Mohon tunggu...
Ayu Nur Alizah
Ayu Nur Alizah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Hello! Kadang suka nulis cerpen/curhat/puisi. Kalau suka sama tulisan saya https://trakteer.id/iuxxyz, kasih uang jajan ke saya ya! hihihihi Terima kasih!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Rampas Tanah Adat Kami

12 Februari 2022   20:22 Diperbarui: 12 Februari 2022   20:36 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lustrasi: www.instagram.com/fadilmlnn

"Kalian saja pergi dari sini, ini tanah kami. Kami lahir di sini. Kami tidak pernah mengganggu kalian. Kenapa kalian selalu mengganggu kami?" ucapku ketika menghadapi sekelompok orang yang rakus akan uang. Hal ini bukan untuk pertama kalinya mereka ingin merampas tanah kami. Sejak saya masih kecil selalu ada orang berkelompok yang tiba-tiba ingin menawar tanah kami. Kami selalu menolaknya karena ini tanah leluhur kami. Tidak peduli mau digantikan oleh uang sebanyak apapun, kami tak akan memberikan tanah kami. Orang-orang seperti mereka sesekali datang dan ingin membeli tanah kami untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Namun, kami tidak peduli, mau ada emas di dalam tanah kami, atau harta karun. Kami tidak akan memberikan tanah kami untuk siapa pun.

Saya sudah menyaksikan bapak tua dan ibu tua saya melawan orang-orang yang ingin mengambil tanah leluhur kami sejak kecil. Mereka begitu berani mengusir orang-orang berbadan besar bahkan aparat kepolisan dengan sangat lantang dan saya memutuskan untuk meneruskan amanah bapak menjadi ketua adat dan melindungi tanah leluhur kami. Saya dan masyarakat desa mempunyai jadwal untuk berjaga di malam hari, karena ada saja otak picik manusia serakah yang mengendap ketika malam dan ingin membakar hutan ini secara diam-diam, agar mereka bisa menggusur kami secara paksa.

Saya membagikan kisah tanah adat kami yang terus menjadi incaran pengusaha kebun kelapa sawit ataupun negara kepada seorang jurnalis independen. Saat itu dia memang sedang berkunjung untuk memotret alam.

Ia penasaran dan melempar berbagai pertanyaan. Contohnya seperti:

1. "Sudah berapa lama kami tinggal di tanah ini?"

2. "Apakah ada orang-orang nakal yang mengganggu ketentraman kami di sini?"

Saya bercerita semuanya. Jurnalis itu memberikan saya sebuah kartu nama dan berbicara "Pak, jika sewaktu-waktu ada yang menganggu kalian dan sudah keterlaluan. Tolong hubungi saya, saya ingin membantu bapak dan masyarakat desa untuk tetap bisa hidup di tanah leluhur kalian". Saya menyimpan nomor telepon tersebut.

Sebagai pertanda, perempuan bernama Nadien itu membuat tulisan dengan spidolnya di papan triplek dengan tulisan "KAMI TIDAK AKAN MENJUAL TANAH ADAT KAMI KEPADA SIAPA PUN TERMASUK OLEH NEGARA". Ia menancapkan di batas wilayah desa kami.

...

"Pak, papan yang ditancap di depan ada yang mencoret dan ada bekas jejak kaki" ucap istriku yang membangunkan ku. 

Aku sangat terkejut akan hal ini. Apa ini pertanda bahwa mereka akan kembali lagi, untuk merebut tanah kami?

Aku pun bergegas lari menuju papan tersebut dan ternyata benar, sekilas aku mendengar suara bisikkan "Berhati-hatilah", dan mungkin ini juga ada kaitannya dengan mimpi ku kemarin malam. Akan ada dua orang berbaju rapih dan banyak kamera di sekitar desa kami. Aku sangat yakin ini adalah pertanda orang-orang itu akan kembali ke desa tanah leluhur kami. Perasaan cemasku kali ini sangat besar, mungkin kali ini aku akan butuh bantuan Nadien untuk mempertahankan tanah leluhur kami.

"Ini sepertinya pertanda buruk, pak" ucap warga yang menemaniku ke tempat papan.

"Sepertinya dugaanmu benar. Aku merasakan kecemasan, namun kali ini lebih besar dari sebelumnya. Kita harus lebih berhati-hati dan memperketat penjagaan kelling. Tapi, apa benar kau tak melihat orangnya?"

"Maaf pak, sebenarnya tadi saya sempat tertidur"

"Baiklah. Lain kali jangan sampai seperti itu ya"

"Baik pak".

Aku menuju rumah, memanggil pak tua dan petinggi desa yang lainnya untuk membicarakan hal ini.

"Aku diberikan mimpi buruk tentang kejadian ini dan kemungkinan akan ada yang datang. Mereka yang menginginkan tanah ini akan datang lagi. Mereka akan lebih serakah dari sebelumnya dan di dalam mimpiku terdapat alat besar yang akan menghancurkan tanah leluhur kita ini. Aku tidak yakin kali ini kita akan menang dari mereka" ucap pak tua.

"Kemungkinan yang pak tua ceritakan akan terjadi. Perasaan cemasku ini paling hebat dari sebelum-sebelumnya. Tapi, apapun yang terjadi kita harus tetap menang, walaupun aku harus berlumuran darah dan mengorbankan nyawaku" ucapku dengan optimis untuk meyakinkan yang lainnya.

"Apa kita membutuhkan bantuan gadis itu?" ucap Sinyo

"Gadis itu akan membantu kita" ucap pak tua

"Tapi, mungkin nanti saja. Untuk sekarang kita hanya perlu meningkatkan keamanan disekitar kita saja" sahut Sinyo

"Ya, kamu benar Sinyo. Pak tua, apa kita harus mengasah pedang kita masing-masing?"

"Boleh saja. Tapi, pastikan kita jangan sampai memulai peperangan duluan. Asah lah pedang kalian, perbanyak orang yang berjaga terutama di malam hari. Lalu, ketika orang-orang serakah itu sudah datang, barulah panggil gadis tersebut" ucap pak tua memberikan nasihat serta petunjuk.

Pak tua adalah penasihat adat kami. Di generasinya hanya dia saja yang masih hidup, omongannya sangat bijak dan bisa dipegang, tak jarang yang ia ucapkan akan menjadi kenyataan.   

...

Esok paginya, aku langsung mengumpulkan warga desa kami.

"Keluargaku yang kucintai, aku mempunyai kabar buruk. Kemungkinan orang-orang yang ingin merebut tanah kita akan datang lagi, namun belum dipastikan kapan akan datang. Kita akan menambahkan orang untuk berjaga-jaga khususnya pada malam hari. Dan aku minta, bagi kalian yang mempunyai golok, asahlah golok kalian. Kita akan menyambutnya dengan golok masing-masing yang akan kalian pegang. Semoga kemenangan berpihak pada kita, dan memohon lah perlindungan kepada leluhur kita. Dan bagi perempuan yang mempunyai goloknya sendiri, asahlah. Aku mengizinkan kalian untuk ikut serta membantu kami". Penutup ucapan aku disambut hangat oleh perempuan yang memang lebih suka berburu. 

Setelah berbicara, aku memerhatikan wajah warga desa. Ada yang merasa bersemangat dan juga berputus asa.

Aku berjanji kepada leluhur ku, aku akan berusaha untuk tetap mepertahankan tanah ini dan juga melindungi warga yang lain, meski harus besimbah darah dan meninggal. Itulah janji yang kuucap dalam hati kepada leluhurku, sebagai bentuk pengabdianku kepada desa ini, aku rela mengorbankan nyawaku.

...

Tok, tok, tok suara pintu rumah ku diketuk, aku pun terbangun

"Ada apa?"

"Di gerbang desa ada dua orang yang ingin menemui bapak. Pakaiannya rapih pak"

"Bangunkan semua warga. Suruh mereka keluar untuk di depan rumahnya masing-masing dan membawa goloknya masing-masing. Perlihatkanlah golok tersebut kepadanya ketika melewati setiap rumah"

"Baik pak"

"Antar mereka ke sini. Mereka akan menemui aku, pak tua dan petinggi-petinggi yang lainnya. Bilanglah kepada warga mereka bisa ikut serta mendengar kepentingan orang tersebut datang kemari. Itu saja, terima kasih mar, aku akan bersiap-siap dahulu"

"Iya pak, sama-sama. Marlo izin pamit dahulu untuk memberitahu warga dan mempersilakannya masuk dan membawanya kesini" ucap marlo sambill berpamitan denganku.

Setelah aku rapih, aku melihat ke jendela, keluargaku sudah siap dengan tatapannya dan golok di tangan masing-masing untuk menyambut orang tersebut. Dua orang itu berjalan ke arah sini bersama Marlo. Di sini aku sudah bersama pak tua dan keluargaku yang lain, kami sudah siap.

Tok, tok, tok suara pintu dan diiringi dua orang tersebut datang bersama Marlo.

Aku mempersilakan mereka duduk, tak ada minuman atau pun makanan yang kami beri ke mereka. Pintu dibuka lebar oleh Marlo, dan warga desa duduk menyaksikan perbincangan kami. Mereka menoleh ke belakang, melihat warga yang ramai dan juga golok di tangannya masing-masing, muka dua orang itu berubah menjadi sedikit ketakukan.

"Ada perlu apa jauh-jauh datang ke desa kami?"

"Sebelumnya permisi bapak-bapak semua. Perkenalkan saya Irfi, dan ini teman saya Rizal. Maksud kedatangan kami di sini untuk membeli tanah bapak. Kami perwakilan dari bapak Gubernur yang diperintahkan bapak Presiden untuk membeli tanah ini. Kami akan membeli dengan harga mahal, dan akan mengganti tanah dengan luas yang sama dengan tanah ini. Bagaimana pak?" ucapnya dengan santai, dan itu membuatku sangat kesal.

Tatapan warga di luar juga semakin marah. Aku berusaha agar berbicara dengan tenang.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Basri, saya adalah ketua adat di sini. Saya perwakilan dari masyarakat di sini. Saya ingin menegaskan kepada kalian, bahwa kami tidak akan menjual atau menyerahkan tanah kami kepada siapa pun. Ini adalah tanah leluhur kami. Sebelum terbentuknya pemerintahan, leluhur kami sudah tinggal di sini, melindungi tempat ini dari para penjajah yang datang. Kami juga tidak akan menyerahkan tanah kami kepada negara. Bilang seperti itu kepada atasanmu. Dan bilang juga kepadanya, berhentilah berharap kepada tanah kami, kami tidak akan menyerahkannya sampai kapan pun. Dan berhentilah mengganggu ketentraman hidup kami di sini". Ucapku dengan tegas

"Betulll, betull itu. Cepat pergi! jangan ganggu kami!" ucap salah satu warga yang ada di luar.

"Tapi pak, ini sebenarnya perintah dari Presiden langsung" ucap salah satu dari mereka.

"Kami di sini tidak peduli. Cepat pergi dan ucapkan hal yang tadi kubilang kepada atasanmu!" ucapku yang sudah tak bisa menahan emosi

"Baik kalau begitu, kami pamit, pesan warga di sini akan kami sampaikan"

"Mari, pak" ajak Marlo kepada dua orang tersebut.

Mereka berdua pergi, sorak sorai warga desa terdengar. Namun, pak tua memberi peringatan bahwa ini belum berakhir. Pak tua berbicara kepadaku, kemungkinan atasannya akan datang langsung untuk menemui kami, sebaiknya bersiap-siap. Bahkan ada kemungkinan tanah ini akan dirampas secara paksa. Aku sangat terkejut mendengar ucapan pak tua dan langsung berdoa kepada leluhur untuk memberi perlindungan kepada tanah, dan juga keluarga kami di sini.

...

Aku mempunyai anak perempuan satu-satunya bernama Noella. Sedari kecil Noella selalu kuajarkan cara bertarung, berburu dan ibunya mengajarkan Noella untuk memasak. Sepertinya Noella lebih tertarik dengan berburu dan juga berperang daripada memasak. Aku dan ibunya tak apa jika ia lebih memilih jadi pelindung desa daripada menjadi ibu rumah tangga. Noella semakin tumbuh menjadi dewasa, cukup banyak sejauh ini yang ingin menjadikan Noella sebagai istri namun, Noella selalu menolaknya. Ia ingin menjadi sepertiku melindungi desa karena ia punya ilmu bela diri, dan juga bertarung yang kuajarkan. Sampai suatu malam Noella menghampiriku dan berkata

"Pak, tidak apa-apa jika Noella ikut bertarung jika sewaktu-waktu mereka datang dan mencari masalah?"

"Boleh saja, kenapa tidak? Kan bapak sudah bilang, bagi perempuan yang mempunyai goloknya sendiri dipersilakan untuk ikut bertarung jika sewaktu-waktu pertarungan itu terjadi"

"Terima kasih yah, pak. Noella pikir bapak gak bakal mengizinkan Noella"

"Kamu berhak mendapatkan apa yang kamu mau nak. Leluhur kita juga tak pernah melarang perempuan untuk berperang. Kamu tahu? Mak tua pernah bercerita, dahulu ada kepala desa kita seorang perempuan, ia berhasil mengusir penjajah yang berasal dari Jepang di wilayah kita. Perempuan itu bernama Noella. Bapak sangat kagum mendengar cerita mak tua pada saat itu. Bapak berjanji di dalam hati ketika itu, jika bapak mempunyai anak perempuan akan bapak beri nama Noella dan berharap anak bapak bisa sehebat mak tua Noella. Dan anak bapak sekarang semakin dewasa semakin hebat"

"Terima kasih pak, Noella sangat beruntung jadi anak bapak"

"Sama-sama nak. Sana pergi tidur udah malam"

"Iya pak, selamat tidur" ucap Noella sambil memelukku.

...

Sudah sebulan semenjak kedatangan dua orang tersebut, namun tak ada orang lagi yang datang. Apa mereka sudah benar-benar lelah? Apa mereka mendengarkan permintaan kami? aku bertanya-tanya.

Kami melonggarkan penjagaan kami dan tiba-tiba saja Sinyo datang ke rumahku dan berbicara, ada Gubernur datang ke desa kami secara langsung, dia bersama dua ajudannya, kami tidak sempat membicarakan ini. Gubernur itu terlanjur datang terlebih dahulu. Ditambah Sebagian warga sedang berburu, dan ada yang sedang tidur. Keadaan desa kami sedang sepi, hanya ada anak-anak yang sedang bermain.

"Permisi pak, saya Nazarudin. Tujuan saya datang kesini untuk bernegosiasi. Saya harap pak Basri ingin berbicara dengan baik kepada pihak kami"

"Pak, saya sudah bilang. Kami tidak akan menjual tanah kami untuk perluasan kebun kelapa sawit. Mau berapa banyak pun uang yang kalian tawarkan. Kami sudah ada di sini sebelum masa pemerintahan terbentuk. Ini adalah hak kami seutuhnya pak. Sebentar pak, saya tinggal ke belakang terlebih dahulu".

Aku menuju kamar Noella, membangunkannya dan menyuruhnya untuk pergi ke kota dan menelpon Nadien. Noella segera bangun dan pergi melewati pintu belakang. Aku kembali menemui Gubernur tersebut. Di depan sudah ada pak tua dan petinggi lainnya yang sudah duduk bersama Gubernur tersebut.

"Begini bapak-bapak, sebenarnya ini sudah mutlak keputusan bapak Presiden. Kami selaku pejabat negara ingin membicarakan ini dengan baik-baik kepada bapak-bapak. Kami tidak akan menggusur seenaknya, kita akan mencarikan tanah baru untuk masyarakat adat di sini pak"

"Bohonggggg! Mereka tukang bohong!" terdengar suara teriakkan dari luar rumah dan orang itu masuk ke dalam rumah. Pengawal Gubernur tersebut langsung menghadang.

"Biarkan dia masuk, aku yang menjamin keselamatan Gubernur di sini" ucapku dengan tegas. Warga desa mulai berkumpul di depan rumahku.

"Anak buah bapak Gubernur yang terhormat pernah berkata sepeti ini juga kepada saya, keluarga dan teman-teman saya. Saya Elle, maaf jika tiba-tiba saya masuk. Saya tidak ingin nasib kalian seperti keluargaku. Orang-orang berduit ini juga berbicara hal yang sama waktu itu, menawarkan tanah pengganti dan uang ganti rugi dua kali lipat. Memang tanah kami diganti namun, lahan yang diganti tidak ada satu perapat lahan yang mereka ambil. Dan perkara uang ganti rugi, mereka hanya memberikan kami per orang seratus ribu. Rumah saya di seberang tanah sini, sudah dijadikan kebun kelapa sawit. Kami tergoda dengan janji manis orang-orang berduit ini". Ucap Elle dengan menangis,

"Bu, maaf sebelumnya. Saya baru saja menjadi Gubernur, masalah tanah ibu saya tidak tahu sama sekali. Saya janji tidak akan jahat seperti itu. Kami juga membangun kebun kelapa sawit untuk kepentingan rakyat Indonesia pak, bu. Bukan keuntungan saya atau pun pejabat lainnya. Kami akan menjadikan masyarakat adat ini sebagai pekerja di kebun kelapa sawit ini. Jadi, kalian akan tetap bisa kesini dan mendapat uang" ucap Gubernur itu, seolah-olah ia tak akan menginkari ucapannya.

"Bohong!!! Saya sangat ingat muka bapak dan dua ajudan bapak. Kejadian ini baru satu tahun kemarin! Bapak sudah menjadi Gubernur"

"Saya berjanji kepada pak Basri dan pak tua, tidak akan seperti itu dan akan membayar semua hutang kepada desa ibu Elle".

"Maaf pak, kami akan tetap dengan pendirian kami untuk tidak menjual tanah adat kami. Sebaiknya bapak mencari tanah kosong yang tidak dihuni untuk dijadikan kebun. Kenapa selalu mencari tanah yang sudah ditempati orang lain sejak lama?. Andai bapak paham, kami sedang mempertahankan masa depan anak cucu kami di tanah leluhur kami" ucap pak tua dengan sedikit nada tinggi.

"Benar pak, mau sebanyak apapun uang yang bapak janjikan kepada kami. Kami akan tetap bertahan. Selama ini kami sudah bertahan dari orang-orang seperti bapak, selama berpuluh-puluh tahun. Membawa-bawa atas kesejahteraan rakyat. Padahal kami tinggal di negara ini juga yang mempunyai hak hidup tenang, agar tidak diganggu" ucapku dengan tegas.

"Sebenarnya dengan atau tanpa persetjuan dari bapak-bapak sekalian. Negara mempunyai hak untuk mengelola tanahnya untuk kepentingan banyak orang.  Saya akan pulang, dan ketika saya datang kesini lagi. Akan membawa surat untuk mengelola tanah di sini. Saya pamit"

"Lho, pak tidak bisa seperti itu pak". Ucapku teriak. Aku sudah bersiap-siap membawa golok dan menyusul Gubernur tersebut, namun ditarik oleh pak tua.

"Jangan seperti itu Basri! Kamu akan membunuh orang. Ingat, jika dia membawa golok. Baru kita boleh membalas dengan golok"

"Dasar keparat! orang-orang bajingan!" teriakku karena tidak bisa melampiaskan amarahku."

Warga meyoraki dan menyirami Gubernur tersebut dengan air dan pengawalnya melindunginya dengan payung. Tiba-tiba banyak aparat kepolisian datang, lengkap dengan alat pelindung diri dan membawa senjata. Terjadi dorongan antar warga desa dan polisi. Terdengar suara tembakan ke udara. Saya sangat marah dan tetap ingin menuju gubernur brengsek tersebut.

"Pak, tenang pak" Noella menarik tangan ku,

"Noella udah bilang ke ka Nadien, kemungkinan ka Nadien lima hari perjalanan kesini pak.

Noella, pak tua, dan yang lainnya mecoba menenangkanku. Aku paham emosi tidak bisa berpikir dengan kepala dingin. Keputusan yang akan kuambil dalam keadaan emosi hanyalah keputusan yang gegabah. Pak tua memintaku untuk beristirahat terlebih dahulu. Aku pun masuk ke dalam kamar, berharap yang dibicarakan Gubernur tersebut hanyalah ancaman semata, dan berharap Nadien dapat membantu kami.

...

Lima hari pun berlalu, Nadien dan dua temannya bernama Abigail dan Julius sampai di sini. Aku menyambut mereka dan menceritakan kejadian semuanya. Nadien dan temannya ingin mencari bu Elle untuk sekalian diwawancara. Noella mencari bu Elle di desa seberang, dan menjelaskan apa yang akan dibuat oleh Nadien untuk membongkar kasus penggusuran tanah adat untuk keperluan sektor bisnis kebun kelapa sawit. Bu elle bersedia, dan langsung menuju rumah Noella.

Nadien mempersiapkan beberapa pertanyaan sedangkan temannya, satu menyiapkan kamera untuk video, dan satunya untuk foto sebagai bukti bahwa mereka memang melakukan wawancara langsung. Nadien mulai bertanya kepada Elle. Aku pun diwawancara, berbeda dengan Elle. Aku menceritakan dengan sedikit emosi yang tersisa. Sampai akhirnya video tersebut selesai dibuat.

Nadien mengunggahnya ke media sosial. Video tersebut banyak yang mempertanyakan kebenarannya, apa benar separah itu? karena tidak diberitakan oleh tv. Tak banyak juga yang mendukung masyarakat adat untuk tetap bertahan, dan menuntut ganti rugi atas masyarakat adat bu Elle. Nadien bercerita kepada pihak kami, bahwa akan mendapat bantuan hukum gratis, jika mereka seenaknya saja. Dan banyak respon untuk membuat petisi dan diadakan demo di wilayah masing-masing untuk menuntut keadilan hak kami agar tidak terkena gusur.

Dua hari setelah video tersebut dibuat, Gubernur brengsek itu datang membawa alat berat untuk membongkar bangunan dan juga banyak sekali polisi bersenjata lengkap serta bertameng.

Teman Nadien yang bertugas untuk memfoto dan memvideo mengumpat agar tidak ketahuan, dan bisa mengumpulkan bukti.

Gubernur itu menyerahkan surat, bahwa tanah kami akan segera digusur. Aku emosi dan hampir saja tanganku memukul kepala botak orang brengsek itu. Belum sampai, kepala dan badanku ada yang memukul dan tanganku seketika diborgol.

Nadien yang berada dekat denganku juga ditangkap. Polisi brengsek itu juga menarik hp Nadien dan menginjaknya, sehingga bukti-bukti rekamannya hilang. Aku dan Nadien ditarik paksa menuju mobil polisi. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana keadaan di desa. Nadien mencoba menenangkanku dan mengingatkan ku, bahwa di desa masih ada Noella, Sinyo dan juga Marlo serta petinggi yang lain.

Aku dan Nadien dibawa ke kantor polisi, sesampainya di sana, sudah ada kuasa hukum untuk kami, sehingga polisi sialan itu tidak bisa semena-mena lagi terhadap kami. Pengacara yang membantu kami bernama Imanuel.

Dia bilang, kepadaku dan Nadien untuk tenang.  Video yang kami ditangkap dan foto traktor sudah tersebar. Bahkan ada yang membuat petisi untuk berhenti mengganggu wilayah kami, dan untuk membebaskan kami.

Di Jakarta, organisasi yang berhubungan dengan lingkungan membantu kami untuk menyebarkan kejadian yang sebenarnya. Aku sedikit tenang dengan ucapan Imanuel.

Dua teman Nadien, masih memfoto dan memvideo keadaan di sana, dan menyebarkannya ke media sosial. Ketika sudah ramai. Wartawan satu persatu mulai datang ke desa. Namun, tetap saja perlawanan orang-orang tak didengar.

Ketika mobil traktor tersebut mau dinyalakan, polisi menjaga di sekitar. Noella dan warga lainnya sudah siap untuk melawan. Noella memegang kayu, dan polisi yang memakai perlindungan terus dipukul mundur oleh Noella dan warga desa lainnya.

Akhirnya Gubernur datang ke tempat itu. Dan menghentikkan sementara penggusuran lahan, aku dan Nadien pun dibebaskan. Perjuangan kami belum berakhir, masih ada kemungkinan, kalau mereka masih akan terus merampas tanah kami. Aku selalu bertanya, kenapa orang-orang berduit dan berkuasa selalu ingin merampas yang bukan miliknya?

***

Cerita ini hanyalah fiksi semata, tidak ada maksud untuk menyidir pihak manapun. Jika memang ada penguasa yang tersindir,semoga bisa segera bertaubat dan berkaca diri. Semoga saya selalu dalam lindungan Allah SWT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun