Ibu sedang menyiapkan makan malam, saat aku duduk menunggu dengan muka cemberut dan kedua tangan terlipat di dada.
"Sayang, tunda dulu keberangkatanmu sampai adikmu libur sekolah. Jangan kecewakan ibu kali ini!"
Aku pasrah.Â
Hari yang ditunggu pun tiba. Sekolah Julia mengumumkan libur selama dua pekan. Aku dan geng Altarex segera mematangkan rencana.Â
Pagi itu aku, Julia, dan sebelas anggota geng Altarex menumpang bus dengan tujuan peternakan Hans. Perjalanan dimulai pukul sembilan pagi, dan akan sampai sekitar pukul dua belas siang.Â
Di tengah perjalanan, bus berhenti untuk mengganti ban depan yang tiba-tiba bocor.Â
Ketika bis bergerak kembali, Julia duduk di sebelahku dan mengatakan sesuatu.
"Ini pertanda buruk, Kak. Apa kau tidak merasa takut sama sekali?"
Aku mendengus kesal. Beginilah kalau anak kecil harus ikut. Yang ada di kepalanya hanya kejadian buruk dan rasa takut.Â
Aku mengaitkan speaker kecil ke telinga dan mulai memutar playlist lagu favorit. Sekilas kulirik anggota geng Altarex masih tenang di kursi masing-masing.
Entah saat itu pukul berapa, tetapi mataku mulai mengantuk dan bus kembali berjalan terseok-seok.Â
Aku berdiri sambil memegang kursi di depanku. Apakah jalan di bagian depan rusak? Aku bertanya dalam hati.
Ternyata tidak sama sekali. Jalanan begitu rata dan mulus. Begitu juga di arah belakang.Â
Baru saja aku ingin duduk kembali, tiba-tiba bus yang kutumpangi seolah membentur sesuatu dengan sangat keras.
Tubuhku terpental dan menghantam kursi penumpang. Ouhh, rasanya sakit sekali.Â
Aku meringis sambil berusaha bangkit. Apakah ada masalah dengan ban yang baru?
Aku terperanjat kaget. Mengapa tidak ada orang di sini?Â
Dan geng Altarex, kenapa mereka ikut-ikutan menghilang?
"Julia? Philip? Lissa? Kalian dengar aku?"
"George? Tolong jangan bercanda!"Â
Aku mulai putus asa.Â
Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah aku sedang bermimpi?
Kucubit pipiku. Sakit. Berarti aku tidak bermimpi.Â
Aku berusaha menepis berbagai pikiran buruk yang mulai menerorku. Lebih baik aku segera keluar dari sini.
Jantungku berdegup dengan ketidaknormalan. Seumur hidup, ini adalah kejadian teraneh yang pernah kualami. Apa yang harus kukatakan pada ibu nanti tentang Julia?
Saat aku menengok ke belakang, bus terlihat sebagai rongsokan tua yang ditumbuhi rumput-rumput liar.Â
Apakah aku sedang terjebak ke dalam dimensi lain? Itu mirip dengan cerita horor yang kubaca dari buku perpustakaan.
Sebaiknya aku segera pergi sebelum keanehan lainnya terjadi. Dan Julia, semoga aku bisa menemukannya.
Aku terus berjalan di tanah kering kekuningan. Aku gagal menghidupkan lokasi di ponsel, Layarnya bahkan mati setelah kut terlempar karena kejadian tadi. Aku tidak dapat mencari tahu di mana aku sekarang.
Perlahan permukaan jalan mulai berubah gelap. Pepohonan di sekeliling membentuk siluet seperti monster.Â
Aku benar-benar lelah. Semoga ini tidak terlalu lama dan aku bisa segera menemukan sebuah desa.
Nafasku hampir habis, ketika akhirnya di kejauhan terlihat sebentuk bangunan besar. Aku berjalan mendekatinya dan berharap kengerian ini segera berakhir.
Penginapan Barbara Lewis. Aku membaca papan penunjuk yang tampak kotor di atas pintu masuk.
Aku terpana.Â
Penginapan ini menyerupai kastil kerajaan yang kerap kubaca dalam buku dongeng. Sebaiknya aku mencoba berbicara dengan orang di dalam sana. Setidaknya aku ingin menginap untuk malam ini saja.
"Ada apa, Nona?" seorang wanita tua dari belakang meja pembatas menyambutku.
Aku memandang wajahnya yang tampak menyeramkan. Kulitnya berwarna abu-abu dan sedikit agak gelap. Matanya menatap tajam dan hidungnya besar.
"Nyonya, apakah aku bisa menginap semalam saja? Aku akan membayarnya dengan uang ini. Maaf aku tak punya yang lainnya," aku menyodorkan dua lembar uang kertas serta beberapa koin sisa dari membeli permen sebelumnya.
"Apakah itu kurang?" aku menatap wanita itu dengan khawatir.
"Dengan harga segini kau tidak akan mendapatkan jatah makan."
"Baiklah, aku setuju!" kataku lega.
Wanita itu lalu memberiku kunci  besi yang menurutku agak kuno dan terlalu besar.
"Kau bisa lewat tangga di ujung sana dan menemukan kamarmu sesuai angka yang tertulis di kunci itu."
Aku mengangguk setelah mengamati benda di tanganku. Ada gambar siluet wanita bermahkota terpatri di sana.
*
Aku tidak bisa memejamkan mata dan terus saja membalik-balikkan badan di atas tempat tidur.Â
Aku tidak mungkin menjelaskan pada ibu bahwa Julia dan penumpang lainnya menghilang begitu saja, dan bus berubah menjadi rongsokan tua.
Aku bertambah benci pada adikku itu. Dia selalu saja membuat masalah dalam hidupku.
Hmm, bau apa ini? Aku merasa mual dan ingin muntah. Anyir sekali. Apakah di sekitar sini ada potongan daging manusia yang mulai membusuk?
Aku menutup hidungku dengan selimut. Namun beberapa lama kemudian bau itu kembali tercium. Malah terasa semakin dekat. Usahaku membuka jendela tak mengurangi bau di dalam kamar.
Aku berusaha tidak memikirkannya namun bayangan mengerikan justru memenuhi kedua mataku.
Saat kudengar langkah kaki di luar, aku bergegas membuka pintu. Mungkin petugas juga merasakan gangguan ini dan bermaksud memindahkanku ke kamar yang lain.
Aneh. Tidak ada siapa-siapa di luar. Lorong depan kamar begitu sepi dan tampak remang saja.
Aku menutup pintu kamar dan memutuskan menggeledah lemari dan bawah tempat tidur. Meski terkunci dan sedikit sulit dibuka, akhirnya berhasil juga dengan bantuan sisa lilin di meja. Sayangnya di dalam hanya ada boneka besar yang sudah usang dan beberapa kostum badut. Tak ada barang busuk apapun.
Tempat terakhir adalah bawah tempat tidur dengan dua koper besar yang dipenuhi debu. Koper berwarna hitam tampaknya terkunci meski tidak terlalu berat. Tetapi koper merah masih dengan anak kunci menggantung.
Sepertinya bau anyir dan menyengat itu memang berasal dari bawah tempat tidur. Aku tak tahan dan muntah ke keranjang sampah. Selendang tua dari lemari kugunakan untuk mengikat hidungku ke kepala.
Perlahan aku memutar anak kunci dan membuka koper sambil menduga kemungkinan terburuk tentang benda di dalamnya.
Ya Tuhan!! Mataku membelalak demi melihat isi di dalamnya. Itu adalah potongan mayat adikku, Julia. Keadaannya sangat buruk karena mulai digerogoti makhluk kecil yang bergerak-gerak.
"Jangan bergerak, Nona! Anda kami tangkap karena kasus pembunuhan berencana!" seorang petugas memberitahu sementara temannya dengan cepat memborgol tanganku ke belakang.
"Tunggu...., saya tidak melakukan apapun, Tuan!"
"Percuma membela diri, Nona Carry. Di sini semua niat dalam hati akan dikabulkan oleh Dewi kami. Bukankah kau ingin adikmu itu mati?"
Aku memandang wajah abu-abu agak gelap dengan hidung besar yang kemarin memberiku kunci kamar. Di sana terpatri gambar siluet wanita bermahkota yang sangat anggun.
***
Kota Kayu, 11 Juni 2023
Cerpen Ika Ayra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H