Jari-jemari Prasasti tengah menari lincah di atas keyboard laptopnya ketika seorang wanita muda tertangkap sudut matanya berdiri termenung di depan kotak kaca di tengah ruang pameran itu. Wanita itu nampaknya berusia petengahan dua puluhan, seumuran dengan Prasasti. Ia mengenakan baju kebaya hijau muda cerah yang dipadukan dengan kain jarik cokelat tua dan kemben sewarna daun. Cantik sekali, pikir Prasasti.
Keadaan di ruang pameran itu hening, hanya suara celetakan keyboard Prasasti yang terdengar. Walau hari sudah beranjak malam, Prasasti masih setia di tempatnya. Teman-temannya telah pulang ke rumah masing-masing beberapa waktu yang lalu, tepat setelahruang pameran ditutup. Dia adalah ketua pameran seni tahun ini, mau tidak mau dia harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas akhir ini dan laporan yang menyertainya.
"Woi ..." sapaan Widhi mengejutkan Prasasti yang masih sibuk dengan laporan pelaksanaan pameran.
"Buset! Kowe ngagetin, Wid, kukira setan," ujar Prasasti menoyor kepala temannya yang terkekeh-kekeh itu.
"Hahaha ... serius banget, sih, bro, ngapain emang?" tanya Widhi mengambil tempat duduk di depan Prasasti.
"Laporan pameran, dodol," jawab Prasasti kembali menatap layar laptopnya. Duhh, mata gua kabur, pikir Prasasti menekan kedua kelopak matanya.
"Istirahat dulu, bro, besok juga masih ada waktu," ujar Widhi. Ia mengedarkan pandangannya menyusuri ruang pameran berukuran satu lapangan basket itu.
"Kok ngeri, ya, lama-lama?" ujarnya lagi.
"Ngeri kenapa?" tanya Prasasti menutup laptop dan merapikan meja kerja kecil dihadapannya. "Yuk lah," katanya lagi kemudian beranjak.
"Rasanya kayak kita nggak cuma berdua disini," jawab Widhi ngacir menjajari langkah Prasasti.
"Nggak usah aneh-aneh, deh, Wid!" ujar Prasasti sembari mengunci ruang pameran itu.
Tiba-tiba langkah Prasasti melambat. Tanpa sengaja sudut matanya menangkap wanitaberkebaya hijau itu lagi di sudut jauh bangunan. Besok aja, deh, aku tanyain dia siapa, pikirnya kemudian berlalu.
*** *** *** ***
Malam kedua dan ketiga, wanita itu datang lagi dengan mengenakan busana yang sama. Malam ini pun ia datang di waktu yang sama yaitu ketika malam. Maka, dengan memberanikan diri, Prasasti mendekati wanita yang - sekali lagi - berdiri termenung di depan kotak kaca di tengah ruang pameran.
"Hai," sapa Prasasti.
Wanita itu hanya tersenyum tanpa membalas sapaan Prasasti. "Cantik," ujarnya.
"Cantik?" ulang Prasasti tak paham.
"Sampur ini cantik," katanya, merujuk pada sampur kuning keemasan yang terbingkai kotak kaca di depannya.
"Oh iya, cantik," jawab Prasasti.
Suasana hening kembali. Keduanya terdiam.
"Kamu bisa nari?" tanyanya lagi.
"Sedikit," jawab wanita itu. Matanya menatap penuh kerinduan pada sampur berwarna kuning keemasan itu.
"Sampur ini milik nenek buyut temanku. Yah ... walaupun nenek buyutnya sudah meninggal, dia bilang kami boleh meminjamnya untuk dipajang di sini," jelas Prasasti.
"Cantik," ujar wanita itu lagi.
"Aku Prasasti, kamu?" Prasasti menanyakan nama wanita itu.
"Aku Ning," jawabnya.
"Kamu mau pegang sampur itu?" tanya Prasasti melihat Ning yang masih menatap sampur itu dengan mata nanar penuh kerinduan.
"Apakah boleh?" tanyanya. Kini mata Ning berkilau terang, seakan memang itu yang ia inginkan sejak tadi.
"Tentu," jawab Prasasti.
Dengan perlahan Prasasti membuka kotak kaca itu. Seketika bau harum bebungaan menyerbu indera penciumannya, membuatnya rileks. Kain sampur berwarna kuning keemasan itu sangat halus dan ringan, Prasasti merasa seperti menggenggam air. Diulurkannya kain itu kepada Ning.
Seolah mengekspresikan kerinduannya yang sangat dalam, Ning memeluk kain sampur itu di pipinya. Tak lama kemudian ia mengenakan kain sampur itu di sekeliling pinggangnya. Mengambil tiga langkah kebelakang, Ning mulai menggerakkan tubuhnya. Prasasti membelalakkan matanya terkesima melihat Ning menari dengan eloknya menggunakan kain sampur itu.
"Indah sekali, Ning," ujar Prasasti pada Ning setelah wanita itu menyelesaikan langkah terakhir tariannya.
"Terima kasih," jawab Ning tersipu. Ia melepas kain sampur kuning emas itu kemudian mengembalikannya pada Prasasti.
"Apakah aku boleh memakainya lagi besok?" tanyanya.
"Tentu saja," jawab Prasasti menutup kembali kotak kaca tersebut.
Sepasang muda-mudi itu pun berpamitan dan beranjak pergi. Keduanya mengulum senyum pada masing-masing, menunjukkan bahwa ada rasa yang mulai tumbuh di dalam hati.
*** *** *** ***
Keesokan malamnya, pada waktu dan tempat yang sama, Ning kembali menyuguhkan sebuah tarian yang sangat indah kepada Prasasti. Lekuk tubuhnya berlenggak-lenggok lemah gemulai. Matanya terpaku hanya pada Prasasti seorang. Dengan senyum yang terukir indah dibibirnya, menyedot seluruh perhatian Prasasti.
"Ning, kamu merasa tidak, sampur ini sepertinya mengandung magis," ujar Prasasti sembari menyentuh sampur kuning keemasan yang terlilit di pinggang Ning.
"Maksud kamu?" tanya Ning keheranan.
“Entahlah … hanya saja aku merasa bahwa sampur ini mengandung magis. Kainnya dingin, sangat halus, dan terasa sangat ringan. Ketika kau pakai untuk menari, rasanya kecantikanmu bertambah berkali-kali lipat,” jelas Prasasti.
“Jadi, menurutmu aku nggak cantik, begitu?” cecar Ning pada pemuda di depannya itu.
“Bukannya kamu nggak cantik, Ning, tapi rasanya ketika kau menari menggunakan sampur ini, kau jadi makin cantik,” jelas Prasasti dengan mimik menggoda.
“Oh astaga, kau hanya ingin menggodaku!” ujar Ning gemas dan mencubit Prasasti dengan manja.
“Hahaha … maaf … maaf …. Aku hanya bercanda. Dengan atau tanpa sampur itu, kau sudah cantik, Ning,” ujar Prasasti menyundul dahi Ning dan menatap langsung pada kedua matanya.
Ning yang tersipu malu mengalihkan tatapannya. Prasasti terduduk di depan kotak kaca tempatnya meletakkan kain sampur itu dengan Ning yang berada disebelahnya duduk bersimpuh. Matanya mengedarkan pandangan ke penjuru ruang pameran.
“Tahukah kau, dahulu kala ada seorang penari kraton yang mati karena dibunuh oleh sang raja?” ujar Ning tiba-tiba.
“Maksudmu?” Prasasti menoleh dengan terheran-heran.
“Ya, dahulu kala ada seorang penari kraton yang sangat cantik. Tubuhnya sangat elok. Tariannya sangat indah. Dia adalah penari kesayangan sang raja,” Ning mulai bercerita. Matanya menatap nanar di sudut jauh ruang pameran.
Prasasti yang tidak memahami apa yang dikatakan Ning hanya diam saja. Ia adalah tipe lelaki yang akan mendengarkan dan menghargai seseorang berbicara, entah dia memahaminya atau tidak. Maka, walau dengan dahi yang berkerut keheranan, Prasasti memberikan perhatiannya pada wanita disampingnya itu.
“Dia berasal dari kalangan rakyat biasa. Dia bukan anak seorang abdi dalem, bukan nak seorang lurah atau camat, bukan anak orang berpangkat. Dia hanya seorang anak petani miskin. Hanya saja karena kecantikan dan keelokan tubuh serta kemahirannya dalam menari, ia diangkat dan dipekerjakan sebagai penari di kraton. Saking sayangnya sang raja kepadanya, para selir pun merasa cemburu,” tuturan Ning berlanjut.
Prasasti mulai terhanyut dan masuk dalam cerita yang dituturkan oleh Ning. Di hadapannya seolah ia melihat seorang penari yang cantik jelita. Di belakang penari itu, seorang lelaki duduk di singgasana raja didampingi oleh beberapa wanita lain yang menatap iri pada penari itu. Anehnya, pakaian yang digunakan penari itu mirip dengan busana yang dikenakan oleh Ning, kebaya hijau muda cerah, kain jarik cokelat tua, kemben sewarna daun, dan sampur kuning keemasan. Bedanya hanya pada kelat bahu berwarna emas yang sangat indah yang dikenakan penari itu di kedua lengannya.
“Akan tetapi, pada hari keempat puluh penari itu berada di kraton, terjadilah hal yang mengerikan. Ketika wanita itu tengah menyuguhkan tariannya di hadapan sang raja seperti hari-hari sebelumnya, sang raja seolah kesetanan. Tiba-tiba saja sang raja menghunuskan kerisnya ke arah wanita itu. Keadaan gempar seketika. Para selir berlarian dan berteriak ketakutan. Para prajurit segera datang, bermaksud untuk menenangkan keadaan yang ada. Tetapi, sang raja yang masih memegang keris yang telah berlumuran darah itu malah menghelanya ke arah seorang prajurit.”
Di dalam benak Prasasti, dia melihat semua kejadian yang diceritakan oleh Ning. Lelaki yang duduk di singgasana raja itu mencabut keris yang terselip di bajunya dan menusukkannya ke perut si penari. Si penari tertegun sejenak, kemudian tersenyum bengis. Ia terduduk kaku, dari sisi perutnya darah segar mengalir dengan deras. Sang raja kemudian berdiri dan menatap penuh dendam pada seorang prajurit yang berlari menghampiri si penari. Tanpa pikir panjang sang raja menghunuskan keris itu ke tengkuk prajurit yang tengah menunduk memeriksa keadaan si penari.
Prasasti terentak. Seketika ia memegang tengkuknya. Entah menapa ia merasakan sakit yang menghujam di bagian belakang kepalanya.
“Usut punya usut, ternyata penari itu adalah kekasih dari prajurit raja. Sang raja yang mengetahui hal itu merasa marah dan membunuh keduanya,” suara Ning menarik Prasasti dari gambaran yang terbentuk di dalam benaknya sendiri.
“Dari mana kau tahu cerita seperti itu, Ning?” tanya Prasasti keheranan.
“Itu hanya sebuah cerita, Pras, tidak perlu terlalu dipikirkan,” ujar Ning mengakhiri perkataannya sembari tersenyum. “Besok aku datang lagi, ya,” sambungnya lagi.
“Ya, tentu saja,” jawab Prasasti.
*** *** *** ***
“Udah malam masih ngelamun aja, Pras?” Widhi menyapa Prasasti yang tengah bertopang dagu di meja kerja kecil di sudut ruang pameran.
“Bingung aku, Wid,” ucap Prasasti.
“Kenapa?” Widhi bertanya sembari mengulurkan sebotol teh rasa buah pada Prasasti kemudian duduk di hadapannya.
“Kowe percaya setan nggak, Wid?” tanya Prasasti.
“Buset! Malam-malam ngomongin setan, kayak nggak ada bahasan lain aja. Ngomong yang lain aja, kenapa?” ucap Widhi.
“Nenek buyutmu dulunya penari, Wid?” tanya Prasasti tidak mengindahkan perkataan Widhi.
“Entah,” jawab Widhi sekenanya. “Emang kenapa?” sambungnya lagi.
“Sampur milik nenek buyutmu itu, kalau aku minta boleh nggak?” tanya Prasasti lagi.
“Maksudnya gimana? Ngomong yang jelas kenapa?” Widhi mulai merasa ada yang tidak beres dengan temannya ini.
“Aku merasa sampur kuning keemasan milik nenek buyutmu itu diminta sama yang punya, Wid,” ujar Prasasti menatap pada kotak kaca di tengah ruangan.
“Iki bocah ngomong apa, ta, jane?” Widhi mulai tak sabar dengan Prasasti. “Yuk balik aja!”
“Duluan aja, Wid,” jawab Prasasti.
Walaupun masih dengan perasaan heran, Widhi beranjak meninggalkan Prasasti. Ia keluar dari ruang pameran tanpa menutup pintunya. Namun ketika akan beranjak menstarter motornya, Widhi melihat seorang wanita cantik berkebaya hijau muda cerah dengan bawahan jarik cokelat tua di sudut jauh bangunan. Wanita itu menghadap ke arahnya kemudian berbalik menuju pintu masuk ruang pameran. Tanpa banyak berpikir Widhi segera berlalu.
Di dalam ruang pameran, Prasasti telah selesai merapikan meja kerja kecil itu. Ia sengaja merapikannya karena ia akan segera bertemu dengan Ning, wanita pujaan hatinya. Maka, merekahlah senyum di wajah Prasasti tatkala menemukan Ning tengah berdiri di depan kotak kaca di tengah ruangan dan tersenyum seakan memang sedang menunggu pemuda itu.
“Sudah lama menunggu?” tanya Prasasti menghampiri.
“Tidak, aku baru saja datang,” jawab Ning. “Malam ini, kau mau kuajak ke suatu tempat tidak?” tanyanya kemudian.
“Kemana?” tanya Prasasti lagi.
“Emm … ikut saja. Bagaimana?” tanya Ning lagi.
“Oke, deh,” jawab Prasasti.
“Tapi, lepas dulu sepatunya,” ujar Ning menunjuk sepatu kets putih yang dikenakan Prasasti.
“Kenapa harus dilepas? Bukannya di luar dingin? Kau sendiri kenapa malah tidak memakai sepatu?” Prasasti memberondong Ning dengan pertanyaan. Ia menatap ke bawah pada kaki polos Ning yang tanpa alas sama sekali.
“Kita tidak akan pergi jauh-jauh, kok,” bujuk Ning.
Prasasti pun menuruti apa yang diminta oleh wanita di depannya itu. Dilepaskannya sepatu itu beserta dengan kaos kaki yang dikenakannya. Ia sedikit kebingungan mencari tempat untuk meletakkan sepatunya. Akhirnya diletakkannya sepatu itu di bawah kotak kaca tempat sampur kuning keemasan milik nenek buyut Widhi. Sampur kuning keemasan itu sendiri sekarang tengah dililitkan Ning di sekeliling pinggang rampingnya.
Sama seperti malam-malam sebelumnya, Ning mempersembahkan sebuah tarian yang indah untuk Prasasti. Namun malam ini ada sedikit perbedaan. Tarian Ning seakan menggoda Prasasti untuk masuk lebih jauh ke dalam.
Di dalam benak Prasasti mulai terbentuk gambaran yang sama seperti malam sebelumnya. Akan tetapi malam ini ada sedikit perbedaan sudut pandang. Ia melihat sebuah pelataran rumah joglo tua dimana Ning sedang menari di sana, disusul beberapa wanita muda yang menari dibelakangnya.
Prasasti sepenuhnya terpesona pada keindahan yang tersaji di hadapannya. Tanpa berpikir panjang ia beranjak mendekat. Sekarang Prasasti mulai dapat mendengar merdunya suara gamelan Jawa yang mengalun memandu lenggak-lenggok tubuh para penari itu.
Masih dengan lenggak-lenggok tubuhnya yangn indah, Ning berjalan mendekat. Ia mulai melepaskan sampur kuning keemasan yang melilit pinggangnya itu sembari menatap menggoda pada Prasasti. Ia kemudian mengalungkan kain sampur itu ke leher Prasasti, memintanya untuk ikut menari tanpa suara.
Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi, Prasasti melupakan ruang pameran yang ada di sekelilingnya. Ia dengan hati yang sepenuhnya terpesona ikut berlenggak-lenggok menari bersama dengan Ning dan para penari lainnya di pelataran rumah joglo tua itu diiringi suara gamelan Jawa yang merdu.
*** *** *** ***
Betapa terkejutnya Widhi, ketika keesokan harinya ia tak menemukan Prasasti di mana pun. Ruang pameran yang dalam keadaan tertutup tanpa kunci itu kosong melompong. Hanya ada sepatu kets putih Prasasti di tengah ruangan, tanpa kain sampur berwarna kuning keemasan milik nenek buyutnya.
*** *** *** ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H