Mohon tunggu...
Ayu Nur Alizah
Ayu Nur Alizah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Hello! Kadang suka nulis cerpen/curhat/puisi. Kalau suka sama tulisan saya https://trakteer.id/iuxxyz, kasih uang jajan ke saya ya! hihihihi Terima kasih!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Rampas Tanah Adat Kami

12 Februari 2022   20:22 Diperbarui: 12 Februari 2022   20:36 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lustrasi: www.instagram.com/fadilmlnn

"Sebelumnya permisi bapak-bapak semua. Perkenalkan saya Irfi, dan ini teman saya Rizal. Maksud kedatangan kami di sini untuk membeli tanah bapak. Kami perwakilan dari bapak Gubernur yang diperintahkan bapak Presiden untuk membeli tanah ini. Kami akan membeli dengan harga mahal, dan akan mengganti tanah dengan luas yang sama dengan tanah ini. Bagaimana pak?" ucapnya dengan santai, dan itu membuatku sangat kesal.

Tatapan warga di luar juga semakin marah. Aku berusaha agar berbicara dengan tenang.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Basri, saya adalah ketua adat di sini. Saya perwakilan dari masyarakat di sini. Saya ingin menegaskan kepada kalian, bahwa kami tidak akan menjual atau menyerahkan tanah kami kepada siapa pun. Ini adalah tanah leluhur kami. Sebelum terbentuknya pemerintahan, leluhur kami sudah tinggal di sini, melindungi tempat ini dari para penjajah yang datang. Kami juga tidak akan menyerahkan tanah kami kepada negara. Bilang seperti itu kepada atasanmu. Dan bilang juga kepadanya, berhentilah berharap kepada tanah kami, kami tidak akan menyerahkannya sampai kapan pun. Dan berhentilah mengganggu ketentraman hidup kami di sini". Ucapku dengan tegas

"Betulll, betull itu. Cepat pergi! jangan ganggu kami!" ucap salah satu warga yang ada di luar.

"Tapi pak, ini sebenarnya perintah dari Presiden langsung" ucap salah satu dari mereka.

"Kami di sini tidak peduli. Cepat pergi dan ucapkan hal yang tadi kubilang kepada atasanmu!" ucapku yang sudah tak bisa menahan emosi

"Baik kalau begitu, kami pamit, pesan warga di sini akan kami sampaikan"

"Mari, pak" ajak Marlo kepada dua orang tersebut.

Mereka berdua pergi, sorak sorai warga desa terdengar. Namun, pak tua memberi peringatan bahwa ini belum berakhir. Pak tua berbicara kepadaku, kemungkinan atasannya akan datang langsung untuk menemui kami, sebaiknya bersiap-siap. Bahkan ada kemungkinan tanah ini akan dirampas secara paksa. Aku sangat terkejut mendengar ucapan pak tua dan langsung berdoa kepada leluhur untuk memberi perlindungan kepada tanah, dan juga keluarga kami di sini.

...

Aku mempunyai anak perempuan satu-satunya bernama Noella. Sedari kecil Noella selalu kuajarkan cara bertarung, berburu dan ibunya mengajarkan Noella untuk memasak. Sepertinya Noella lebih tertarik dengan berburu dan juga berperang daripada memasak. Aku dan ibunya tak apa jika ia lebih memilih jadi pelindung desa daripada menjadi ibu rumah tangga. Noella semakin tumbuh menjadi dewasa, cukup banyak sejauh ini yang ingin menjadikan Noella sebagai istri namun, Noella selalu menolaknya. Ia ingin menjadi sepertiku melindungi desa karena ia punya ilmu bela diri, dan juga bertarung yang kuajarkan. Sampai suatu malam Noella menghampiriku dan berkata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun