Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pria yang Datang Minum Kopi, Sore Itu

20 Oktober 2022   10:54 Diperbarui: 20 Oktober 2022   11:06 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: iHOLA! dari Pinterest

[Cerpen ini saya dedikasikan untuk Pak Sirpa. Salam sehat selalu]

"Dari komentar Anda dalam tulisan-tulisan saya, saya yakin Anda orang yang ramah Bolehkah saya mengundang Anda minum kopi sore ini?"

Dan menit pertama di kedai kopi, aku gelisah dan menyalahkan diri sendiri. Sepertinya ini berlebihan, mengharapkan Tuan Glad bisa meluangkan waktu. Bukankah dia sangat sibuk? Ini konyol.

"Nona Aska?"

Aku mencari sumber suara. 

Seorang pria tegap berkepala plontos. Aku merasa geli. Jadi dia tak punya rambut? 

"Selamat sore, Tuan Glad. Iya, saya Aska," aku berdiri dan menawarkan salaman.

"Oh maaf, saya Luke. Orang yang Anda maksud masih di luar."

Hah?

"Boleh saya duduk, Nona?"

"Oh, ya tentu..."

"Saya ingin menjelaskan sesuatu. 

Anda mungkin perlu mengetahui keadaan Tuan Glad, sebelum memutuskan apakah Anda tetap akan menemuinya di sini. 

Kalau Anda merasa tidak nyaman, dia tidak akan mempermalukan gadis cantik seperti Anda."

Aku bingung. Apa yang dia katakan? Mempermalukan?

"Pak Luke..."  aku menarik nafas, menahan diri. Pria plontos ini terlalu berbelit-belit. "Apakah Anda keluarganya?"

"Saya adalah kawan baiknya. Tuan Glad meminta saya memberitahu Anda, kalau dia..."

Aku menunggu. 

Sepertinya dia tipe orang yang senang orang lain penasaran. Tahan, Aska.

"Dia seorang invalid. Dia berada di atas kursi roda!"

*

Cafe con miel diletakkan hati-hati di depanku. Campuran kopi espresso, madu, steamed milk, dan juga taburan kayu manis ini sangat menggodaku. Seorang teman yang memberitahuku, saat pertama kali menjejakkan kaki di Murcia, kota kecil di Spanyol selatan.

"Apa yang menggiring pikiran pria, sampai mereka mengira wanita begitu cerewet?" aku bertanya, di sela menikmati baked red velvet churros.

Sepasang mata di depanku mengerjap, aku bisa melihat dari balik kacamatanya. Dia berumur, pembawaannya tenang dan sangat sopan.

Dia adalah tuan Glad, yang akhir-akhir ini minum kopi denganku. Kami tak punya hubungan khusus, juga tidak membahas pekerjaan atau semacamnya. Kami hanya berteman.

"Kau tahu, wanita adalah makhluk perfeksionis. Dia selalu memikirkan tentang kesempurnaan," dia menyahut. 

"Wanita sangat takut ada noda di pakaiannya. Dan punya kriteria macam-macam saat memilih pasangan hidupnya."

Aku tergelak. Benar juga.

"Jadi Tuan sempat mengira orang sepertiku tidak akan mau bertemu dengan Anda karena kursi roda itu, ya?

Pria itu menyesap isi cangkirnya, menggeleng sekali, lalu menatap langit-langit. 

Oya, dia tidak merokok. Itu bagus sekali.

"Pria yang baik harus memikirkan kenyamanan orang lain, terutama wanita muda. Mereka mudah sekali merajuk, bukan?"

Aku tertawa lagi. 

Tidak salah jika dia bernama "Glad". Hatinya selalu riang gembira.

*

"Mengapa Anda tidak menulis lagi, Tuan Gembira?" 

Begitulah. Karena persahabatan yang semakin akrab, dia mengizinkan aku memanggilnya "Tuan Gembira". Kurasa itu lebih cocok.

Dari bincang-bincang kami di akhir pekan, kuketahui dia tak mempunyai istri karena  kecelakaan yang mereka alami sekian tahun yang lalu. Nyonya Sean tewas dalam perjalanan ke rumah sakit, sementara dia sendiri harus kehilangan kakinya. Tragis memang.

"Terkadang seseorang harus mengikuti bisikan hatinya, begitu pula denganku.

Menikmati tulisan para sahabat ternyata jauh lebih renyah."

Dan perbincangan lainnya terus menemani kami. 

Barista di kedai ini sampai hapal benar, kami datang sendiri-sendiri, dan pulang pun begitu. Tuan Glad akan dibantu supirnya, dan mempersilahkan aku yang meninggalkan tempat lebih dulu.

*

Pada sore yang lain, pada kedai dan kursi yang sama, seperti biasanya aku menunggu tuan Glad untuk menikmati kopi dan berbincang.

Hampir sepuluh menit, dan kafe menjadi ramai pengunjung. 

Tidak biasanya, ataukah pria baik itu sedang tidak sehat dan harus beristirahat di rumahnya?

Aku gelisah, dan menyalahkan diri sendiri.

Kami memang hanya teman minum kopi, kami tidak pernah saling menghubungi lewat ponsel atau nomor kantornya. Ini sudah kesepakatan antara aku dan tuan Glad. 

"Nona Aska?"

Pria tegap dengan kepala plontosnya. Pak Luke. Mengapa dia yang datang?

"Silahkan duduk, Pak Luke," aku menunjuk kursi yang biasa ditempati tuan Glad.

"Orang yang Anda tunggu..." dia menggantung kalimatnya.

Aku membiarkan pria itu mengumpulkan kalimatnya, yang mungkin tersapu angin musim dingin.

"Tuan Glad sudah terbang ke Indonesia, dua hari yang lalu. 

Mungkin Anda harus mencari orang lain untuk minum kopi."

Aku mengamati pria itu memutar-mutar ujung jarinya. Sepertinya dia tidak akan berbicara yang lainnya.

"Saya permisi, Nona."

Pria itu berlalu saat melihatku mengangguk.

Aku terus memperhatikan, sampai punggungnya melewati pintu. Setelah itu aku berjalan ke sisi jendela, dengan tanda tanya yang belum menemukan jawabannya.

Sebuah mobil bergerak meninggalkan depan kafe. Dari jendelanya yang terbuka aku melihat Tuan Glad dan seorang wanita di sebelahnya.

Sudahlah, dia mempunyai kehidupan pribadi yang tidak harus kutahu. Aku duduk kembali, dan menyesap cafe con miel. 

Hmm, rasanya tak senikmat biasanya.

***

Kota Kayu, 20 Oktober 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun