Sudah lima belas tahun lamanya, aku tak menginjakkan kaki di rumah tempatku dulu dibesarkan. Selama itu pula aku menutup mata tentang keadaan mama. Entah apakah mama di sana sehat ataukah sakit, aku tak pernah mencoba menghubungi.Â
Tak terasa air mataku berlinang.Â
Sebagai satu-satunya anak mama, aku begitu tega kepada wanita yang telah melahirkan dan merawatku. Bukannya bersikap baik dan melindungi mama, aku justru menghukum mama dengan pergi dari rumah.
*
Saat usiaku empat belas tahun, papa meninggal karena serangan jantung. Setelah kejadian itu, aku semakin merasa kesepian karena mama harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Sore hari aku baru bisa bertemu mama, itu pun mama sudah dalam keadaan lelah dan ingin istirahat.
Inilah awal mula keretakan hubunganku dengan mama. Aku merasa kecewa karena hari demi hari mama terus mengabaikanku. Aku bahkan merasa kalau kehadiranku tidak dibutuhkan lagi.Â
Beberapa kali aku mencoba membicarakan hal ini saat kami makan malam. Aku ingin mama bisa memahami perasaanku dan mengurangi kesibukannya di luar rumah. Sayang, mama justru mencaci-maki dan mengatakan kalau aku tidak tahu diuntung.Â
Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan. Aku berusaha mengerti posisi mama sebagai oramg tua. Mungkin mama berusaha mengalihkan kesedihan dengan menyibukkan diri. Seperti  aku, boleh jadi mama juga sangat kehilangan papa.
Sampai suatu hari beredar gosip yang membuat telingaku merah. Warga di sekitar tempat kami tinggal, menyudutkan mama dengan tuduhan miring. Selentingan itu mengatakan kalau mama menjalin hubungan dengan suami orang!
Tak pelak lagi, rasa hampa di hatiku berubah menjadi rasa dendam. Aku benci kepada orang-orang yang memfitnah mama. Bagiku mereka adalah musuh.Â