Mohon tunggu...
Khayra
Khayra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

menulis adalah cara terbaik mengungkapkan hal yang sulit terucap

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pintu yang Terkunci

13 Januari 2024   15:17 Diperbarui: 13 Januari 2024   15:32 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"SEENAKNYA KAMU MEMBAWA ORANG LUAR MASUK KEDALAM RUMAH TANPA MEMINTA IZIN, DIMANA SOPAN SANTUN KAMU AGNES!!!" bentaknya padaku.

" SEKARANG BAGAIMANA? PINTU RUANG KERJA AYAH TERKUNCI, TIDAK DAPAT DI BUKA. SEDANGKAN BARANG YANG AYAH BUTUHKAN BERADA DI DALAM! BAGAIMANA KAMU AKAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS PERBUATAN KAMU AGNES?!"

"KAMU MEMANG TIDAK BISA DI ANDALKAN AGNES!" bentaknya lagi dan lagi.

Sedangkan aku hanya bisa menunduk dan berusaha menahan air mataku yang hampir keluar. Entah mengapa ini adalah pertama kalinya bagiku melihat ayah semarah itu, sedingin dinginnya ayah, ia tidak akan sampai membentakku seperti ini, aku terkejut melihat sikap ayah barusan, yang bisa kulakukan hanyalah meminta maaf. Aku tak sanggup melihat wajahnya, tanganku sudah gemetar dan hatiku berdebar tak karuan, aku pikir ayah hanya akan membentakku, nyatanya tidak. Pecahan kaca mulai memenuhi tempat ku berdiri saat ini, ayah terlihat sangat frustasi. Membanting tanpa arah barang sekitar dengan kemarahan yang ada pada dirinya. Aku masih mematung di tempat menyaksikan yang ayah lakukan, Jujur aku tak tahan dengan situasi ini, takut, gelisah, panik, semua bercampur menjadi satu.

Ternyata suara keributan yang dari tadi terjadi di saksikan oleh bunda dari tangga, awalnya bunda hanya diam menonton kejadian ini tapi setelah itu bunda menghampiri kita. Ku pikir bunda akan menjadi penengah. Nyatanya tidak, kehadiran bunda di sini membuat ayah semakin meluapkan emosinya dan tanpa disadari beberapa pecahan kaca itu mengenai badanku. Sekarang aku tak memperdulikan itu, yang ku pedulikan hanyalah bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini. Setelah keheningan terjadi, tanpa pamit ayah meninggalkan rumah malam ini.

Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam dan aku masih bersandar pada tembok, kali ini pemandangan malam dari luar jendela kamar yang menemaniku. Sambil memejamkan mata kini lagu "Breathe" dari Lee Hi terputar dalam telingaku, mungkin lagu inilah yang dapat mengungkapkan rasa yang tak sanggup lagi ku utarakan.

'Tarik nafas dalam-dalam, Sampai kedua sisi dadamu terasa sesak dan mulai terasa sakit, Lalu hembuskan nafasmu Sampai kau merasa tak ada yang tersisa dalam dirimu'

Saat lirik itu terputar air mata yang kini sudah tak sanggup lagi ku tahan, ku biarkan ia terjun bebas membasahi pipiku. Dadaku terasa sangat sesak, aku lelah. Aku butuh seseorang memelukku dan meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja. Aku merasa aku terlalu kecil untuk mengalami ini. Aku butuh bunda di sampingku, aku berharap bundalah yang menenangkanku dan mengobati tubuhku yang terluka akibat pecahan kaca. Nyatanya bunda malah sibuk dengan dunianya dan membiarkanku menghadapi ini sendirian.

Aku sudah biasa di marahi dan di bentak ayah, tapi kenapa hari ini terasa begitu sakit, apakah sekarang ayah membenciku? Kejadian tadi benar-benar membuatku tak dapat berpikir dengan benar, tangan yang masih gemetar dan banyaknya pertanyaan yang memenuhi otakku seakan meminta jawaban, yang bahkan aku pun tak dapat menjawabnya.

"Apakah hanya karena pintu ruang kerja ayah terkunci, ayah semarah itu? Atau ada masalah lain tapi ayah lampiaskan padaku? Apakah perbuatanku sesalah itu?"

Semenjak kejadian itu semuanya berubah, bagiku melewati hari- hari terasa semakin berat, setiap malam tanganku selalu penuh dengan tanda baru, kepalaku selalu berisik. Ayah dan bunda tidak ada yang menanyai keadaanku, mereka melanjutkan hari -- hari seperti biasanya tanpa tahu bahwa dunia putrinya terasa hancur banyaknya pertanyaan dalam kepalaku yang masih belum ku temukan jawabannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun