Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elyana dan Pernikahan Kedua

24 September 2023   17:24 Diperbarui: 24 September 2023   17:30 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ya, halo?"

"Aku butuh kau menolongku. Aku akan segera melahirkan."

Elyana mematikan telepon. Segera dikirimnya lokasi rumah sakit dan ruangan dimana dia dirawat. Lalu terduduk lesu menunggu Willy, mantan suami yang diceraikannya setahun lalu.

Laki-laki itu, dikenalkan mama kepadanya saat dia masih sangat muda. Tak lama kemudian pernikahan pun digelar.

Elyana tak tahu harus berkata apa. Sebenarnya dia tak ingin buru-buru menikah, Elyana takut dicap anak tak berbakti. Dia menerima saja, sambil berharap hidupnya akan bahagia.

Willy adalah pria mapan. Dia bekerja di perusahaan asing dan belum pernah menikah. Usia yang terpaut lima belas tahun, bukanlah sebuah masalah. Jalani saja, begitu kata mama.

Meski Willy bersikap baik dan selalu menuruti keinginannya, tetapi Elyana merasa bosan. 

Mereka sudah menikah sepuluh tahun, dan rumah tetap sepi tanpa kehadiran anak-anak. Hqnya dia dan Willy.

Elyana mulai sering menghibur diri. Dia bertemu teman-teman lamanya sambil ngopi sore. Mereka saling bertukar kabar dan cerita rumah tangga. Sampai tiba giliran Elyana untuk curhat. Beberapa di antara temannya menyarankan dia menikah lagi.

Ini bukan ide yang terlalu salah, pikir Elyana. Segala kenyamanan dan fasilitas dari suaminya tak akan berarti apa-apa jika mereka tak memiliki momongan. Dia ingin menggendong seorang bayi, ingin mengantarnya ke sekolah, ingin menemaninya mengerjakan PR.

Akhirnya Elyana menemukan momen yang tepat. 

Saat dia berulang tahun, Willy bertanya kado apa yang harus dia berikan. Dengan cepat Elyana menjawab bahwa dia ingin bercerai. Toh, menurut hasil pemeriksaan medis rahimnya sehat. Justru suaminya lah yang mempunyai masalah.

Dia mulai histeris saat suaminya membujuknya.

"Jika posisi kita ditukar, kau pasti akan mencampakkan aku juga, kan? Tidak ada pria yang sanggup menua bersama istri yang tidak dapat melahirkan anak!" jerit Elyana.

Sebagai orang yang sukses dalam karir, harta dan kesenangan apapun dapat diberikan Willy untuk istrinya. Berapapun harganya dia akan membayarnya. Tapi kali ini dia merasa bimbang, harus memenuhi atau tidak.

Selama ini Willy berusaha menjadi suami yang terbaik untuk Elyana. Beberapa gadis di kantornya yang berusaha mencuri perhatiannya, tak pernah ditanggapi. Baginya kesetiaan adalah harga mati.

Sebagai suami, Willy juga berusaha memaklumi tingkah Elyana yang kadang kekanak-kanakan dan sering marah tanpa alasan jelas.

Tetapi Elyana tak terlalu peduli dengan semua pengorbanan suaminya. 

Dia merasa tidak adil karena sudah membuang-buang waktu dengan hidup bersama Willy. Dia tidak rela menjadi wanita yang tidak bisa mempunyai anak. 

Elyana ingin menjadi wanita yang sempurna. Dia sangat ingin melahirkan seorang bayi yang akan memanggilnya ibu. Dia juga ingin menyusui bayinya seperti wanita pada umumnya. 

Elyana pernah melihat kakak perempuannya memiliki kantung mata saat kurang tidur.

Tapi Elyana tak keberatan jika harus mengalami hal yang sama. Dia akan menjaga anaknya yang sedang sakit meski suaminya tidur pulas. Dia baru akan merasa berarti jika kehadirannya dibutuhkan oleh anak-anaknya. Elyana akan memberikan seluruh hidupnya.

"Baiklah. Apakah aku harus keluar selama proses perceraian; atau kau ingin aku tetap menjagamu dulu?" tanya Willy setelah mendengar semuanya. Dia merasa berat hati, tapi dia tidak ingin membuat Elyana menderita.

"Aku ingin mempunyai rumah yang baru. Rumah ini bisa membuatku gila karena dipenuhi kenangan kebersamaan kita. Sebagai gantinya kau boleh ambil semua perhiasanku. Tolong carikan rumah yang cukup nyaman."

*

Akhirnya surat perceraian pun sampai di tangan Elyana. Dia merasa lega. 

Sebenarnya dengan keputusan ini, dia merasa dirinya sudah berlaku tidak adil kepada Willy. Dia terlalu egois.

Di sisi lain, mantan suaminya tak melepaskannya pergi membawa tangan kosong. Willy membekalinya dengan tabungan yang cukup. Bahkan akan mengurus segala sesuatunya jika dia ingin memulai usaha. 

Elyana menolaknya. Dia tidak ingin nantinya disibukkan dengan urusan mencari uang. Dia ingin menjadi ibu seutuhnya.

"Baiklah jika itu keinginanmu." Willy pun berlalu.

Sejak sat itu Elyana tidak pernah memikirkan Willy lagi. Dia juga tidak pernah mencoba menghubunginya sekedar menanyakan kabar atau mengundangnya saat dia menikah dengan Edy.

Salah satu teman lamanya mengenalkan Elyana dengan sepupunya. Pria itu bernama Edy. Dia bekerja di salah satu perusahaan sebagai akuntan senior.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Keduanya menemukan kecocokan. Elyana merasa Edy adalah tipe pria yang dia cari. Romantis, bergairah, sekaligus humoris. 

Elyana merasa menemukan hidupnya yang baru. Dia tidak ingin menoleh lagi ke belakang. 

Elyana ingin membangun rumah tangga yang bahagia bersama Edy. Dia ingin segera memiliki momongan, sebelum dokter mengatakan usianya sangat berisiko untuk persalinan.

Dan semesta seakan mendukung keinginannya. Tuhan menjawab doa-doanya.

Selama sepekan Elyana terus-terusan merasa mual dan tubuhnya melemah. Edy segera membawanya menemui dokter. 

Betapa gembiranya ketika dia mendengar di rahimnya telah hidup calon buah hati yang dinanti. Elyana lamgsung memeluk suaminya sambil menangis haru. 

Pernikahan kedua telah memberinya apa yang dia impikan.

Elyana akan segera menjadi seorang ibu. Rasanya tidak ada yang paling dia inginkan di dunia ini. 

Elyana juga tidak ingin mempermasalahkan apakah Tuhan memberinya bayi laki-laki atau perempuan. Dia percaya anak-anak selalu mempunyai keistimewaannya sendiri.

Hari demi hari begitu menyemangatinya. Wajahnya yang dulu terlihat kaku, kini selalu dihiasi senyum. 

Elyana merasakan bayinya aktif menendang seakan mengajaknya bermain. Dia pun bertekad akan menjaga kehamilannya agar tetap sehat sampai waktunya tiba.

Tetapi sayang, semua tidak benar-benar berjalan seperti yang dia pikirkan. 

Suatu malam, sekelompok petugas mengetuk pintu rumahnya dan membawa Edy pergi. Suaminya diciduk atas laporan penggelapan dana perusahaan yang dilakukan jauh sebelumnya. Setelah semua bukti tetkumpul, barulah mereka bergerak sehingga Edy tidak dapat menghindar lagi. 

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Dalam keadaan mengandung, Elyana harus merasakan pengalaman pahit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. 

Elyana kehilangan suami yang dicintainya, tempat tinggal untuk berteduh, dan semua aset sebagai barang sitaan petugas.

Apa yang lebih buruk dari ini? Mengapa Tuhan memberinya cobaan seberat ini? 

Elyana terus menangis sampai rahimnya mengalami kontraksi dan dia kesakitan.

Beberapa tetangga yang hadir sejak tadi, berusaha menenangkan Elyana. 

"Yang kuat, ya Bu... Dan jangan khawatir, ambulans akan segera datang..."

*

Sudah dua malam Elyana berada di ruang perawatan. Dan dia hanya pasrah ketika dokter memajukan jadwal persalinan karena kondisinya yang memburuk.

Syukurlah operasi berjalan lancar. Elyana melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik. Dokter kemudian memintanya banyak beristirahat agar segera pulih.

Satu hal yang membuatnya merasa beruntung, Willy memenuhi janjinya untuk mengurus administrasi rumah sakit. Bahkan mengatakan Elyana dapat mengandalkan dirinya sampai Edy dibebaskan.

Elyana merasa senang mendengarnya. Dia pun mencoba berdamai dengan keadaan. 

Namun kabar buruk datang secara mengejutkan dari pengacara Edy. Suaminya merasa sangat tertekan dengan proses penyidikan dan beratnya kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan. Edy pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.

*

Suatu malam, Elyana merenung di sisi bayinya yang tertidur pulas. 

Tiba-tiba terbersit wajah mantan suaminya yang selama ini begitu sabar terhadapnya. Tak sekalipun Willy membalas perbuatan yang pernah dilakukannya.

Dia lalu bertanya kepada hatinya terdalam, apakah dia merindukan Willy untuk menjadi suaminya seperti dulu? Bukankah saat itu mereka juga tak bertengkar dan tak saling menyakiti?

Semalaman Elyana tak dapat tidur. Dia terus memikirkan kenangan bersama mantan suaminya dan mulai menangisi kebodohannya.

Keesokan paginya, Elyana bersiap menghubungi Willy namun pria itu lebih dulu menekan bel.

Elyana senang bukan kepalang karena Willy berdiri di depan pintu sambil memberikan seikat bunga. Elyana memeluknya, namun tak mendapat balasan seperti biasanya.

"Apa ini?" dia bertanya saat Willy memberikan sebentuk undangan.

Elyana membacanya terburu-buru dan lalu matanya menumpahkan tangis. 

"Jadi kau akan menikah dua hari lagi?" Elyana menjerit pilu. Hatinya serasa hancur mendapati kenyataan ini. 

Dia lalu mengamuk dan mencabik-cabik bunga yang dibawa Willy. Elyana merasa putus asa namun dia tahu ini semua salahnya.

Segera Willy meraih tangannya dan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.

"Kenapa kau peduli dengan selembar kertas undangan, hmm? Aku akan menikahimu, dan bukan dengan wanita lain."

Elyana menatap Willy tak percaya. Hatinya membuncah seketika.

***

Kota Kayu, 19 September 2023

 Cerpen Ika Ayra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun