Tapi kemarahanku tak berlangsung lama. Dalam suatu kesempatan aku mendengar percakapan mama di telepon. Malam itu mungkin mama berpikir aku sudah tidur. Padahal saat itu aku mulai demam dan gelisah tidak dapat memejamkan mata.
Ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang tentang mama. Mama gagal menjaga marwahnya dan membiarkan kumbang jantan menghancurkan hubungan kami. Aku menyesal terlahir dari rahim mama. Alangkah memalukan punya mama seperti ini.
Aku pun menjadi tak semangat belajar. Yang ada di kepalaku hanyalah keinginan untuk pergi meninggalkan mama. Tapi kemana?Â
Sebenarnya mama tak menyadari luka batin yang kurasakan. Aku tak pernah membahasnya dengan mama karena aku tahu itu akan percuma. Dan mama sama sekali tidak menyadari perubahan sikapku.
Sejak papa meninggal dan mama sibuk bekerja, mama memang jarang mempedulikan berapa nilai tugas dan ulangan yang kudapat di sekolah. Maka ketika aku terbiasa mengabaikan tugas dari guru, mama juga tak mengetahui apalagi memarahi.Â
Tiba saat kelulusan SMU, mama marah besar karena aku dinyatakan tidak lulus. Mama lebih emosi lagi saat tahu nomor sekolah telah kublokir dari ponselnya.Â
Aku tak tahan lagi melihat mama pura-pura amnesia dengan kesalahan yang sudah dilakukannya. Segera kukemasi barang-barangku dan angkat kaki dari rumah.Â
Aku menaiki taksi yang sudah kupesan. Dalam hati aku berjanji tidak akan pernah kembali ke pangkuan mama. Biarlah mama menjalani hidupnya sesuai keinginannya. Aku akan mencoba menemukan diriku dan berusaha menjadi wanita yang lebih baik dari mama.
*
Sekitar tiga bulan yang lalu, petak di sebelah tempat tinggalku kedatangan penghuni baru. Mereka adalah Mbak Pur dan putri tunggalnya, Desy.
Menurut cerita yang kudengar, suami Mbak Pur tega meninggalkan mereka demi wanita lain. Saat itu Desy bahkan belum genap sepuluh tahun. Mereka berjuang dengan berdagang nasi pecel di pasar, sampai pada tahun kelima suaminya meminta rujuk kembali. Tetapi maut memisahkan di tahun berkutnya.