Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mama, Terima Kasih Telah Menungguku Pulang

13 November 2023   07:23 Diperbarui: 14 November 2023   23:01 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah lima belas tahun lamanya, aku tak menginjakkan kaki di rumah tempatku dulu dibesarkan. Selama itu pula aku menutup mata tentang keadaan mama. Entah apakah mama di sana sehat ataukah sakit, aku tak pernah mencoba menghubungi. 

Tak terasa air mataku berlinang. 

Sebagai satu-satunya anak mama, aku begitu tega kepada wanita yang telah melahirkan dan merawatku. Bukannya bersikap baik dan melindungi mama, aku justru menghukum mama dengan pergi dari rumah.

*

Saat usiaku empat belas tahun, papa meninggal karena serangan jantung. Setelah kejadian itu, aku semakin merasa kesepian karena mama harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Sore hari aku baru bisa bertemu mama, itu pun mama sudah dalam keadaan lelah dan ingin istirahat.

Inilah awal mula keretakan hubunganku dengan mama. Aku merasa kecewa karena hari demi hari mama terus mengabaikanku. Aku bahkan merasa kalau kehadiranku tidak dibutuhkan lagi. 

Beberapa kali aku mencoba membicarakan hal ini saat kami makan malam. Aku ingin mama bisa memahami perasaanku dan mengurangi kesibukannya di luar rumah. Sayang, mama justru mencaci-maki dan mengatakan kalau aku tidak tahu diuntung. 

Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan. Aku berusaha mengerti posisi mama sebagai oramg tua. Mungkin mama berusaha mengalihkan kesedihan dengan menyibukkan diri. Seperti  aku, boleh jadi mama juga sangat kehilangan papa.

Sampai suatu hari beredar gosip yang membuat telingaku merah. Warga di sekitar tempat kami tinggal, menyudutkan mama dengan tuduhan miring. Selentingan itu mengatakan kalau mama menjalin hubungan dengan suami orang!

Tak pelak lagi, rasa hampa di hatiku berubah menjadi rasa dendam. Aku benci kepada orang-orang yang memfitnah mama. Bagiku mereka adalah musuh. 

Tapi kemarahanku tak berlangsung lama. Dalam suatu kesempatan aku mendengar percakapan mama di telepon. Malam itu mungkin mama berpikir aku sudah tidur. Padahal saat itu aku mulai demam dan gelisah tidak dapat memejamkan mata.

Ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang tentang mama. Mama gagal menjaga marwahnya dan membiarkan kumbang jantan menghancurkan hubungan kami. Aku menyesal terlahir dari rahim mama. Alangkah memalukan punya mama seperti ini.

Aku pun menjadi tak semangat belajar. Yang ada di kepalaku hanyalah keinginan untuk pergi meninggalkan mama. Tapi kemana? 

Sebenarnya mama tak menyadari luka batin yang kurasakan. Aku tak pernah membahasnya dengan mama karena aku tahu itu akan percuma. Dan mama sama sekali tidak menyadari perubahan sikapku.

Sejak papa meninggal dan mama sibuk bekerja, mama memang jarang mempedulikan berapa nilai tugas dan ulangan yang kudapat di sekolah. Maka ketika aku terbiasa mengabaikan tugas dari guru, mama juga tak mengetahui apalagi memarahi. 

Tiba saat kelulusan SMU, mama marah besar karena aku dinyatakan tidak lulus. Mama lebih emosi lagi saat tahu nomor sekolah telah kublokir dari ponselnya. 

Aku tak tahan lagi melihat mama pura-pura amnesia dengan kesalahan yang sudah dilakukannya. Segera kukemasi barang-barangku dan angkat kaki dari rumah. 

Aku menaiki taksi yang sudah kupesan. Dalam hati aku berjanji tidak akan pernah kembali ke pangkuan mama. Biarlah mama menjalani hidupnya sesuai keinginannya. Aku akan mencoba menemukan diriku dan berusaha menjadi wanita yang lebih baik dari mama.

*

Sekitar tiga bulan yang lalu, petak di sebelah tempat tinggalku kedatangan penghuni baru. Mereka adalah Mbak Pur dan putri tunggalnya, Desy.

Menurut cerita yang kudengar, suami Mbak Pur tega meninggalkan mereka demi wanita lain. Saat itu Desy bahkan belum genap sepuluh tahun. Mereka berjuang dengan berdagang nasi pecel di pasar, sampai pada tahun kelima suaminya meminta rujuk kembali. Tetapi maut memisahkan di tahun berkutnya.

Aku sempat bertanya apakah mereka tidak merasa dendam saat itu? 

Tuhan menuntunku melalui pertemuan bersama keduanya. Aku belajar banyak tentang arti sebuah keluarga. Bahwa baik atau buruk, pilihan kita adalah tetap bersama mereka dan memaafkan dengan setulus hati. 

Saat mendengar kisah masa laluku dengan mama, Mbak Pur memberikan satu nasihat yang membuatku tersentuh. 

Tak ada ibu yang sempurna di dunia ini. Justru kesempurnaan itu ada karena anak baik yang mereka miliki.

Aku pun bercermin. 

Dan betapa sedihnya saat kusadari aku bukanlah sosok anak baik itu. 

Aku tak pernah seperti Desy yang rajin membantu ibunya berdagang nasi pecel. Aku juga tak pernah berusaha menyenangkan hati mama dengan membuatkan secangkir teh hangat sambil memijat bahunya. Bahkan saat mama pulang kehujanan, aku tak pernah megkhawatirkan kalau-kalau mama menjadi masuk angin setelah itu.

Selama lima belas tahun ini aku tenggelam dalam rutinitas kerjaku di kota lain. Hatiku masih saja sekeras batu dan merasa diri paling benar. Aku seakan lupa jika ini akan menjerumuskanku menjadi anak durhaka!

*

15 November.

Sebelum benar-benar terlambat, aku memutuskan untuk pulang ke pangkuan wanita yang seharusnya kumuliakan. Mama.

Aku akan meninggalkan pekerjaan bahkan hidupku yang selama ini kuanggap baik-baik saja di sini. Aku akan menemui mama dan berharap mama tidak melupakan anak sepertiku.

Perjalanan lebih dari empat jam dengan kereta akhirnya mengantarku pada kota kelahiranku. Kota yang jelas banyak berubah dan jauh berkembang sekarang.

Sedikit rasa khawatir menelusup dalam hatiku. 

Apakah mama masih ada, karena selama ini aku benar-benar lose contact. Apakah mama masih tinggal di rumah masa kecilku, atau justru sudah pindah ke alamat yang baru? Apakah mama masih mengenaliku, dan mau menerimaku kembali?

"Pak, mampir di depan ya, di toko bunga," pintaku pada driver kendaraan yang kutumpangi. Seingatku mama paling senang jika almarhum papa memberi seikat bunga mawar merah. Setidaknya aku bisa menyatakan rasa maafku melalui bunga kesukaan mama.

Jantungku semakin berdebar. Aku gelisah membayangkan bagaimana respon mama jika melihatku tiba-tiba muncul di depan pintu. Bagaimana jika mama mengusirku?

Akhirnya mobil berhenti.

Kupandangi rumah berwarna biru pucat yang masih terlihat asri sama seperti dulu. Artinya mama masih sehat karena mama juga yang selalu menyirami pot bunga tanamannya. Ah, aku semakin rindu ingin memeluk mama.

"Mbak, ini barangnya," kata driver mengagetkanku.

"Oh, ya, terima kasih ya Pak." 

Setelah mobil berlalu, aku berjalan pelan. Tak terasa air mataku mengalir sendiri.

Perlahan pintu abu-abu itu dibuka dari dalam. Sesosok wanita keluar dan langsung menyambutku dengan merentangkan kedua tangannya.

"Kariiiiin...."

Aku segera menghambur ke pelukan mama. Rindu dan bahagia kembali menumpahkan tangisku. Betapa bersyukurnya karena mama masih mau menerimaku.

"Ini Karin bawa bunga untuk mama," kataku sambil melepaskan pelukan. 

Kupandangi wajah mama yang sudah dihiasi kerutan, namun masih terlihat cantik.

"Terima kasih, ya Karin. Mama tahu Karin akan pulang hari ini," mama mencium bunga di tangannya. Kami pun masuk ke dalam rumah.

"Oya?"

"Ya. Mama selalu berdoa setiap malam. Mama juga sudah menyiapkan kado ulang tahun untuk Karin. Sebentar, mama ambilkan..."

Aku benar-benar terharu. Mama punya kado meski aku sudah meninggalkannya sekian lama. 

"Selamat ulang tahun, Karin. Mama senang Karin sehat, panjang umur, dan akhirnya pulang ke rumah ini..."

"Mama, Karin minta maaf yaa..." aku berlutut mencium kaki mama. 

Terbayang semua kesalahanku kepada mama. Sebagai anak aku terlalu banyak menuntut, bahkan tega meninggalkan mama selama lima belas tahun.

"Mama juga minta maaf pada Karin. Mama tidak sadar membiarkan Karin kesepian setelah papa meninggal. Mama minta maaf juga yaa..." 

Kami bepelukan semakin erat. Lega rasanya, dan semua seperti sudah terurai. 

"Selamat ulang tahun, Karin. Jangan pergi lagi yaa!" bisik sebuah suara dalam hatiku.

***

Cerpen ini diikutkan dalam Sayembara Pulpen bertema ulang tahun.

Foto: dokpri
Foto: dokpri

Ika Ayra, senang menulis cerpen bergaya terjemahan. Menulis di Kompasiana sejak Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun