Mohon tunggu...
Ayu WandanaYuantika
Ayu WandanaYuantika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret

mari berbahagia bersama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Obsesi

12 Juni 2022   19:43 Diperbarui: 12 Juni 2022   20:01 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Manusia itu hidup sebagai manusia. Mengapa berusaha begitu keras untuk menyakiti sesama? Kita sama-sama bernapas, kita sama-sama mengunyah makanan, kita sama-sama hidup dengan berkah dari langit.

Lalu apa bedanya? Hanya karena embel-embel "hidup lebih dulu" bukan berarti engkaulah pusat tata surya. Bukankah seharusnya "hidup lebih dulu" mengingatkanmu akan menjadi dewasa. Dewasa memang bukan soal usia, benar. Lantas mengapa manusia yang belum "dewasa" diberi amanah sedemikian rupa?

Seperti Lucas yang selalu sewenang-wenang dan malah memanfaatkan hidupnya yang tentu saja hanya lebih lama beberapa tahun dibandingku. Ia yang percaya diri mengatur semua aspek tentangku, dan kebodohanku yang menurutinya. Kala itu, aku hanya bisa mengangguk dan memercayai semua kata-kata Lucas tanpa pernah berpikir hal itu melukaiku.

Namun, aku mulai mengerti. Aku terlalu berharga untuk disakiti.

Aku benar-benar tidak mengerti cara berpikir Lucas yang tidak masuk akal. Mengapa ia selalu menyakitiku? Mengapa ia begitu ingin dibenci, begitu ingin memegang kendali? Apakah mungkin karena ia trauma pernah mendapatkan pengalaman pahit sebelum ini?

Diamlah, kau tak tahu apa-apa.

Tentu saja aku tak tahu apapun tentangmu. Bagaimana mungkin aku langsung mengenalmu, padahal kita baru saja bertemu? Bagaimana bisa kau tak menjelaskan apapun? Bagaimana bisa kau hanya terus menerus berbohong demi nama baikmu?

"Apakah aku mengusik perasaanmu?" Lucas meraih tanganku, yang kemudian langsung kutepis.

"Mengapa kau bertanya hal yang sudah pasti?"

"Kau tahu, aku juga terpaksa, aku tak bermaksud seperti itu, aku hanya berusaha memberitahumu betapa kejam dunia yang akan datang padamu"

"Kau tak perlu melakukannya, tak ada yang memintamu"

"Aku seperti ini karena aku peduli padamu"

"Peduli padaku? Bukankah kau hanya melampiaskan egomu?"

Kira-kira seperti itulah percakapan terakhir kami, sebelum akhirnya kami memilih untuk jauh lebih saling menyakiti. Aku tak terlalu ingat bagaimana Lucas dengan sangat brutal menyakiti perasaanku. Jujur, aku tak ingin mengingatnya dengan benar, aku ingin melupakannya. Namun, tentu saja ingatan itu tak akan sebegitu mudahnya lepas dari memoriku.

Meski begitu, aku masih bisa merasakan hubungan kita yang hanya bisa saling menyakiti. Keraguan kita untuk mengakhiri segalanya hanya karena takut kita akan menyesalinya. Namun, aku tak benar-benar membencinya. Ada kalanya dimana hidup dengannya terasa menyenangkan, meskipun lebih banyak tangis yang terasa.

***

Tak ada yang menginginkan takdir yang terjadi antara aku dan Lucas. Kami sama-sama tak mengharapkannya, dan kemudian terjadi begitu saja. Pada awalnya, kami merasa sangat bahagia dengan kebersamaan yang penuh kasih sayang ini. Saat itu, dipikiran kami hanya ada saling mencintai dan saling membahagiakan satu sama lain. Dan seperti yang tertebak, semakin lama kita bersama, 

maka semakin terlihat sifat masing-masing dari kami. Semakin lihai kami menyembunyikan sesuatu satu sama lain, semakin lihai pula kami saling mencari alasan hanya untuk bertahan demi sesuatu yang semestinya dilepaskan.

Aku bertemu pertama kali dengan Lucas ketika ospek jurusan di kampusku. Ia adalah seniorku yang sok superior dan sangat menjengkelkan. Saat pertama kali mata kita bertemu, Lucas membentakku tanpa alasan, kala itu aku berpikir ia hanya ingin "dihormati". Ia bertanya kenapa aku berani melihatnya seperti itu, yang tentu saja hal ini membuatku sedikit kaget dengan cara berpikirnya yang aneh. 

Kemudian selepas hari itu, Lucas seolah-olah mencari kesalahanku agar aku kena hukuman. Dan, entah mengapa aku selalu melakukan kesalahan. Tentu saja, pada awalnya sangat menyebalkan bahkan hanya melihat wajahnya yang sok ingin ditakuti itu. Namun, begitulah takdir. Tak ada yang tahu apa yang terjadi, dan hubungan kami terjalin begitu saja.

Banyak dari teman-temanku berkata bahwa sepertinya Lucas menyukaiku, karena itulah ia sering menggodaku. Kata mereka, Lucas hanya ingin mendapat perhatianku, maka dari itu aku harus memakluminya. Hah? Bagaimana mungkin orang yang menyukaiku malah berusaha menyakitiku? Dan mereka bilang, itu adalah taktik? Bagaimana bisa pikiran macam itu terlintas dalam otak mahasiswa yang seharusnya sudah "dewasa"?

Tepat setelah mahasiswa baru diizinkan pulang kala ospek hari ke delapan, Lucas dengan percaya diri menyodorkan ponselnya kepadaku. Berkata bahwa aku wajib menuliskan nomor teleponku di sana. Sebenarnya, aku tak ingin mengetik apapun dengan jariku di ponsel Lucas, namun mengingat harga dirinya yang tinggi itu, aku memilih untuk melakukannya.

Ia bahkan memanfaatkan embel-embel "panitia" hanya untuk memintaku menuliskan puisi cinta dan membacakannya di depan semua teman angkatan. Pada awalnya aku menolaknya. Namun, karena ia memaksaku dengan berkata bahwa semua mahasiswa baru wajib melakukannya, pada akhirnya aku menurutinya.

Kebodohanku yang memercayai kata-kata tak berguna Lucas, akhirnya berdampak. Ternyata hanya aku seorang yang mempersiapkan puisi cinta itu. Dan semua panitia menyuruhkau untuk membacanya dengan anggun di dekat Lucas, dengan ditonton oleh semua panitia ospek dan semua teman senagkatan. Semua orang dari teman-teman hingga panitia tertawa bahagia,

 mereka menggoda Lucas yang dengan bangganya memamerkan wajah merahnya. Aku yang menahan malu sekaligus rasa marah, hanya bisa pura-pura tersenyum. Bagaimana bisa mereka hanya melihat dari sudut pandang Lucas? Apakah bagaimana perasaanku tak penting bagi mereka? Ini bahkan bukan hal yang lucu sama sekali untukku. 

Rasa risih bercampur malu, serta rasa penasaran mengapa semua orang kecuali aku seolah-olah memaksaku untuk bahagia, dan menerima Lucas seperti yang diinginkan Lucas membuatku muak.

Bukan berarti aku orang yang tak peka, aku tahu semua itu hanyalah kedok Lucas yang ingin "lebih dekat" denganku. Namun, bila memang itu maksud dari segala perilaku yang membuatku terasa terbebani, bukankah seharusnya perasaanku lebih penting dibandingkan pandangan orang lain yang ingin melihat kisah "romantis" ala sinetron yang terealisasi di kehidupan nyata?

Tak ada yang ingin meromantisasikan senioritas, apapun yang terjadi. 

Begitulah pikiranku kala itu, sebelum akhirnya perkataan semua temanku menjadi kenyataan. Setelah melalui masa ospek 14 hari, Lucas, secara lebih terang-terangan mendekatiku. Ia mulai merepotkan dirinya hanya untuk menjemputku di depan kos agar bisa kuliah bersama. 

Terkadang, ia menungguku di depan kelas kemudian menyeretku ke kantin. Tentu saja aku menolak dengan tegas ajakan Lucas. Namun, teman-temanku mengatakan bahwa aku bodoh. Mereka bilang seharunya aku menghargai sikap Lucas dan menerimanya karena dekat berteman dengannya saja sudah sebuah keajaiban.

Aku merasa sikapnya seperti penguntit dan itu melukai privasiku. Namun, demi menuruti bujukan teman-teman agar aku berusaha membuka diri, akhirnya aku perlahan berusaha terbiasa, dan lebih memahami Lucas.

"Apa aku membuatmu tak nyaman?"

"Sedikit"

"Berarti banyak nyamannya?"

Aku terkekeh kemudian.

Memang benar, aku mulai memahami Lucas dan hal itu membuatku berpikir dengan berbeda. Mungkin, Lucas hanya ingin memberi perhatian padaku, mungkin ia tulus, dan hanya aku saja yang terlalu kaku berlebihan. Lucas memperlakukanku dengan menyenangkan, ia sering mengirimiku puisi, menjemputku, mengajakku makan, bahkan membantuku mengikat poniku ketika tanganku tengah sibuk mengaduk mie ayam ketika makan berdua.

Setelah kupikir-pikir ia adalah pribadi yang hangat, meskipun aku tak suka sikapnya yang sering membagikan kebersamaan kita melalui instastorynya. Hal sekecil itu tak menggangguku, hanya saja terkadang aku merasa risih bila Lucas melakukannya terus-terusan. Namun, aku mulai memakluminya, karena ia seorang selebgram yang tentu saja hidupnya pasti seperti itu.

Setelah sekian waktu Lucas tak henti memaksa keadaan agar kami bisa selalu bersama, entah bagaimana aku berada pada titik dimana aku merasa sangat luluh dengan segala hal yang dilakukan oleh Lucas. Aku benar-benar tak bisa memakai logikaku kali ini, dan hal sesepele tatapan mata Lucas bisa membuat jantungku berdegup kencang.

Wajah Lucas memang nyaman dipandang. Matanya indah, hidungnya cantik, senyumnya tulus, postur tubuhnya tak kalah menakjubkan. Secara visual, hadirnya terasa mengagumkan. Namun, secara karakter, aku sedikit merasa tak cocok dengannya. Ia terlalu terbuka dan terlalu memaksakan kehendak. Entah itu hanya keras kepala atau hanya pendiriannya saja yang teguh.

Kami sudah bersama untuk waktu yang lama, perasaan masing-masing kita sudah matang perlahan. Kami memutuskan untuk mengikat status diantara kami, ketika hari mendung pada Selasa sore. Kala itu, Lucas mengajakku pergi ke cafe dekat sebuah gedung lama. Aku tak menolaknya kali ini, tentu saja karena saat itu Lucas sudah sangat berhasil menarik perhatianku.

Kami duduk berhadapan, dengan music latar romantis yang tak begitu kuperhatikan, karena hatiku sudah segugup itu untuk sekedar memperhatikan keadaan sekitar. Lucas memesan kopi latte, dan aku memesan jus mangga. Seperti biasa, Lucas selalu berisik sibuk bercerita ini itu, dan aku sebagai pendengar setianya. 

Kali ini, tatapannya berbeda, aku sudah paham apa maksudnya. Ia meraih tanganku, kemudian memasangkanku sebuah cincin warna perak polos tanpa motif sedikitpun.

"Mulai sekarang, kita jadian. Kamu nggak bisa nolak"

Badanku bergetar hebat, tak ada yang bisa kulakukan selain mengangguk.

Hari-hari kita sebagai pasangan berlalu dengan indah dan menyenangkan. Hubungan kami berjalan sekitar hamper 7 bulan, dan ia masih memperlakukanku dengan hangat seperti sebelumya. Lucas tak pernah berubah, ia justru semakin ketara bahwa ia sangat menginginkanku, dan tak mau melepasku. 

Meskipun kami berkencan, tak ada yang menyadarinya karena Lucas adalah orang yang sangat ramah. Orang-orang mengira kami hanya berteman biasa dan aku nyaman akan hal ini karena kebanyakan dari mereka tak mengusik hubungan kami.

Lucas sangat perhatian padaku, bahkan hal-hal kecil tentangku ia selalu tahu. Ia selalu memintaku untuk memakai baju dengan warna yang sama ketika pergi kuliah, karena ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa kita telah bersama untuk waktu yang lama. Ia sering memilihkanku pakaian, dan melarangku memakai pakaian yang terbuka. Tentu saja, ia melakukannya agar aku tak dilirik oleh orang lain. Ia tetap mengirimiku surat cinta secara rutin setiap hari.

Jika orang lain bisa membenci tanpa alasan, maka aku juga bisa mencintaimu tanpa alasan.

Ia sering mengungkapkan perasaannya dengan sangat juntaian kata, meskipun terkadang ia mengutip kalimat dari buku yang ia baca karena menurutnya kalimat itu melambangkan apa yang sedang ia rasakan. Lucas pulalah orang yang selalu pertama hadir ketika aku sedang merasa tertekan dan lelah dengan dunia. 

Jika biasanya ia sangat cerewet, ia akan menjadi pendiam ketika aku menangis menumpahkan kesedihanku. Ia hanya akan memelukku sembari mengelus punggungku sembari aku menangis. Ia paling tahu cara menenangkan perasaanku, dan itulah yang membuat aku makin menyukai Lucas.

"Seberat apapun itu, berdua lebih baik daripada sendiri" Ucapnya.

"Hah? Basi" Jawabku sesenggukan.

"Diamlah, jangan menginterupsiku"

"Tak ada yang menginterupsimu"

"Tuh.. kamu udah ga fokus ke masalah tadikan, memang kamu nggak bisa konsisten"
            "Apa?"

Kami tertawa hanya karena percakapan kecil, dan aku sangat meghargainya.

***

Aku diterima magang di sebuah agensi percetakan buku. Dan hal itu membuatku semakin sibuk. Aku kesulitan membagi waktuku, bahkan hanya untuk sekedar makan tepat waktu, apalagi  menjawab pesan singkat dari Lucas. Ia benar-benar merengek memintaku meluangkan waktuku untuknya. Aku sudah berusaha sebisaku, namun bagaimana lagi pekerjaan ini memang benar-benar membutuhkan banyak waktu untuk digunakan.

 Pada akhirnya kami hanya sering bertengkar. Kami sibuk menyalahkan kesalahan satu sama lain. Lucas yang tak percaya pada kesibukanku, dan aku yang tak habis pikir dengan tuduhkan Lucas yang menuduhkau berselingkuh dengan seorang senior di agensi buku.

Keinginan Lucas perlahan berubah menjadi obsesi.

Kami mulai jarang melungkan waktu bersama. Kekhawatiran Lucas berubah menjadi kecurigaan hingga ia amat sangat menekanku untuk berhenti dari magang di agensi buku dan kembali fokus kuliah saja. Ia berkata ini demi kebaikanku, demi IPK ku agar aku lulus tepat waktu. 

Namun di mataku, permintaan ini hanya alasan Lucas agar hatinya tenang dan tak khawatir tentangku. Aku selalu berusaha menjelaskan perlahan, dan menolak keinginan Lucas dengan halus. Namun, akhir dari percakapan kami selalu pada keheningan dan tak meninggalkan hasil apapun selain kesedihan dan kecurigaan yang kian bertambah.

Lucas bahkan mengunduh aplikasi untuk menyadap teleponku. Awalnya aku tak tahu ia memata-mataiku seperti itu, hingga aku merasa ada yang salah dari sikapnya yang kian bertambah menjengkelkan itu. Ia sering meneleponku bila ia tahu aku sedang beristirahat. Kadang pula ia menyuruhku berbicara dengannya di ponsel hingga subuh hanya karena ia merindukanku. 

Ia pernah melabrak seniorku di tempat magang hanya karena Lucas merasa bahasa yang seniorku gunakan saar chatting denganku sedikit menggoda yang kemudian hal tersebut membuat beberapa orang di tempatku magang tak mau berbicara denganku.

Pria ini sangat berusaha membuatku berada dalam genggamannya. Ia mulai memerlakukanku seperti boneka yang harus menurutinya, hanya karena ia adalah pria yang lebih tua dariku. Ketika aku selalu melawan argumennya, ia akan mengamuk dan berkata sebaiknya aku menghormatinya yang "lebih berpengalaman hidup" dibanding diriku. 

Ia menjadi sangat semena-mena padaku, dan jauh lebih mengontrol keseharianku. Aku benar-benar mulai tersugesti bahwa semua yang lebih tua dariku selalu benar dan mulai mengabaikan fakta bahwa umur tak selalu menjadi alasan untuk dihormati. Alasan ini tak kutemukan pada diri Lucas sama sekali. Ia benar-benar membuatku frustasi atas segala kegeoisannya yang selalu ingin menang sendiri.

Lucas semakin mengharpkan harapan yang tinggi, dan aku mulai lelah menanggapinya. Ia mulai sering membentakku, yang membuatku merasa semakin tertekan. Lucas juga mulai sibuk dengan banyaknya endorse yang mulai datang secara bertahap padanya. Karena kesibukan masing-masing dari kami, kami merasa semakin menjauh satu sama lain.

Entah mengapa, rasanya seperti Lucas mencampakanku. Seolah ia membalas dendam pada perlakuanku yang jarang menghubunginya karena kesibukanku. Di sisi lain, Lucas tetap mencoba memberitahuku untuk tak terlalu ikut campur urusannya dan berhenti menghubunginya kecuali ia yang menghubungiku duluan. 

Tak ada orang yang tak akan curiga pada permintaan aneh seperti ini. Aku terus menerus merasa kesal diperlakukan semenyebalkan ini. Dan Lucas terus menerus memintaku untuk menunggunya tanpa melakukan hal lain.

Pernah pada suatu waktu, ketika aku benar-benar lelah dengan pekerjaanku di tempat magangku, serta semua tugas kuliah. Aku mengabaikan telepon Lucas sekitar empat puluh tiga kali karena aku dengan nyenyak tertidur. Yang pada keesokan harinya, Lucas merasa marah kemudian menghapus semua nomor telepon di ponselku 

dan hanya menyisakan nomornya dan kedua orang tuaku. Kala itu ia benar-benar mengabaikanku yang menangis tak berdaya melawannya. Ia benar-benar seperti bukan Lucas yang selama ini kukenal. Seolah tak puas, ia merebut ponselku begitu saja dikeesokan hari. Hal ini membuatku terpaksa membeli ponsel baru, 

dan Lucas merasa sangat kecewa yang kemudian ia berhenti menghubungiku sekitar dua minggu sebelum akhirnya ia menemuiku di kampus dan membuat pertengkaran yang hebat, seolah-olah aku menyakiti hatinya. Di hari berikutnya ia berhenti mengikutiku di akun instagramnya, hal ini membuatku dibuli oleh beberapa pengikut Lucas yang membuatku merasa sangat tertekan.

Pada akhirnya, kita hanya bisa menyakiti satu sama lain. Kini percakapan kami terasa begitu singkat, perbedaan di hati kami terlihat jelas. Keheningan semakin menunjukkan akhir segalanya.

Kita mulai saling mengabaikan, dan saling bermain ponsel katika sedang bertemu. Lucas bahkan dengan terang-terangan sedang membalas pesan dari seorang gadis yang ia kenalkan dengan sebutan "sahabat". Ia tersenyum memandangi ponselnya hingga tak sadar keberadaanku yang tengah sibuk menatap kecewa. 

Aku selalu tak percaya "sahabat"nya itu benar-benar seorang teman dan sebuah ungkapan untuk menutupi kedok perselingkuhannya. Ia selalu membantah bahwa ia mempunyai hubungan lebih dengan "sahabat"nya dan menuyuruhku berhenti mengkhawatirkan mereka. 

Sedangkan kini bagiku, semua perkataan Lucas yang terucap dari bibirnya seperti hanya alasan-alasan tak masuk akal. Bagaimana bisa ia mengabaikan pesanku dan teleponku, namun ketika kita bertemu, ia benar-benar tak akan membuat "sahabat"nya merasa diabaikan.

Aku masih sangat muda, dan hubungan ini sulit bagiku. Lucas hanya meminta sedikit perhatian dariku, dan aku merasa terbebani. Kami hanya terus-terusan mencari celah satu sama lain dan terciptalah kebohongan-kebohongan baru. Kepercayaan yang kita bangun bersama, kini telah hancur.

 Pikiran burukku seolah menjadi nyata. Sudah terlambat membahas salah paham, tanpa sadar perlahan kita semakin menjauh. Seolah perasaan kita sudah usai sejak lama, dan kami hanya berusaha bertahan dengan sia-sia. Hubungan kami berakhir tanpa kata perpisahan. Hanya berlalu begitu saja dan masing-masing dari kami tahu segalanya telah usai.

"Jika ku tahu hubungan kita akan berakhir, aku tak akan mencintaimu sedalam ini" Kini, Lucas bahkan seolah enggan melihat wajahku.

"Biarkan aku memelukmu sekali ini saja, agar tak ada penyesalan nantinya"

Kami menghabiskan waktu malam itu untuk duduk berdampingan di pinggir jalan. Menatap kosong jalanan, dan hanya terdiam bersama. Dadaku rasanya sesak, aku yakin Lucas juga sama. Untuk terakhir kalinya kami saling berpelukan dengan tulus. Peluk yang tak akan terulang lagi. Peluk yang menjadi tanda bahwa segalanya telah berakhir. Kemudian kami berpisah dengan saling menahan tangis.

Tentu saja aku rindu bahkan pada surat-surat cinta yang tak lagi berdatangan. Ini baru lima hari semenjak kita putus, dan segalanya menjadi rumit bagiku. Aku hanya membaca kembali surat-surat cinta dari Lucas, dan terus terulang seperti itu. Mataku lelah, namun batinku terlalu bersemangat berselancar menjelajahi kenangan bersama Lucas. 

Segala rangaian kata dalam surat-surat cinta yang menggunung itu, benar-benar membuatku merasa enggan melupakan Lucas. Bagaimana mungkin debaran ini tak usai setelah hubungan kami usai.

Lucas terlihat baik-baik saja di instagram nya. Ia mengungkapkan bahwa kami telah putus, dan menyuruh semua pengikutnya untuk berhenti menggangguku. Hal itu berdapak padaku, para pengikutnya benar-benar berhenti menggangguku, meski ada beberapa yang masih mengusikku. Ia terlihat bahagia, tentu saja ia bermain bersama teman-temannya, dan "sahabat"nya yang terlihat setia selalu di sampingnya.

Beredar kabar bahwa Lucas ikut program pertukaran pelajar di Australia, ia akan tinggal di sana untuk beberapa waktu yang lama. Aku baru tahu hal itu dari unggahan instagramnya, dan dikonfirmasi oleh beberapa temanku. Rasanya menyedihkan ketika aku masih berharap ia akan berpamitan sembari mengucap selamat tinggal padaku. 

Aku benar-benar merindukan sosoknya, dan ini semakin membuat perasaanku tersakiti ketika aku tak tahu harus menghubunginya seperti apa. Bukankah aku terlalu egois bila tiba-tiba menanyakan kabarnya? Bukankah ia akan merasa terganggu akan kehadiranku yang susah payah ia lupakan? Maka sedari itu, aku memilih diam.

Kala itu, aku hidup dengan berusaha mengabaikan segala kenangan dari Lucas yang selalu muncul. Aku hanya mengingat kenangan buruk, agar hatiku berhenti berharap pada seorang yang tak mungkin kembali. Perlahan imajinasi liarku seolah menjadi kenangan yang nyata. Aku benar-benar membenci Lucas dari sisiku. Dan melihatnya sebagai sosok yang sangat kubenci.

Aku hidup setelahnya seperti itu, bahkan kini aku bisa menemukan sosok baru yang dengan rela hadir dan mengukir kisah yang baru denganku. Kami sangat mengagumi satu sama lain, dan pria ini terlihat lebih menyenangkan dan masuk akal di banding kehadiran Lucas yang lalu. Namun, dikala hatiku hendak meyakinkan diri bahwa aku akan bersama pria yang baru ini, Lucas kembali mengusik hidupku.

Ia memintaku untuk bertemu di sebuah rumah makan di pinggir kota. Awalnya aku berniat menolaknya, namun setelah kupikirkan kembali, kami benar-benar harus memutuskan dan menjelaskan hubungan masing-masing dari kami. Pikiran itu membuatku menuruti keinginan Lucas dan menemuinya.

Kami masih canggung, dan Lucas memberiku sebuah kotak kecil sembari berkata itu oleh-olehnya dari Australia selama dua tahun ini. Ia bercerita tentang kehidupannya di sana, dan betapa ia sangat kesulitan. Kami saling berbincang-bincang, dan kehadirannya ini membuatku merasa semakin tertekan.

"Aku mulai merindukanmu, dan dengan egois aku menginginkanmu kembali. Kau terlihat baik-baik saja, dan kerena keserakahanku, aku tak suka melihatmu menjalani hidup yang nyaman tanpaku. Orang bilang untuk apa membaca buku yang sama dua kali, kita tetap akan menemukan akhir yang sama. Tapi aku manusia, bukan buku. Jadi, bagaim-"

"Lucas, maaf" Ucapku sembari menggeleng.

Ia terdiam.

Lucas meninggalkanku begitu saja setelah mendengar perkataanku. Dan kini yang tersisa hanyalah aku, dan sebuah kotak kecil yang kemudian aku menemukan cincin di dalamnya dengan sebuah surat.

Bagaimana bila kita pindah ke Australia berdua, kemudian menikah di sana? Hubungan kita akan legal di sana, dan kita tak perlu lagi merasa terbebani dengan hidup sebagai pasangan di sini. Menikahlah denganku, Putra.

Yang Selalu Mengagumimu,

 Lucas   

 

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun