiga macam, yaitu:

  • Syirkah Amwal
  • Syirkah A'mal
  •  Syirkah Wujuh

BAB 15 MUZARA'AH, MUKHABARAH DAN MUSAQAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Muzara'ah adalah suatu usaha atau kerja sama untuk mengerjakan tanah, baik sawah maupun ladang dengan perjanjian yang telah disepakati bersama antara pemilik tanah dan penggarap tanah bahwa biaya (modal) penggarap tanah ditanggung oleh pemilik tanah dan hasilnya dibagi menurut ketentuan yang telah disepakati bersama serta bibit yang ditanam berasal dari penggarap tanah. 

Sedangkan Mukhabarah adalah suatu usaha atau kerja sama untuk mengerjakan tanah, baik sawah maupun ladang dengan perjanjian yang telah disepakati bersama antara pemilik tanah dan penggarap tanah, di mana biaya (modal) penggarapan tanah ditanggung oleh penggarap tanah dan hasilnya dibagi menurut kesepakatan bersama serta bibit yang ditanam berasal dari penggarap tanah. Musaqah dalam KHES Bab II Pasal 20 ayat 7 adalah kerja sama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan tanaman dengan pem- bagian hasil antara pemilik dengan pemelihara tanaman dengan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang terikat.

Hikmah adanya akad muzara'ah, mukhabarah, dan musaqah adalah sebagai berikut:

  • Lahan yang awalnya tidak atau kurang produktif dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
  • Dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang menganggur untuk memelihara serta memberdayakan lahan dan memperoleh hasilnya.
  • Lahan yang semula tidak terawat dan tidak terpelihara oleh pemiliknya dapat dipelihara dan dikelola dengan baik.
  • Dapat menumbuhkan sikap tolong-menolong dan kepedulian antar sesama manusia.
  • Dapat menciptakan hubungan persaudaraan yang baik antara pemilik tanah dan penggarap tanah.
  • Dapat menciptakan profit secara ekonomi bagi pihak penggarap maupun pemilik lahan.

BAB 16 MUDHARABAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Secara istilah, mudhrabah berarti seorang malik atau pemilik modal menyerahkan modal kepada seorang amil untuk berniaga dengan modal tersebut, di mana keuntungan dibagi di antara keduanya dengan porsi bagian sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam akad. Dalam Fatawa al-Azhar disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mudharabah adalah akad untuk berserikat dalam keuntungan di mana modal dari satu pihak yang berserikat dan pekerjaan dari pihak lain menurut syarat-syarat tertentu.

Sedangkan dalam Fatawa al-Mu'ashirah disebutkan bahwa mudharabah dalam figh Islam merupakan salah satu jenis dari syirkah yang di dalamnya ada pokok modal (ra's al-mal) dari satu pihak dan pekerjaan ('amal) dari pihak yang lain. Mekanismenya, seseorang menyerahkan harta kepada pihak lain untuk diniagakan dengan keuntungan yang diperoleh dibagi di antara keduanya se- suai nisbah yang disepakati dalam akad. 

Menurut Sayyid Sabiq, mudharabah adalah akad di antara dua belah pihak di mana salah satu pihak menyerahkan modal kepada yang lain untuk berniaga pada modal tersebut dengan keun- tungan dibagi di antara keduanya dengan porsi sesuai hasil kesepakatan. Sedangkan menurut Pasal 20 KHES mudharabah adalah kerja-sama antar pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.

Rukun mudharabah terdiri dari dua orang yang melakukan akad (uqilayn) yang terdiri dari pemilik modal (rab al-mal), pengelola modal (amil atau mudharthy, modal (ra's al-mal), dan keuntungan (ribh)". Bagi aqidaya disyaratkan cakap dalam tawkil dan wakalah, karena amil melakukan daya upaya dalam urusan rah al-ml.

Syarat yang berkaitan dengan keuntungan (ribh) adalah sebagai berikut.

  • Keuntungan itu hendaknya diketahui ukurannya oleh kedua belah pihak yang berakad. Tidak diketahuinya ukuran keuntungan dapat menyebabkan rusaknya akad.
  • Keuntungan itu hendaknya bagian yang tersebar dan tidak ditentukan secara pasti, dan sebagian dari keuntungan itu bukan dari ra's al-mal, yakni perbandingan persentase Karena jika keuntungan itu terputus yang ditentukan.

Masa berakhirnya mudharabah menurut Wahbah al-Zuhayli, yaitu:

  • Pembatalan dan larangan tasharruf atau pemecatan.
  • Salah seorang yang berakad meninggal dunia.
  • Salah seorang yang berakad gila Muddharabah itu menjadi batal apabila salah satu pihak yang berakad terkena penyakit gila.
  • Rab al-mal murtad dari Islam.
  • Modal rusak di tangan 'amil.

BAB 17 GADAI DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Gadai menurut Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150 adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Selam itu, menurut KHES Pasal 20 ayat (14) rahn/gadai adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.

Gadai memiliki empat unsur, yaitu rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih Rahin adalah orang yang memberikan gadai, murtahin adalah orang yang menerima gada, marhun atau rahin adalah harta yang digadaikan untuk menjamin utang, dan murhun hik adalah utang. Akan tetapi, untuk menetapkan hukum gadai, Hanafiah tidak melihat kepada keempat unsur tersebut, melainkan melihat kepada pernyataan yang dikeluarkan oleh para pelaku gadai, yaitu rakin dan murtahin. Oleh karena itu, seperti halnya akad- akad yang lain, Hanafiah menyatakan bahwa rukun gadai adalah ijab dan kabul yang dinyatakan oleh rahin dan murtahin." Dalam Pasal 329 KHES yaitu rukun gadai adalah:

  • Ijab qabul (sighat)
  • Pihak yang menggadaikan (rahin)
  • Pihak yang menerima gadai (murtahin)
  •  Objek yang digadaikan (marhun)
  •  Hutang (marhun bih)

Adapun syarat gadai atau rahn, yaitu:

  • Syarat yang terkait dengan aqid (orang yang berakad) adalah ahli tasharaf.
  • Syarat shigat (lafad).
  • Syarat marhum bih (utang).
  • Syarat marhum.

Setelah membaca buku ini saya dapat memahami lebih dalam tentang hukum keluarga dan bisnis dalam Islam, khususnya di Indonesia, dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari serta mengetahui berbagai perspektif dan sudut pandang yang berbeda dalam memahami hukum Islam, terutama dalam konteks hukum keluarga dan bisnis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun