“Emm … ikut saja. Bagaimana?” tanya Ning lagi.
“Oke, deh,” jawab Prasasti.
“Tapi, lepas dulu sepatunya,” ujar Ning menunjuk sepatu kets putih yang dikenakan Prasasti.
“Kenapa harus dilepas? Bukannya di luar dingin? Kau sendiri kenapa malah tidak memakai sepatu?” Prasasti memberondong Ning dengan pertanyaan. Ia menatap ke bawah pada kaki polos Ning yang tanpa alas sama sekali.
“Kita tidak akan pergi jauh-jauh, kok,” bujuk Ning.
Prasasti pun menuruti apa yang diminta oleh wanita di depannya itu. Dilepaskannya sepatu itu beserta dengan kaos kaki yang dikenakannya. Ia sedikit kebingungan mencari tempat untuk meletakkan sepatunya. Akhirnya diletakkannya sepatu itu di bawah kotak kaca tempat sampur kuning keemasan milik nenek buyut Widhi. Sampur kuning keemasan itu sendiri sekarang tengah dililitkan Ning di sekeliling pinggang rampingnya.
Sama seperti malam-malam sebelumnya, Ning mempersembahkan sebuah tarian yang indah untuk Prasasti. Namun malam ini ada sedikit perbedaan. Tarian Ning seakan menggoda Prasasti untuk masuk lebih jauh ke dalam.
Di dalam benak Prasasti mulai terbentuk gambaran yang sama seperti malam sebelumnya. Akan tetapi malam ini ada sedikit perbedaan sudut pandang. Ia melihat sebuah pelataran rumah joglo tua dimana Ning sedang menari di sana, disusul beberapa wanita muda yang menari dibelakangnya.
Prasasti sepenuhnya terpesona pada keindahan yang tersaji di hadapannya. Tanpa berpikir panjang ia beranjak mendekat. Sekarang Prasasti mulai dapat mendengar merdunya suara gamelan Jawa yang mengalun memandu lenggak-lenggok tubuh para penari itu.
Masih dengan lenggak-lenggok tubuhnya yangn indah, Ning berjalan mendekat. Ia mulai melepaskan sampur kuning keemasan yang melilit pinggangnya itu sembari menatap menggoda pada Prasasti. Ia kemudian mengalungkan kain sampur itu ke leher Prasasti, memintanya untuk ikut menari tanpa suara.
Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi, Prasasti melupakan ruang pameran yang ada di sekelilingnya. Ia dengan hati yang sepenuhnya terpesona ikut berlenggak-lenggok menari bersama dengan Ning dan para penari lainnya di pelataran rumah joglo tua itu diiringi suara gamelan Jawa yang merdu.